Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut NU) sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki basis masa keagamaan yang besar tentu memiliki tantangan dan hambatan yang tidak saja datang dari internal, tetapi juga dari eksternal.
Dari internal, NU dihadapkan pada persoalan jam'iyah. Tidak sedikit warga NU masih sulit untuk berjam'iyah, dan hanya cukup dengan bermuamalah saja. Padahal untuk skala organisasi dengan ruang lingkup dan garapan yang sangat besar dan luas, berjam'iyah menjadi suatu keniscayaan. Berjam'iyah juga bisa menjadi urgen mengingat kompleksitas permasalahan bisa datang kapan saja.
Hal itulah sejatinya yang kemudian diharapkan oleh Hadratusyaikh KH Hasyim Asy'ari saat pada 1926 silam mendirikan NU sebagaimana ia tuangkan dalam Muqaddimah al-Qaanunil Assasy.
"Fahallumu kullukum wa man tabi'akum jami'an minal fuqara wal aghniya waddu'afa wal aqwiya ila hadihil jam'iyah al mubarakah al mausumah bi jam'iyah nahdlatul ulama. Wadkhuluha bil mahabbah wal widad wal ulfah wal ittihad wal ittishal bil arwahi wa ajsadi. Fainnaha jam'iyah 'adlin wa amanin wa islahin wa ihsanin." (Marilah Anda semua dan segenap pengikut Anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk jam'iyah yang diberi nama Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Ini adalah jam'iyah yang lurus bersifat memperbaiki dan menyantuni).
Rais Am PBNU, KH Miftahul Akhyar dalam satu kesempatan juga menyadari bahwa salah satu permasalahan internal NU adalah soal berjam'iyah. "Kekuatan jemaah NU memang luar biasa. Namun sayang warganya banyak yang hanya memosisikan dirinya sebagai jemaah, belum berjam'iyah," katanya.
Sejalan dengan itu juga, pengasuh Ponpes Ketitang Cirebon KH Ahmad Zuhri Adnan dalam satu tulisannya "Vaksinasi Aswaja: Tiga Paket Jadi NU secara Kaffah" (2021) menyebut tiga paket NU yang meliputi amaliyah, fikrah, dan harakah menjadi suatu keharusan dimiliki orang NU. Menurutnya ber NU itu harus satu paket, amaliyahnya, fikrahnya, serta harakahnya. "Jika amaliyah NU, fikrah NU tapi harakah bukan NU maka gerakannya akan intoleran dan gemar mencaci maki ulil amri (pemerintah). Jika amaliyah NU, harakah NU, tapi fikrah-nya bukan NU akan melahirkan gerakan yang anti keberagaman.
Jika amaliyah NU tapi tidak paham fikrah, dan harakah maka akan menjadi NU yang labil dan mudah terkooptasi. Yang lebih parah jika tidak tiga-tiganya maka jelas-jelas akan menjadi “manusia” radikal, ekstremis, dan teroris yang mudah mengkafirkan dan menghalalkan darah sesama muslim," tulisnya.
Dengan demikian, berjam'iyyah itu penting untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang kiranya dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan. Berjam'iyyah juga menjadi penting untuk memastikan bahwa tujuan, cita-cita, arah serta program organisasi akan dapat terealisasikan dengan mudah.
Jika warga NU sudah berjam'iyah pun, kadang permasalahan baru internal di tubuh NU muncul. Misalnya keberadaan pengurusnya yang sebagiannya sulit dimobilisasi. Mereka yang jadi pengurus hanya bersemangat di awal-awal pembentukan pengurus, baik di level pusat maupun bawah. Selepas itu, mereka kembali seperti jemaah biasa, hanya numpang nama beken dalam kepengurusan.
Memang, harus diakui, kesadaran berorganisasi hanya dilakukan pengurus dari sisa waktu aktivitas sehari-hari mereka. Harus diakui juga, memang tidak ada jaminan finansial bagi pengurus, misalnya gaji dari organisasi. Tapi harus diingat, berorganisasi NU itu bukan untuk finansial, melainkan untuk keberkahan. Keberkahan inilah yang kemudian dipegang teguh oleh semua orang yang hingga saat ini masih setia ngurusi NU.
Penulis meyakini untuk mereka yang sudah merasakan tuahnya berkah ngurusi NU, sepertinya mereka tidak akan pernah berpaling, apalagi mundur dari organisasi ini. Inilah kiranya makna ucapan KH Hasyim Asy'ari "wadkhuluha bil mahabbah wal widad wal ulfah wal ittihad wal ittishal bil arwahi wa ajsadi" (masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga).
