• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Sejarah

Masjidil Aqsha, Jejak dan Sejarah Perkembangannya (2-Habis)

Masjidil Aqsha, Jejak dan Sejarah Perkembangannya (2-Habis)
Masjidil Aqsha, Jejak dan Sejarah Perkembangannya (2: Habis)
Masjidil Aqsha, Jejak dan Sejarah Perkembangannya (2: Habis)

Nama "Aelia" tetap bertahan, sampai ketika dia jatuh ke tangan kaum Muslimin di zaman Khalifah 'Umar. Khalifah datang sendiri ke Yerusalem memenuhi permintaan patriak Soprhonius, penguasa lamanya, guna secara langsung menerima penyerahan kota yang amat penting itu. Kemudian dia buat perjanjian dengan patriak itu, yang memuat jaminan perlindungan bagi agama dan umat Kristen. 


Bunyi bagian pertama perjanjian yang amat bersejarah itu sebagai berikut: 


"Inilah yang diberikan oleh hamba Allah  kepada penduduk Aelia tentang keamanan: dia memberi mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, juga untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, untuk yang sakit dan yang sehat, dan untuk keseluruhan agamanya. Gеreja-gereja mereka tidak akan diduduki atau dirusak, dan (bangunan) gereja-gereja itu sendiri atau pun sekelilingnya tidak akan dikurangi, begitu pula salib mereka dan bagian apapun dari harta mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka akan diganggu. Juga tidak seorang Yahudi pun akan tinggal bersama mereka di Aelia...." (Muhammad Hamidullah, Majmu'at al  Watsa'iq al-Siyasiyyah, Beirut, Dar al-Irsyad, 1969, H 380). 


Selesai membuat perjanjian, dan ketika Khalifah 'Umar hendak shalat, dia dipersilahkan oleh Sophronius untuk shalat di gereja Holy Sepulcher di situ. Khalifah menolak, dan dia shalat di tangga luar gerbang timur gereja itu. Kata 'Umar: "Fatriak,  tahukah Anda mengapa aku tidak mau bersembahyang dalam gereja Anda? Anda dapat kehilangan gereja itu dan akan lepas dari tangan Anda, karena nanti kalau aku sudah pergi, kaum Muslimin akan mengambilnya dari Anda, karena mereka sudah mulai berkata, Di sinilah Umar dahulu bersembahyang."


Karena itulah gereja tersebut utuh sampai kini. Dan ditempat Umar shalat berdirilah masjid 'Umar. Dari menaranya yang indah, suara muazin bercampur dengan nyanyian para pendeta Kristen di bawahnya (Jerry M. Landy, Dome of the Rock, New York: Newsweek, 1972, hal 18).


Pada kesempatan di Yerusalem itu 'Umar tidak lupa meminta Sophronius untuk ditunjukkan Haykal Sulayman atau al Masjid al Aqsha dahulu. 'Umar dibawa ke puncak Bukit Moria dengan Shakhrahnya. Namun dia sangat kecewa, karena tempat suci itu telah menjadi tempat pembuangan sampah. 


Keadaan tersebut seperti dilukiskan oleh Ibnu Taymiyyah: "Setelah kaum Nasrani menyerahkan negeri itu kepadanya, dia pun masuk dan mendapatkan Shakhrah tumpukan sampah yang besar sekali, yang ditempatkan di situ oleh kaum Nasrani sebagai tantangan kepada kaum Yahudi yang mengagungkan Shakhrah dan bersembahyang manghadap kepadanya. Maka Umar pun menyingsingkan bajunya (membersihkannya), dan diikuti oleh yang lain-lain" (Iqtidla al Shirat al Mustaqim, Beirut: Dar al Fikr, tt, hh, 433-4). 


Setelah kompleks dan Shakhrahnya itu bersih, Umar berkata: "Demi Dia yang diriku ada ditangan-Nya, inilah tempat yang pernah digambarkan oleh Rasulullah kepada kita. Marilah kita jadikan ini tempat sebuah Masjid?" (Maka berhadapan dengan fakta sejarah ini, sesungguhnya dalam Isra dahulu Nabi SAW melihat al Masjid al-Aqsha itu secara spiritual, sama dengan bagaimana beliau di tempat itu berkumpul dengan para Nabi dan Rasul yang terdahulu dan menjadi Imam mereka dalam bersembahyang).


Selanjutnya, di atas Shakhrah tersebut oleh Khalifah Abd al- Malik Ibn Marwan dibangun sebuah kubah besar untuk melindunginya, dan dinamakan Qubbat al-Shakhrah (Dome of the Rock). dia merupakan salah satu seni arsitektur paling indah di muka bumi. Tapi karena tidak dirancang untuk tempat shalat, maka di sebelah selatannya oleh Khalifah al-Walid Ibn Abd al-Malk dibangun sebuah masjid. Masjid inilah yang oleh orang umum disebut al-Masjid al-Aqsa. Padahal menurut Ibn Taymiyyah, yang seharusnya disebut al Masjid al-Aqsá ialah seluruh kompleks puncak Bukit Moria itu, yang pusatnya terkenal dengan sebutan al-Haram al-Syarif (Tanah Suci yang Mulia) (lqtidla, hh 434-5). Itulah yang disebut orang Inggris  "Temple Mount," tempat berdiri dahulu "Solomon Temple."


Begitulah dan dari kisah itu tampak betapa zalimnya kaum Yahudi dan kaum Imperialis Barat yang membantu mereka jika hari ini ingin merebut dan menguasai al Masjid al-Aqsha, kemudian menghancurkannya dan mendirikan Haykal Sulayman yang baru (the Third Temple).


Padahal semestinya mereka harus berterima kasih kepada Islam, karena di bawah Islamlah, sejak 'Umar RA, kaum Yahudi kembali bebas berdiam di Yerusalem, setelah ratusan tahun terus menerus dihalangi dan ditindas, pertama oleh Romawi yang pagan, kemudian oleh Romawi yang Kristen. 


Memang "Umar memperhatikan permintaan Shophronius agar tidak seorang Yahudi pun dibenarkan hidup bertetangga dengan orang Kristen. Namun menurut 'Umar, tidak berarti mereka dilarang tinggal di Yerusalem. Maka kota suci itu, sampai saat ini, terbagi menjadi empat Wilayah (quarters): Wilayah Islam (terbesar), yang mencakup pula komplek al Haram al Syarif dengan Syakhrahnya, kemudian Wilayah Yahudi dengan Tembok Ratapnya, lalu wilayah Kristen Yunani dengan gereja Holy Sepulcher-nya dan Wilayah Kristen Armenia. 


Diolah dari Buku "Pintu-Pintu Menuju Tuhan" Nurcholish Madjid, 1995 hal 74-79 dengan penambahan beberapa redaksi. 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut


Sejarah Terbaru