• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Merawat Kemerdekaan (2-Habis)

Merawat Kemerdekaan (2-Habis)
Merawat Kemerdekaan (2-Habis)
Merawat Kemerdekaan (2-Habis)

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Perayaan yang selalu digelar dengan penuh suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia sejak tahun 1945 seolah meneguhkan kembali akan pentingnya nilai perjuangan dan pengorbanan para pahlawan bangsa. Kemerdekaan yang telah diraih dengan penuh semangat oleh para pendiri bangsa, memberi pesan kepada kita bahwa bangsa Indonesia senyatanya memiliki kemampuan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan mampu berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia sebagaimana yang tersirat dalam pembukaan UUD 1945. 


Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial tidak hanya diperuntukkan bagi satu bangsa saja, melainkan juga diperuntukkan bagi seluruh bangsa-bangsa di dunia. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah semua komponen di negeri tercinta ini mampu untuk merefleksikan kembali nilai-nilai perjuangan bangsa ke dalam sendi-sendi kehidupan, baik dalam tatanan lokal maupun global internasional.


Mengingat kemerdekaan bangsa Indonesia diraih dengan tidak mudah, maka segala bentuk upaya yang dapat mengarah terhadap ternodanya semangat kemerdekaan, terancamnya kedaulatan negara, serta yang mengarah pada perpecahan bangsa harus diantisipasi. 


Sejarah mencatat, pasca Indonesia merdeka, kedaulatan negara republik Indonesisa belum sepenuhnya berdaulat. Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun sendiri bangsanya yang merdeka dan berdaulat mendapat tantangan dan ancaman besar dari pemerintah kolonial sebelumnya (Belanda). Dalam kurun waktu tahun 1945-1950, Indonesia masih berkutat pada pemilihan konsepsi bentuk negara, yakni antara negara kesatuan, federal, atau serikat.


Namun, setelah terbentuknya pergerakan-pergerakan yang digagas oleh para founding fathers semisal Perjanjian Linggar Jati dan Perjanjian Renville (1947), Konferensi Meja Bundar (KMB) (1949), Resolusi Jihad Fisabillillah Fatwa KH Hasyim Asy’ari (1949), dan puncaknya Mosi Integral Natsir (1950), Indonesia benar-benar berdaulat menjadi negara kesatuan. 


Negara kesatuan yang dimaksud adalah sebuah konsep negara yang terbentuk atas dasar persatuan kehendak jiwa atau sikap batin seluruh warga bangsa untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia dan mempunyai semangat kolektif untuk bersatu dalam satu ikatan kebangsaan dan negara Indonesia. (Ma’ruf Cahyono, 2017).


Meskipun telah menganut bentuk negara kesatuan, upaya-upaya yang mengarah pada disintegrasi kemerdekaan masih terus terjadi. Dalam kurun waktu 1949-1965, tercatat ada beberapa peristiwa disintegrasi bangsa berupa pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan secara terang-terangan. 


Misalnya: (1) Pemberontakan DI/TII SM Kartosoewirjo di Jawa Barat (1949); (2) Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil di Bandung (1950); (3) Pemberontakan Andi Azis di Makasar (1950); (4) Pemberontakan Republik Maluku Selatan di Ambon (1950); (5) Pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan (1950); (6) Pemberontakan DI/TII Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan (1951); (7) Pemberontakan DI/TII Daud Beureuh di Aceh (1953); (8) Peristiwa Dewan Banteng di Sumatera Barat (1956); (9) Pemberontakan PRRI (1958); (10) Perjuangan Rakyat Semesta (1958); dan (11) Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).


Dari tahun 1965 hingga saat ini nyaris tak ada lagi pergerakan-pergerakan yang sifatnya terang-terangan. Yang ada hanya pergerakan-pergerakan laten dan temporer yang dibalut dengan mengatasnamakan agama seperti misalnya gerakan khilafah, radikalisme, liberalisme, dan Islam transnasional yang tentu sama berbahanya dengan pergerakan-pergerakan sebelumnya. 


Meskipun gerakan-gerakan yang telah disebut di atas dapat diatasi dengan baik, namun semua elemen bangsa tetap harus memiliki kewaspadaan terhadap berbagai ancaman yang bisa saja datang secara tiba-tiba. Dan yang paling nyata tampak di depan mata adalah ancaman berupa disorientasi moralitas budaya bangsa.


