Kota Bandung

Kebijakan Kuota 50 Siswa Dinilai Populis, RMINU Jabar: Sekolah Swasta dan Pesantren Terancam

Rabu, 16 Juli 2025 | 08:00 WIB

Kebijakan Kuota 50 Siswa Dinilai Populis, RMINU Jabar: Sekolah Swasta dan Pesantren Terancam

Ketua RMI PWNU Jawa Barat, KH Abdurrohman. (Foto: NU Online Jabar)

Bandung, NU Online Jabar
Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Barat menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menaikkan kuota siswa per kelas di SMA/SMK negeri dari 36 menjadi 50 orang. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025.

 

RMI menilai kebijakan tersebut bersifat populis, tidak berpijak pada prinsip keadilan dalam pendidikan, dan berpotensi melemahkan eksistensi sekolah swasta serta pesantren formal di berbagai daerah di Jawa Barat.

 

Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli menegaskan bahwa meski tampak positif, kebijakan ini meninggalkan dampak serius di lapangan.

 

“Ribuan sekolah swasta dan pesantren di Jawa Barat mengalami krisis peserta didik. Banyak yang hanya menerima belasan siswa, bahkan kurang dari sepuluh pendaftar untuk tahun ajaran baru. Ini bukan kebijakan berkeadilan, tapi kebijakan populis yang mengorbankan lembaga pendidikan non-negeri,” tegas Kiai Imam Jazuli.

 

Data dari Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Jawa Barat mencatat bahwa sekitar 95 persen dari 3.858 sekolah menengah swasta belum mampu memenuhi 50 persen kuota penerimaan siswa baru.

 

Di Purwakarta, 45 sekolah swasta hanya menerima antara 7 hingga 32 siswa. Di Cirebon, satu SMK Islam hanya menerima 11 siswa baru, sementara di Tasikmalaya, sejumlah SMA/SMK swasta hanya memperoleh enam pendaftar dan kini terancam tutup.

 

Ketua RMI PWNU Jawa Barat, KH Abdurrohman, menyoroti ketimpangan sistem pendidikan yang diakibatkan oleh kebijakan ini.

 

“Negara semestinya mengembangkan sistem pendidikan yang berimbang dan adil. Sekolah negeri dan pesantren harus menjadi mitra, bukan dikotomi. Ketika sekolah negeri diberi kuota jumbo tanpa kendali, pesantren penyelenggara pendidikan formal ditinggalkan. Ini ketidakadilan struktural,” ujarnya.

 

Lebih jauh, RMI menilai Gubernur Dedi Mulyadi mengedepankan kepentingan citra politik dibanding penyusunan kebijakan berbasis kajian komprehensif.

 

“Gubernur Dedi Mulyadi tampaknya lebih mementingkan pencitraan dan popularitas politik jangka pendek daripada menyusun kebijakan berbasis kajian yang matang. Kebijakan ini tidak melibatkan pesantren, tidak mendengar swasta, dan hanya mengejar angka,” lanjut KH Abdurrohman.

 

RMI juga menyoroti potensi penurunan kualitas pembelajaran di sekolah negeri akibat rasio siswa dan guru yang semakin timpang. Di sisi lain, sekolah swasta yang selama ini turut menopang sistem pendidikan nasional dibiarkan kehilangan peran, bahkan berisiko tutup.

 

Empat Tuntutan RMI PWNU Jabar:

 
  1. Evaluasi menyeluruh terhadap Keputusan Gubernur terkait kuota 50 siswa per kelas.
  2. Penyusunan kebijakan pendidikan berbasis keadilan dan kolaborasi, bukan dominasi sekolah negeri.
  3. Perlindungan dan afirmasi kebijakan terhadap pesantren dan sekolah swasta, termasuk subsidi dan insentif.
  4. Dialog strategis dengan organisasi keagamaan dan pendidikan sebelum menyusun kebijakan pendidikan publik.
 

“Kebijakan yang baik bukanlah yang mendapatkan tepuk tangan paling meriah di awal pelaksanaannya, tapi yang berpijak pada keberimbangan, keberlanjutan, dan keadilan,” pungkas KH Imam Jazuli.

 

RMI PWNU Jawa Barat menegaskan, jika kebijakan ini tidak dikoreksi, maka yang dirugikan bukan hanya lembaga pendidikan swasta, melainkan masa depan pendidikan nasional secara keseluruhan.