Lalu apa kira yang mendasari hal demikian, sebagian para pengurus sulit untuk dimobilisasi bahkan sulit dikonsolidasi? Boleh jadi, pengurus yang demikian pengurus yang belum memahami seutuhnya tentang organisasi ini. Mereka belum paham seutuhnya apa isi detail organisasi ini dan hanya memahami organisas sebatas amaliyah saja. Padahal jika dilihat dari segi sejarah, tantangan, kiprahnya selama ini, NU itu begitu besar untuk dijelaskan. Oleh karena itu, untuk memahami seutuhnya tentang NU secara keseluruhan, maka memperdalam pemahaman akan Mukadimah Qaanun Assasy, Khittah NU, prinsip Mabadi Khairu Ummah, AD/ART, dan Peraturan Perkumpulan NU menjadi suatu yang harus prioritaskan dan dioptimalkan.
Dengan memahami prinsip-prinsip NU di atas, segala pergerakan organisasi akan mudah terukur. Arah pergerakan untuk memajukan organisasi akan mudah terarah. Prinsip NU di atas menjadi semacam panduan, norma, dan rambu-rambu terkait dengan apa yang harus dilakukan, dan apa yang mesti dihindari oleh organisasi.
Satu hal yang mesti menjadi prioritas organisasi juga yakni terkait dengan optimalisasi kaderisasi, strukturisasi, dan kemandirian jemaah. AD/ART dan Peraturan Perkumpulan NU mengamanatkan hal itu. Dengan kaderisasi, para warga NU, terlebih pengurus maupun calon pengurus di semua tingkatan akan mengetahui bagaimana urgensinya ber NU, urgensinya menjadikan harga mati relasi antara Aswaja, NU, dan NKRI, memahami pergerakan lawan, mengetahui mana yang menjadi kawan dan mana yang menjadi lawan, memahami strategi dalam meredam lawan, menguatkan kemandirian organisasi, serta memahamai arah dan cita-cita organisasi. Dan yang paling penting juga bagaimana cara menyambungkan sanad dan harakah kepada para muassis dan muharrik NU.
Sementara terkait dengan strukturisasi, hal ini memang menjadi hal yang mendesak juga, mengingat tujuan arah dan cita-cita NU tidak bisa dikendalikan oleh sebagian orang. Keberadaan wilayah dan jemaah yang begitu luas dan besar menjadikan strukturisasi menjadi hal yang begitu penting. Jika strukturisasi sudah lengkap hingga ke tingkat anak ranting, bukan tidak mustahil semua yang dicita-citakan organisasi akan mudah terwujud. Dalam strukturisasi, penting juga dioptimalkan dalam hal koordinasi dan sinergisitasnya.
Adapun untuk kemandirian organisasi, potensi warga NU yang begitu melimpah harus dimanfaatkan dan dibaca sebagai bagian potensi. Stakeholder organisasi harus sudah mampu, bukan hanya memetakan, tetapi harus sudah mampu merealisasikan kebutuhan warganya. Pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, hukum, dan bidang kehidupan lainnya tentu menjadi pelayanan yang mendesak harus dioptimalkan. Salahsatu caranya, bangun kerjasama, dan optimalkan posisi strategis NU dalam berbagai bidang kehidupan.
Alhasil, untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan NU sepenuhnya, yang menjadi tantangan NU di internal harus segera di atasi. Di sisi lain, NU juga berkewajiban untuk mengatasi yang menjadi tantangan eksternalnya. Mengapa demikian? Karena yang akan peduli kepada NU, ya warga NU sendiri. Semoga.
Bersambung.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang juga sebagai instruktur Pendidikan Dasar-Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD-PKPNU)
Terpopuler
1
Lakpesdam NU Depok dan PEBS FEB UI Bahas Solusi Berbagai Permasalahan Kota Depok
2
5 Hal yang Bisa Merusak Pahala Puasa Ramadhan
3
Kemenag Buka Bantuan Masjid dan Musala 2025, Ini Syarat dan Jadwalnya
4
PCNU Kabupaten Sukabumi Gelar Safari Ramadhan 1446 H di Enam Wilayah, Ini Rangkaiannya
5
Inilah 27 Pemain yang Dipanggil Pelatih Timnas Indonesia Jelang Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
6
Berkah Ramadhan, GP Ansor Teluk Pucung Berbagi Takjil Gratis ke Pengguna Jalan
Terkini
Lihat Semua