Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama (AD/NU) pada Bab IV Pasal 8 disebutkan bahwa pendirian NU sebagai perkumpulan sosial keagamaan Islam (jam'iyyah diniyyah Islamiyyah ijtima'iyyah) yakni untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, serta ketinggian harkat dan martabat manusia.
Dengan tiga fokus variabel di atas, NU seolah menegaskan dirinya sebagai organisasi yang bergerak bukan hanya untuk kepentingan pribadi NU sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat keseluruhan, baik dalam konteks nasional maupun global. Tampaknya bagi NU, kemaslahatan bukan hanya milik personal melainkan juga milik universal. Oleh karena itulah, segala bentuk pergerakan, semangat juang, serta pemikiran yang keluar dari organisasi ini selalu ditujukan kepada tiga variabel di atas.
Baca Juga
Islam yang Memuliakan Perempuan
Kemaslahatan masyarakat menjadi fokus NU disebabkan karena NU sadar bahwa dirinya bersinggungan kuat dengan masyarakat. NU sadar, masyarakat terdiri dari beragam segmentasi. Bagi NU, menafikan salah satu segmen masyarakat sama halnya dengan mengingkari keragaman identitas yang jelas-jelas sudah digariskan Tuhan alam semesta. Oleh karena itu, kemaslahatan masyarakat secara umum dan universal menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi oleh NU.
Selain itu, terwujudnya kemaslahatan masyarakat sebagai tujuan NU juga tercermin pada simbol bumi yang diikat oleh tali asmaul husna yang dijadikan salah satu bagian dari logo NU. Bola dunia (bumi) sebagai simbol alam semesta menjadi penanda bahwa NU mempunyai kewajiban untuk menjamin kemaslahatan umat manusia tanpa memandang perbedaan identitas.
Sementara, tali asmaul husna yang dibentuk melalui ikatan semacam penegas bahwa sifat-sifat Tuhan senyatanya menjadi milik semua umat di alam semesta. Terlebih dengan ikatan tali asmaul husna yang sengaja dilonggarkan, itu artinya NU menyetujui bahwa tali persaudaraan diperuntukkan bukan untuk satu komunitas saja, melainkan juga untuk semua identitas. Dari pandangan ini kemudian lahirlah tiga ukhuwah ala NU: ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman); ukhuwah wathaniyah (persaudaraan senegara); dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Kemudian, terciptanya kemajuan bangsa juga menjadi salah satu fokus garapan penting NU. Dari hal ini, NU menyadari bahwa kemaslahatan masyarakat menjadi penyangga penting bagi terwujudnya kemajuan sebuah bangsa. Menurut NU, tidak ada negara maju yang dibentuk oleh masyarakat yang lemah. Menurut NU juga, kemajuan satu bangsa dipengaruhi oleh kemaslahatan masyarakatnya sendiri. Sederhananya, kemajuan suatu bangsa atau negara dan kemaslahatan masyarakat menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, artinya satu sama lain saling bersinggungan, mempengaruhi atau berbanding tegak dan lurus.
Bahwa untuk menciptakan suatu kemajuan bangsanya, NU selalu berusaha untuk memastikan hal itu benar-benar terjadi. Untuk mewujudkan hal itu, NU bukan hanya selalu hadir, tetapi juga selalu menjadi garda terdepan dalam mewujudkan kondisi kemajuan bangsanya. Realita di lapangan menunjukkan, selama NU berdiri hingga kini, tak pernah rasanya NU berkhianat kepada negeri yang dipijaknya itu.
Baca Juga
Karakter Pesantren: Kemandirian
Di sisi lain, untuk memastikan terciptanya kemajuan bangsanya, NU selalu menjadi garda terdepan yang menggelorakan bahwa NKRI harga mati. Bagi NU, NKRI adalah final bukan sebagai tempat untuk berdiam diri, melainkan juga untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya keberlangsungan kehidupan keberagamaannya.
