• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Sulitnya Politik yang Seimbang

Sulitnya Politik yang Seimbang
Sulitnya Politik yang Seimbang. (Foto Istimewa)
Sulitnya Politik yang Seimbang. (Foto Istimewa)

Oleh Amin Mudzakir

Di era SBY, sejumlah orang mengeluhkan kepemimpinan presiden yang terlalu akomodatif terhadap semua kelompok kepentingan dan identitas. Kenyataannya, memang itulah yang terjadi. Mungkin karena alasan stabilitas dan terkait juga dengan karakter personalnya, SBY hampir tidak mempunyai musuh politik yang diformalisasi.

 

Kelompok seperti FPI dan HTI, oleh karena itu, mendapatkan tempat yang cukup leluasa. Meski Rizieq Shihab sempat dipenjara karena kasus penyerangan aktivis AKK-BB di Lapangan Monas pada 2008, secara umum para anggota FPI dan ideologinya tersebar kuat di masyarakat. Demikian pula HTI yang mendapatkan ekspose yang luar biasa dengan penyelenggaraan sebuah acara di Senayan, Jakarta. 

 

Karena itu, para aktivis, pengamat, dan kalangan "minoritas" mengeluhkan ketidakhadiran negara. SBY dianggap lemah di hadapan para "preman berjubah". Situasi ini terus berjalan hingga masa transisi kekuasaan di era Jokowi awal. 

 

Melihat kelemahan tersebut, Jokowi membalik situasi. Di periode awal kekuasaannya, dia masih terlihat mengulur waktu dan menata strategi. Fondasi politiknya masih lemah karena harus berbagi dengan Prabowo dan para pendukungnya yang berperan sebagai oposisi. 

 

Dengan menggunakan semacam teori politik "Jawa", Jokowi menghabisi oposisi di periode kedua pemerintahannya. Rasanya tidak ada satu pun pengamat politik profesional yang meramalkan hal ini akan terjadi. Setelah 2019 apa yang disebut "politik" sesungguhnya tidak ada lagi. Setelah 2019 yang ada adalah upacara-upacara. 

 

Pukulan paling keras tentu saja mengena HTI dan FPI. Berbekal sentimen negatif yang meluas terhadap mereka tidak lama setelah rangkaian aksi 212, Jokowi membereskan apa yang selama ini sering disebut "Islam garis keras" itu. Tidak ada perlawanan yang berarti, kontras dengan kesan yang sebelumnya berkembang seolah-olah mereka sedemikian kuat dan berpengaruh dalam politik. 

 

Akan tetapi, kesan bahwa "Islam garis keras" itu kuat dan berpengaruh terus dirawat di bawah panji "politik identitas". Jokowi dan para pembantunya memang pandai sekali memainkan "politik perasaan" seperti ini. Tanpa kehadiran oposisi sama sekali, kontrol negara terhadap politik cukup pasti akan terus berlanjut setidaknya hingga 2024 nanti. 

 

Perbedaan pendekatan politik SBY dan Jokowi adalah sesuatu yang wajar, sebab kita sedang berhadapan dengan dua sosok yang berbeda, tetapi apa dampaknya terhadap kita sebagai publik? Apakah keduanya telah memperlihatkan suatu komitmen terhadap politik yang seimbang di mana negara dan masyarakat seharusnya mempunyai derajat otonominya sendiri-sendiri? Khususnya terkait "politik Islam", apakah strategi Jokowi saat ini yang justru mempolarisasi siapa yang "radikal" dan "moderat" akan efektif menata masyarakat Indonesia yang sangat beragam atau jangan-jangan bisa berujung sebaliknya? 

 

Seperti biasa, hanya waktu--jika kita masih mempunyai itu--yang akan bisa menjawabnya.

 

Penulis merupakan salah seorang peneliti BRIN


Opini Terbaru