Kekayaan Bangsa


Melihat kenyataan perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, bangsa Indonesia sejatinya mempunyai kekayaan yang perlu dipelihara sebagai modal untuk merawat kemerdekaan itu sendiri. 


Paling tidak ada tiga kekayaan bangsa Indonesia yang kiranya menjadi bahan untuk dipelihara dan dibanggakan. Mengingat kekayaan itu tidak banyak dimiliki oleh negara-negara yang lain. Tiga kekayaan itu yakni:


Pertama, kekayaan alam. Indonesia ditakdirkan Tuhan menjadi negara banyak pulau (kepulauan) yang terdiri dari perairan (lautan, dlsb), daratan, serta pegunungan yang banyak menghasilkan hasil alam. Atas dasar kenyataan itulah maka bangsa ini dinamakan Indonesia, pedanan dari kata Indus dan nesos yang artinya India dan pulau-pulau (Setidjo, Pandji, 2009). 


Kekayaan alam yang melimpah akibat tofografi Indonesia yang khas itu harus dioptimalkan dengan baik sehingga daya tarik Indonesia menjadi tinggi di mata dunia internasional. Hal ini pulalah yang pernah terjadi di saat bangsa Indonesia sebelum merdeka. Sejarah mencatat, Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan dan zaman penjajahan telah menjadi tempat berlabuhnya bangsa-bangsa di dunia dalam melakukan perdagangan. Dan inilah kiranya potensi bangsa Indonesia yang harus dipertahankan dan dikembangkan.


Kedua, kekayaan budaya. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia terdiri dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa dengan keragaman bahasa, agama, dan budaya yang terikat dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda namun satu kesatuan. Keragaman budaya inilah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mampu menyatukan ragam perbedaan menjadi satu kesatuan. Sejarah pun membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima beragam kemajemukan, maka akan semakin toleran dalam menerima perbedaan.


Ketiga, kekayaan ideologi. Perlu diketahui, sebelum bangsa Indonesia melalui para pendiri bangsa merumuskan dasar negara Indonesia, bangsa-bangsa di dunia internasional saat itu sudah memiliki ideologi masing-masing seperti misalnya sosialisme, nasionalisme, marxisme, kapitalisme, islam, dlsb. Namun, para pendiri bangsa tidak memihak pada salah satu ideologi yang sudah ada. Para pendiri bangsa justru mengambil satu dasar negara sebagai jalan tengah dari berbagai ideologi yang ada. Jalan tengah itu adalah Pancasila yakni sebagai lima dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki kekhasan prinsip masing-masing.


“Prinsip ketuhanannya, yakni ketuhanan yang berkebudayaan yang lapang dan toleran, bukan prinsip ketuhanan yang menyerang dan ekstrim. Prinsip kemanusiaannya, yakni kemanusiaan yang berkeadaban, bukan prinsip kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip persatuannya, yakni persatuan yang menghargai perbedaan. Prinsip demokrasinya, yakni demokrasi yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat, bukan prinsip otoritas suara mayoritas. Dan prinsip keadilannya, yakni keadilan yang mencerminkan semangat kekeluargaan, bukan prinsip keadilan yang mengekang kebebasan individu.” (Pidato Ir Soekarno dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni tahun 1945).


Dengan demikian, tiga kekayaan yang menjadi modal bagi bangsa Indonesia dalam memperingati perayaan kemerdekaan Indonesia menjadi satu bentuk perwujudan rasa syukur bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengingat nikmat kemerdekaan merupakan nikmat terbesar yang pernah diraih oleh bangsa Indonesia. Jika saja seandainya bangsa Indonesia tidak merdeka, rasanya mustahil kekayaan-kekayaan yang telah disebut di atas yang kini telah menjadi identitas bangsa manfaatnya dapat terasa oleh seluruh masyarakat Indonesia.


Oleh karena itu, kegiatan merayakan hari kemerdekaan Indonesia merupakan langkah yang paling efektif untuk mengingatkan seluruh komponen bangsa bahwa upaya untuk tetap mempertahankan kemerdekaan adalah sesuatu yang perlu dan penting untuk dilakukan.


Selain itu, hal terpenting dari peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah bagaimana seluruh rakyat Indonesia dapat kembali meneguhkan dan meneruskan perjuangan para pendiri bangsa ke dalam bentuk kehidupan sosial berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan norma, etika, dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Semoga.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut


Opini Terbaru