Bagi NU, meskipun NKRI bukan negara agama, tetapi negara menjamin kebebasan pelaksanaan ritual beragam kepercayaan yang ada. NU memandang, bentuk negara apapun layak dimiliki dan dipakai selama keadilan, kesetaraan, kemaslahatan agama dan keberagaman diperjuangkan di dalamnya. Sederhananya, bentuk negara tidak menjadi satu jaminan akan terciptanya satu kemaslahatan bagi masyarakatnya.
Bagi NU juga, meskipun Indonesia adalah negara berlandaskan Pancasila dimana negara dan agama sama-sama berperan penting dalam keberadaannya, realitanya agama tidak hanya sebagai privasi, namun menjadi penyeimbang bagi keberlangsungan tata kelola pemerintahan. Di sisi lain, negara tidak serta mengesampingkan peran agama, tetapi negara hadir untuk menjamin nilai-nilai agama dapat berjalan sebagaimana mestinya. Inilah kiranya mengapa hingga saat ini Indonesia masuk kategori negara aman dan damai meskipun bentuk negaranya bukan negara agama maupun sekuler.
Terakhir, NU berkewajiban untuk memastikan ketinggian harkat dan martabat manusia dapat tercipta dengan baik. Sikap demikian diambil karena NU berpandangan bahwa seluruh manusia dimuliakan Tuhan (QS al-Isra [17]: 70) sehingga ketinggian martabat manusia menjadi satu hal penting untuk diutamakan.
Ketinggian martabat umat manusia juga menjadi penting manakala manusia itu sendiri mampu mendelegasikan dirinya sebagai mandatoris Tuhan di muka bumi. Dalam hal ini, NU meyakini semua manusia berhak untuk mengaktualisaikan diri sesuai dengan identitas yang diberikan Tuhannya. Oleh karena itulah, dalam memandang realitas keberagaman manusia, dalam bersikap NU selalu menjunjung sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (adil, seimbang), dan i'tidal (tegak lurus).
Keempat sikap demikian sejatinya merupakan pengejawantahan cara beragama NU yang menjunjung tinggi nilai Islam Ahlussunnah Waljamaah. Bagi NU, semua manusia diberikan kebebasan untuk memilih kepercayaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Perbedaan menjadi sebuah kenyataan yang mesti disyukuri. Oleh karenanya, dalam menilai suatu permasalahan, terutama soal keberagaman, NU selalu mengambil sikap hati-hati (siger tengah).
Alhasil, variabel kesatu dan kedua bahwa NU mempunyai tanggung jawab atas kemaslahatan negara sekaligus masyarakatnya mencerminkan bahwa visi NU terbatas dalam artian untuk satu wilayah kenegaraan. Dalam hal ini NU tidak mempunyai kepentingan atas negara lain. Akan tetapi dalam variabel ketiga bahwa NU berkewajiban menciptakan ketinggian harkat dan martabat umat manusia secara keseluruhan, itu artinya NU memiliki visi yang tak terbatas. Tak terbatas dalam artian NU berhak ikut andil dalam menciptakan perdamaian dunia. Salah satu bentuknya yakni tetap menjamin faham Islam Ahlussunnah Waljamaah lestari di muka bum ini. Mengapa harus faham Islam Ahlussunnah Waljamaah, tidak dengan faham yang lain? Karena kenyataannya, keempat sikap yang disebut di atas (tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i'tidal) hanya dimiliki oleh Islam Ahlussunnah Waljamaah, sementara Islam yang lain (misal: Islam fundamental atau garis keras) tidak memiliki sikap-sikap beragama demikian. Wallahu'alam
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang juga sebagai instruktur Pendidikan Dasar-Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD-PKPNU)
Terpopuler
1
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
2
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
3
Isi Kuliah Umum di Uniga, Iip D Yahya Sebut Media Harus Sajikan Informasi ‘Halal’ dan Tetap Diminati
4
Pengembangan Karakter Melalui Model Manajemen Manis
5
LD-PWNU Jawa Barat Gelar Madrasah Du'at ke-IV, Fokus Pengkaderan Da'i di Era Digital
6
Perkuat Sinergi untuk Umat, PCNU Depok Audiensi dengan Wali Kota Supian Suri
Terkini
Lihat Semua