Tauhid

Manusia dalam Sudut Pandang Sufistik

Rabu, 13 November 2024 | 13:38 WIB

Manusia dalam Sudut Pandang Sufistik

Manusia dalam Sudut Pandang Sufistik. (Ilustrasi: NU Online).

Manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang paling sempurna. Sempurna, bukan karena ia memiliki akal pikiran. Namun lebih dari pada itu, ia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan untuk beberapa tujuan. 


Jika manusia disebut sempurna karena ia mendengar, melihat, merasa, dan berpikir, apa bedanya dengan hewan? Hewan juga sama memiliki panca indra sebagaimana halnya manusia. Jika manusia dianggap sempurna karena ia mampu menghayati keagungan Tuhan, apa bedanya juga dengan hewan yang mampu mengucap tasbih karena mampu mengingat keagungan Tuhannya (QS an-Nur [24]: 41). 


Bahkan, seandainya makhluk yang dibilang sempurna ini tidak menjadikan panca inderanya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, maka ia lebih hina dari pada hewan sekalipun. 


Dalam hal ini Allah SWT berfirman: "... Manusia yang memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi...," (QS al-A'raf [7]: 179). 


Selain itu manusia juga berpotensi menjadi makhluk yang paling buruk jika ia tidak mampu beriman serta melakukan kebajikan sebagaimana Tuhan perintahkan. 


"Kemudian Kami akan kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya." Demikian QS at-Tin [95]: 5-6 sebutkan. 


Term manusia dalam Al-Qur'an disebutkan dengan beragam redaksi yang berbeda. Biasa disebut dengan al-insan, al-Nas, al-Ins, al-Basyar hingga Bani Adam. Kesemua istilah ini, meskipun merujuk pada satu individu bernama manusia, namun memiliki sifat yang berbeda. Misalnya, al-Basyar disematkan untuk menyebut manusia berdasarkan pada perspektif rupa, wujud, serta kesempurnaan tampilan fisiknya saja. Sementara, al-Insan disematkan kepada manusia yang mempunyai dua kesempurnaan, fisik/jasad maupun rohani. Dari sinilah kemudian muncul istilah Insan Kamil. 


Selanjutnya, bagaimana manusia menurut sudut pandang sufistik?  


Pertama, manusia diciptakan Tuhan untuk mengemban misi khalifah/pemakmur di bumi: 


وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ 


Artinya: "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi..” (QS al-Baqarah: 30).


Posisi khalifah yang dimaksud menghantarkan manusia sebagai penerima mandataris Tuhan yang diberi tugas (kewenangan) untuk mengatur, mengelola, sekaligus memimpin kehidupan dunia seutuhnya. Posisi ini kemudian dipertegas Tuhan dalam ayat berikutnya:


وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا


Artinya: "Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya..," (QS Al-Baqarah: 31).


Dengan kata lain, manusia dicipta Tuhan dengan tujuan untuk memproyeksikan norma-norma agama membumi di alam semesta sebagaimana KH Said Aqil Siradj (2019) sebutkan. Semua agama, termasuk Islam jelas memiliki misi untuk menciptakan kedamaian hidup, memerangi kelaliman, meluruskan perilaku manusia dan membawa pesan-pesan moral bagi keselamatan umat manusia. 


Kedua, manusia diciptakan sebagai seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya sebagaimana QS az-Zariyat [51]: 56 disebutkan:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ۝٥


Artinya: "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku," (QS Az-Zariyat: 56).


Sejalan dengan hal itu, KH Nasaruddin Umar (2014) sambil mengutip pendapat Ibnu Arabi mengatakan keliru besar jika orang beranggapan bahwa keistimewaan utama manusia dipengaruhi oleh faktor kemampuannya dalam berfikir. Keistimewaan yang dimiliki manusia yang menjadikannya sempurna adalah karena manusia mengemban misi sebagai lokus untuk menampakan nama-nama (asma) dan sifat-sifat Tuhan. 


Manusia disebut sebagai lokus penampakan asma Allah karena ia dapat memastikan secara sempurna semua asma Allah, sementara makhluk yang lain hanya mampu memantulkan sebagiannya. Misalnya, manusia mampu memantulkan asma Allah yang terkesan berlawanan satu sama lain, seperti sifat Allah Yang Maha Pemberi Manfaat (an-Nafi) dan Yang Maha Pemberi Bahaya (adh-Dhar). 


Oleh karena mampu menampakan lokus asma Allah yang berlawanan, maka manusia dapat dihinggapi persoalan taat, dosa, dan maksiat. Berbeda dengan makhluk lain yang tidak mengenal dosa dan maksiat mengingat mereka sulit memantulkan sifat-sifat Allah seperti al-'Afuw (Maha Pemaaf), at-Tawwab (Penerima Taubat), dan al-Ghafur (Maha Penerima Taubat). 


Dalam hal ini juga, Seyyed Hossein Nasr menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk yang martabatnya dapat naik turun di mata Tuhan. Manusia dengan predikat  tinggi disematkan kepada para Nabi dan wali. Sementara, manusia berpredikat rendah adalah manusia sebagaimana digambarkan pada QS al -'Araf ayat 179 yang telah disinggung di awal. 


Menurut Ibnu Arabi,  manusia yang telah sampai pada derajat tinggi  itulah yang disebut sebagai khalifah sesungguhnya, yang layak menyandang gelar Insan Kamil. Lalu bagaimana dengan manusia yang identitasnya tidak sampai pada derajat Insan Kamil? Manusia kategori ini tidak boleh putus asa karena asa untuk meraih yang demikian masih terbuka lebar. 


Satu upaya menurut para kaum Sufi agar dapat menjangkau bahkan meraih predikat Insan Kamil yakni dengan mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana disabdakan Nabi SAW, "Takhallaqu bi akhlaqillah" (Berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah), disamping juga dengan meneladani akhlak Nabi Muhammad. Inilah yang kemudian akan menghantarkan manusia ke dalam derajat insan yang kamil. 


Wallahu'alam 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik. Juga penikmat kajian sufistik.