Relevansi Al-Qur'an Surat Yusuf ayat 67 dengan Ijtihad Politik Warga NU
Rabu, 20 November 2024 | 07:09 WIB
Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Masyarakat NU (baca: Nahdliyin) termasuk warga negara Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan, sebanyak 56,9 persen dari 280 juta penduduk Indonesia secara terang-terangan mengaku warga NU. Keseluruhan warga NU tersebar di beragam komunitas, identitas maupun strata sosial masyarakat yang ada.
Jumlah itu belum termasuk kepada warga negara yang mempunyai kesamaan amaliah ibadah dengan NU. Pasalnya realita di lapangan menunjukkan, meskipun sama-sama beramaliah sebagaimana halnya warga NU (qunut, tahlilan, marhabaan, dan lain sebagainya), tidak semua masyarakat yang demikian berafiliasi terhadap NU. Sederhananya, warga yang terafiliasi kepada NU yakni warga negara yang amaliah, fikrah, ghirah, serta harakahnya sejalan dan tegak lurus dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh para pemangku kebijakan organisasi NU.
Baca Juga
Mengenal 9 Pedoman Politik Warga NU
Keberadaan warga NU yang sedemikian banyak itu, kemudian menjadi potensial terutama menjelang dan saat musim pemilu berlangsung, baik dalam pilkada maupun dalam pilpres. Ada adagium mengatakan 'bahwa siapa saja yang mampu menguasai suara NU dijamin akan memenangkan setiap kontestasi pemilihan. Oleh karena itu, maka wajar pada setiap musim kontestasi, suara warga NU selalu menjadi rebutan. Tak heran banyak orang menyebut suara NU itu 'seksi', bak primadona yang dinantikan tuah dan berkahnya.
Suara NU yang potensial itu juga dipengaruhi oleh cara pandang warga NU terhadap para kiai panutannya. Tak sedikit dari pilihan politik warga NU bergantung pada pilihan politik para sesepuh, kiai, guru ngaji, maupun tokoh yang dianggap karismatik. Hal inilah yang kemudian menjadikan suara NU itu sangat menentukan setiap suksesi kontestasi politik di Indonesia.
Dalam sejarahnya, NU memang pernah menjadi organisasi yang terlibat dalam politik praktis. Pemilu perdana 1955 dan 1971 menjadi bukti sejarah bahwa NU berpolitik praktis dengan capaian hampir dapat menguasai seperlima (18,9 % & 18,68 %) dari suara parlemen.
Namun, karena beberapa pertimbangan, termasuk karena persaingan politik yang tidak sehat dan intervensi pemerintah, akhirnya pada 1984 pada Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU kembali ke Khittah 1926, dengan NU fokus pada bidang kemasyarakatan, sosial, dan keagamaan serta tidak terlibat langsung pada politik praktis.
Meskipun sejak Muktamar ke-27 hingga kini, organisasi NU tidak berpolitik praktis, namun warganya tetap memikul tanggung jawab untuk berperan aktif dalam menyukseskan setiap gelaran kontestasi. Dalam artian, warga NU tetap diberikan hak untuk menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa harus bersikap acuh (golput).
Adapun untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan pada era Reformasi, hal itu dimaksudkan untuk mengakomodir warga (harus diingat: bukan NU secara organisasi) NU yang ingin berpolitik. Pendirian PKB sebagaimana disebutkan KH Said Aqil Siradj (2019) terilhami dari kondisi negara Indonesia selama 32 tahun rezim Orde Baru. Perjalanan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun banyak meminggirkan peran politik warga NU dan banyak mengenyampingkan pengamalan nilai-nilai luhur falsafah bangsa. Dan oleh karena itulah PKB lahir.
Lahirnya PKB yang untuk mengakomodir kepentingan politik warga NU tidak serta merta ingin menarik seluruh warganya yang sudah bergabung bersama partai lain. Toh pada kenyataannya, warga NU yang lain dibiarkan bebas memilih aspirasi politiknya masing-masing. Bahkan hingga sampai kini, kebanyakan partai politik di negeri ini, partisipan, kader, simpatisan, hingga pejabat partainya banyak di dominasi oleh warga yang secara amaliah terafiliasi pada NU, sehingga kondisi ini menjadikan warga NU ada dimana-mana.
Lalu dimana letak relevansi Al-Qur'an Surat Yusuf ayat 67 dengan kondisi warga NU dalam hal berpolitik sebagaimana digambarkan di atas?
QS Yusuf [12] ayat 67 yang berbunyi "Janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, tetapi masuklah pada pintu-pintu gerbang yang berbeda-beda" merupakan amanat Nabi Yakub AS kepada anak-anaknya yang hendak menemukan saudaranya Yusuf dan Bunyamin di istana Mesir yang telah lama hilang.
Dari ayat di atas ada analogi yang relevan dengan kondisi politik warga NU. Warga NU, pada musim kontestasi pilkada maupun pilpres kadang dibuat bingung dengan para kontestan yang saling berkompetisi meskipun berada pada satu identitas, identitas NU. Kebingungan juga kadang ditambah dengan adanya perbedaan pilihan politik yang diperlihatkan oleh sesepuh yang satu dengan sesepuh yang lain.
Baca Juga
Manusia dalam Sudut Pandang Sufistik
Kondisi demikian sebetulnya dapat menguntungkan NU. Mengapa demikian? Karena sejatinya kalah ataupun menang, jika yang berkontestasi mendapat limpahan dukungan NU, justru disinilah keuntungannya. Dan inilah kiranya ijtihad politik warga NU, karena dukungan NU dan aspirasi politik warganya ada dimana-mana.
Wallahu'alam
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut
Terpopuler
1
Khutbah Jumat Terbaru: Bulan Rajab, Momentum untuk Tingkatkan Kualitas Spiritual Diri
2
Gus Yahya Respons Wacana Pendanaan MBG Melalui Zakat: Perlu Kajian Lebih Lanjut Karena Kategori Penerima Zakat Sudah Ditentukan
3
Profil Alex Pastoor dan Dany Landzaat, Dua Asisten Pelatih yang Dampingi Kluivert di Timnas Indonesia
4
Refleksi Harlah ke-102 NU: Membangun Sinergitas Harokah dalam Ber-NU
5
Pentingnya Menggerakkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di Kota Bogor Menjelang Harlah ke-102
6
MoU Haji 2025 Ditandatangani, Indonesia Akan Berangkatkan 221 Ribu Jamaah
Terkini
Lihat Semua