• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Psikologi Massa di Media Sosial 

Psikologi Massa di Media Sosial 
(Ilustrasi: Freepik.com).
(Ilustrasi: Freepik.com).

Saya telah menyimak video 9,26 menit Oki Setiana Dewi yang kontroversi itu. Memang ada kekeliruan dalam membuat contoh tentang keutamaan menjaga aib. Mungkin juga itu merupakan pemahaman Oki yang terbatas mengenai KDRT. Namun, yang pasti, Oki telah meminta maaf. Ok, fine.

 

Masalahnya, sebagian orang tetap tidak bisa menerima. Bagi mereka Oki tetap bersalah. Mereka lalu menumpahkan itu semua--mulai dari kekesalan, cibiran, hingga kutukan, tetapi juga ada nasihat yang sangat akademis--di media sosial.

 

Sebagai peneliti sosial, saya tertarik dengan sosiologi kalangan yang tidak bisa menerima pandangan, termasuk permintaan maaf, Oki tersebut. Tampaknya sebagian mereka, jika bukan semua, termasuk orang-orang yang selama ini kurang suka dan bahkan curiga dengan fenomena Oki Setiana Dewi--seorang yang boleh dikatakan merupakan representasi kelompok "hijrah". Bagi mereka, Oki dan kelompok hijrah adalah model kelompok keagamaan instan yang sangat meragukan. 

 

Latar belakang orang-orang yang kurang suka atau bahkan curiga dengan kelompok hijrah ada dua, setidaknya demikian pengamatan sementara saya. Pertama adalah golongan sekuler. Sejak awal mereka memang skeptis dengan agama, khususnya ekspresi agama di ruang publik yang sering disamakan begitu saja dengan "Arab". 

 

Namun, karena kepentingan pragmatis tertentu, mereka membutuhkan sekutu yang berasal dari kalangan Muslim tradisionalis. Ini adalah golongan kedua yang kurang suka atau bahkan curiga dengan kelompok hijrah. Bagi golongan ini, cara beragama kelompok hijrah tidak meyakinkan, tidak berdasar sanad keilmuan Islam tradisional yang mapan. 

 

Berbagai kelompok yang saya sebutkan tadi membentuk kerumunan tertentu di media sosial. Meski menggunakan sejumlah argumen yang beraneka ragam, kesamaan rasa-merasa psikologis adalah faktor pokok yang mengikat mereka. Dari situ perseteruan digital terjadi, menciptakan berbagai daerah kantong algoritma yang saling-menguatkan di antara kelompok yang sama dan, sebaliknya, saling-melemahkan dengan kelompok yang berbeda. 

 

Sesungguhnya cara kerja politik digital ini pula yang melahirkan aksi 212. Apapun yang dikatakan oleh Ahok, termasuk klarifikasinya, kelompok yang memang sejak awal kurang suka dan bahkan curiga dengannya tidak akan menerima. Terlebih lagi dulu ada para bandar pilpres dan pilkada yang mau mengeluarkan duitnya untuk melakukan mobilisasi massa. 

 

Kompleksitas ini berbasis pada politik identitas--sebuah istilah yang sangat rumit dan sulit dicerna maksudnya secara komprehensif oleh massa. Bahkan kalangan terpelajar sekalipun, kecuali mereka mau berjarak dengan kerumunan, sering tergelincir--karena saking licinnya--dalam arena masyarakat kontemporer yang dimediasi oleh media sosial ini. Tentu saja kapitalisme akan semakin berjingkrak menyaksikan para netizen gelut tanpa henti meributkan hal-hal yang sejatinya bisa diselesaikan "secara baik-baik".

 

Amin Mudzakir, Peneliti BRIN


Opini Terbaru