• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

Keusangan Muqaddimah Qanun Asasi

Keusangan Muqaddimah Qanun Asasi
Ilustrasi Qanun Asasi NU (Desain: M. Iqbal)
Ilustrasi Qanun Asasi NU (Desain: M. Iqbal)

Muqaddimah Qanun Asyasi NU yang ditulis Hadratusy Syaikh pada mulanya tidak  menunjukkan keistimewaan tertentu, apalagi dibandingkan dengan pemikiran para ulama sezamannya. Pada tahun 1920-an para ulama di dunia Islam sedang menghadapi serbuan modernitas yang meluluh-lantakkan fondasi keilmuan dan keberagamaan. Seraya bermunculan pemikiran tajdid yang menyerukan “kembali ke yang asal”, satu seruan yang berdiri di atas asumsi kebenaran Islam telah terbukti benar dan menghasilkan kejayaan, jika ada kemunduran pastilah disebabkan oleh cara berislam yang telah tercampur-aduk dengan kebatilan. Lalu secara serempak, hampir semua ulama menyerukan pembersihan ajaran Islam dari berbagai ‘campuran’ yang diduga menjadi penyebab kemunduran Islam.Gelombang modernisme ini sebenarnya sudah dimulai pasca penyerangan Napoleon ke Mesir (1798) dan takluknya Moghul India pada Inggris (1857). Saat itu Syed Ahmad Khan (1817-1898) di India menyerukan Kalam Jadid yang menjadikan hukum alam sebagai setara dengan aturan al-Quran, “Keduanya tak mungkin bertentangan, jika tafsir al-Quran bertentangan dengan hukum alam, tafsiran itu harus dikoreksi”. 


At-Tahtawi (1801-1873) di Mesir menyatakan bahwa yang dibutuhkan Umat Islam adalah "inspeksi individu atas tindakannya, keadaan, kata-kata, karakter, dan keinginannya, dan kontrolnya atas mereka dengan kendali  atas argumentasinya, Man is in fact his own doctor.” Di sisi lain, Jamaluddin Afghani dan Muhammad Abduh menyerukan reformasi pendidikan Islam.  


Negativitas modernisme menjadi semakin menjadi-jadi setelah sekularisme menguasai cara berpikir Kemal Pasha Attaturk di Turki . Mulanya Attaturk hanya menyingkirkan kesultanan Turki Utsmani (1922), lalu ia juga membubarkan kekhalifahan (1924). Umat Islam limbung, tak hanya cara berpikir yang harus diubah namun juga cara bernegara. Dulu semasa kekhalifahan masih ada di bawah Turki Utsmani, asumsi hukum berada di bawah jaminan Mufti  Turki Utsmani. Setelah kekhalifahan bubar, semua negara memikirkan ulang bentuk baru kekhalifahan. Akankah kehidupan bersama umat  Islam tanpa tatanan bersama? 


Setelah itu muncullah pemikiran soal politik. Rashid Ridla dalam bukunya al-Khilafa wa al-Imama al-'Uzma menegaskan bahwa masyarakat yang benar-benar mematuhi syariah akan menjadi alternatif yang sukses untuk kekacauan dan ketidakadilan kapitalisme dan sosialisme. Al-Mawdudi dalam  al-Jihad fil-Islam (1925) meyakini bahwa masyarakat Muslim tidak bisa menjadi Islam tanpa syariah dan pendirian negara Islam itu untuk menegakkannya. 

Maududdi dan Hasan Al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin (1928) yang bersemboyan "Al-Qur'an adalah konstitusi kita". Sementara itu Abdul Raziq (1888-1966) pemikir Mesir, menegaskan bahwa Islam tidak membutuhkan kekhalifahan, Rasul diutus tidak dibebani kewajiban selain membawa risalah. Rasul diutus bukan sebagai hafizh (penjaga atau pengawal) Q.S. 4:80, bukan sebagai jabbar (pemaksa Q.S 10:99) dan bukan sebagai musaitir (penguasa Q.S 88:22). Tetapi Kewajiban Rasul adalah sebagai balagh atau penyampai risalah (Q.S. 42:48), sebagai mubasysyir wa nazir (Q.S. 7:188), juga sebagai mudzakkir atau pemberi ingat (Q.S. 88:21) yang tidak terkait dengan kekuasaan negara, 


Di saat seperti itu, pada 1926, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari menulis dalam Qanun Asasi, “Sesungguhnya perkumpulan (al-ijtima’) dan saling mengenal (at-ta’aruf), bersatu (al-ittihad)  dan kompak (at-ta-alluf) merupakan hal yang tak seorangpun tak mengenali manfaatnya.” 


