Opini

Menjadi Guru di Jalan Sunyi Rasulullah: Keteladanan di Tengah Krisis Nilai

Kamis, 4 September 2025 | 16:14 WIB

Menjadi Guru di Jalan Sunyi Rasulullah: Keteladanan di Tengah Krisis Nilai

Guru (Ilustrasi: Unsplash)

Suasana Maulid di kampung selalu semarak. Rebana berpadu dengan lantunan shalawat, sementara anak-anak berlarian, sebagian asyik menatap gawai. Seorang guru yang hadir hanya tersenyum lirih, “Beginilah tantangan kita sekarang, merawat cinta Nabi sambil menjaga anak-anak agar tidak hilang arah.” Gus Dur pernah berpesan, “Pendidikan adalah jiwa bangsa. Tanpa guru dan madrasah, peradaban akan gersang.”

Maulid Nabi selalu mengingatkan kita pada sosok pendidik sejati: Rasulullah Muhammad SAW. Allah menegaskan, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...” (QS. Al-Ahzab: 21). Nabi pun bersabda, “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Malik). KH Hasyim Asy’ari mengingatkan, “Guru itu ulama, panutan yang menyalakan obor ilmu dan adab.”

Kini, di tengah krisis nilai, guru bukan sekadar pengajar materi. Mereka adalah penanam akhlak dan benteng aqidah di tengah derasnya arus digital. Murid bisa cepat mencari informasi, tetapi sering rapuh dalam karakter. Karena itu, pesan pesantren relevan hingga kini: “Ilmu tanpa adab bagaikan pohon tanpa buah.”

Kisah Sehari-hari
Bu Nur, guru madrasah di sebuah desa, setiap pagi menempuh jalan berdebu dengan motor tuanya. Di kelas, ia mendapati murid-murid yang sibuk bercanda dengan ponsel. Alih-alih marah, Bu Nur menenangkan mereka dengan kisah tentang kesabaran Rasulullah. Suasana kelas pun perlahan tenang. Murid mulai membuka buku, meski masih setengah hati. Pesan KH Sahal Mahfudh terbukti: “Guru adalah orang yang membangun peradaban. Jangan lelah, meskipun hasilnya tidak langsung terlihat.”

Kisah seperti Bu Nur adalah potret banyak guru kita: bekerja dalam senyap, penuh pengorbanan, meski sering tak sebanding dengan penghargaan yang diterima.
Meneladani Rasulullah dalam Mendidik

1.    Lembut dalam Mengajar
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa mendidik harus dengan kelembutan dan kasih sayang. Beliau tidak pernah membalas kebodohan atau kesalahan dengan kemarahan, melainkan dengan sabar dan welas asih. Kelembutan itu membangun ikatan emosional yang kuat antara guru dan murid, membuka pintu hati untuk memahami dan menerima ilmu. Sebagaimana sabda Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik terhadap muridnya.” Kasih sayang ini penting untuk menghindari anak didik dari trauma dan kekecewaan yang dapat menghambat proses belajar dan pembentukan karakter.

2.    Menjadi Teladan Nyata
Guru bukan hanya sekadar penyampai ilmu, tetapi juga figur teladan yang memancarkan akhlak mulia dalam setiap perilaku. Rasulullah menunjukkan pada sahabat bagaimana sikap sabar, jujur, penuh kasih, dan adil dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mempertegas pesan KH Hasyim Asy’ari bahwa murid lebih cepat meniru sikap guru daripada sekadar mengikuti nasihat panjang lebar. Dengan menjadi contoh nyata, guru membentuk karakter anak secara efektif dan mendalam, karena anak-anak belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari tindakan nyata yang mereka lihat.

3.    Bervisi Besar dan Berorientasi Peradaban
Rasulullah tidak hanya mendidik sahabat agar pandai membaca atau menghafal, tetapi mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin yang membangun peradaban. Pendidikan yang beliau berikan mengarah pada pembentukan insan yang mampu menegakkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan umat. Guru masa kini hendaknya mengadopsi visi ini, membekali murid dengan ilmu, akhlak, dan jiwa kepemimpinan untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan visi besar ini, pendidikan tidak hanya fokus pada capaian akademik, melainkan menyiapkan generasi yang berdaya saing dan berbudi pekerti luhur dalam membangun masa depan bangsa.


Maulid Nabi bukan hanya seremoni, tetapi momentum untuk meneguhkan kembali jalan sunyi guru. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Tirmidzi). Menjadi guru berarti melanjutkan misi para nabi. Gus Mus berpesan, “Jangan pernah lelah menjadi guru, sebab dengan mendidik, kita melanjutkan misi para rasul.”

Meski berat dan sepi sorot, selama guru berpegang pada teladan Rasulullah, pendidikan Indonesia tetap punya harapan: melahirkan generasi cerdas, berakhlak mulia, dan siap menjaga negeri dengan iman dan kebaikan.


Siskha Putri Sayekti, Seorang Dosen di PTKIS Depok