Setelah saya renungkan, berbagai kontroversi mengenai ekspresi Muslim di ruang publik pada dasarnya berpusat pada penafsiran tentang yang baik.
Konsep ini, yang baik (the good), memang sangat multi-tafsir. Bagi sebagian pengamat sekuler, keinginan sebagian Muslim untuk mewujudkan apa yang mereka yakini sebagai yang baik itu dipahami sebagai konservatisme atau bahkan radikalisme. Sebagian lain menyebutnya sebagai impor budaya Arab atau Timur Tengah. Pengertian-pengertian seperti ini cukup dominan, termasuk di dunia akademis.
Dalam filsafat Barat, setidaknya bagi kaum liberal, yang baik adalah sesuatu yang sangat personal. Tempatnya di ruang privat. Oleh karena itu, jika yang baik dipaksakan masuk ke ruang publik, menjadi nilai yang meliputi semua orang, maka yang terjadi adalah otoritarianisme dan bahkan totalitarianisme--sesuatu yang mengingatkan mereka pada Hitler di abad lalu.
Di dunia Muslim, yang baik mencakup tidak hanya perkara privat, tetapi juga publik. Pengalaman sekularisasi yang berbeda membuat mereka tidak memisahkan secara ketat mana privat dan mana publik. Keduanya beririsan.
Pertanyaannya, bisakah konsepsi yang baik sebagaimana diyakini oleh kaum Muslim, setidaknya sebagian dari mereka, bertemu dengan konsepsi yang adil seperti dimimpikan oleh para pemikir liberal?
Amin Mudzakir, salah seorang Peneliti BRIN
Terpopuler
1
Pesantren Ketitang Cirebon Jadi Teladan Kemandirian, Kemenag Beri Apresiasi
2
Koperasi Pertama Lahir di Ciparay Bandung
3
Ziarah yang Terganggu: Refleksi Sosial atas Fenomena Peminta-Minta di Obyek Wisata Sunan Gunung Jati
4
Studio Podcast Jadi Magnet Dakwah dan Ekonomi, Pesantren Ketitang Cirebon Tunjukkan Lompatan Digital
5
Milad ke-14 Yayasan Mabdaul ‘Uluum Tsaani: Spirit Kebersamaan dan Peran Strategis Alumni Diteguhkan
6
Langit Cianjur Bersyahdu Dzikir, Ribuan Jamaah Hadiri Ijtima Wadzifah dan Haelalah Tijaniyah Jawa Barat
Terkini
Lihat Semua