Tak ada slogan besar pada pernyataan ini, hanya menyerukan pentingnya perkumpulan (al-ijtima’) saling mengenal (at-ta’aruf), persatuan (al-ittihad)  dan kekompakan (at-ta'alluf) yang dikuatkan dengan hadits Nabi: "Kekuasaan Allah bersama jama’ah. Apabila di antara jama’ah itu ada yang memencil sendiri, maka setan pun akan menerkamnya, seperti halnya serigala menerkam kambing." Uraian setelah itu menguatkan pentingnya persatuan dalam jamaah. 


Lalu pada sepertiga tulisannya, Hadratusy Syaikh memfokuskan seruan berorganisasi ini kepada para ulama, “Wahai ulama dan para pemimpin yang bertaqwa di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan keluarga madzhab imam empat.”

Dan kepada para pengikutnya ia mengingatkan, “Marilah Anda semua dan segenap pengikut dari golongan: fakir miskin (al-fuqara), para hartawan (al-aghniya), rakyat jelata (adl-dlu‘afa) dan orang-orang kuat (al-aqwiyaa), berbondong-bondong masuk Jam’iyyah yang diberi nama “Jam’iyyah Nahdlatul Ulama” ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.”
...
“Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, atau orang-orang yang kemudian menyusul masuk jam’iyyah ini. Wahai kalian semua jangan kau sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan.” 

Bukan Slogan Besar

Tak ada slogan besar untuk memperbaharui pemikiran agama, tak ada kritik terhadap cara pikir tradisional atau modern, hanya seruan agar para ulama mau bersatu dalam organisasi “Kebangkitan Ulama“ (Nahdlat al-Ulama). Kalaupun ada deskripsi terkait ilmu, deskripsi itu dikemukakan saat merumuskan identitas ulama, 


“Anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda, orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalan sanad yang bersambung sampai kepada anda sekalian, dan anda sekalian selalu meneliti dari siapa anda menimba ilmu agamamu. Maka dengan demikian, anda sekalian adalah penjaga-penjaga ilmu dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu.” 


Ulama bagi Hadratusy Syaikh adalah penjaga dan gudangnya ilmu atau bangsawan-pikir yang memiliki ilmu dari rantai sumber yang terpercaya. Ulama adalah bangsawan-pikir yang selalu meneliti rantai keilmuannya demi ketersambungannya dengan sumber Kebenaran. Sebagai penjaga dan gudangnya ilmu, seorang ulama seharusnya tak membiarkan keberadaan pencuri ilmu. Atas dasar pola pikir seperti ini, Muqaddimah Qanun Asasi dulu tidak menarik perhatian saya. Terlalu datar, tak menjawab langsung persoalan yang dihadapi umat Islam. 


Betulkah terlalu datar dan usang?


Para pemikir pembaharuan Islam pada abad itu menunjukkan cara berpikir hadap-masalah. Abduh mengajukan sistem pendidikan modern, cara berpikir rasional, dengan cara beragama yang mengikuti salaf saleh. Afghani menyerukan persatuan ummat Islam (pan-Islamisme) melawan kolonialisme dan cara berpikir rasional kritis. Sayyid Ahmad Khan menyerukan kolaborasi dengan kolonial, membangun sistem pendidikan Islam modern, dan menerima hukum alam (yang menjadi basis sains) sebagai setara dengan firman Allah. Muhammad Iqbal menyerukan perbaikan konsep Insan Kamil yang berorientasi aksi dan pendirian negara berdasar Syariat Islam. Al-Banna mendorong penegakan Syariat Islam. Sayyid Quthb menyebut zaman modern sebagai zaman jahiliyah yang harus dihijrahkan, dan sebagainya. Sementara Hadratus Syaikh justru menyerukan “kebangkitan ulama“ melalui organisasi dan tidak menyinggung sedikitpun soal kekhalifahan dan reformasi cara berpikir. 


Setelah zaman modern terus bergulir, terorisme menjadi masalah. Pemikiran seperti Hizbut Tahrir yang reaktif membayangkan penyelesaian cepat melalui pendirian khilafah. Logika yang dibangun melihat umat Islam seperti pepohonan yang terkena penyakit, yang hanya bisa diperbaiki dengan cara mencabut dari akarnya seraya mengganti dengan pepohonan baru berbasis akar baru. Masalah, bagi logika ini, hanya bisa diselesikan melalui penggantian hal yang mendasar (fundamen) dan akar (radik). Logika seperti ini melahirkan cara berpikir baru yang menyalahkan “kekalahan umat“ karena “aturan main“ dan “wasit“ yang bermasalah. Agar umat Islam bisa menang, aturan main dan wasitnya harus diganti. Demi penggantian itu, penolakan terhadap sistem terjadi (entah secara sadar atau tidak sadar), teror pun terjadi di mana-mana. Akhirnya kehidupan bersama  terganggu, lalu masalah mendasar umat seperti kebodohan dan kemiskinan, semakin terbengkalai. Saat itu, semua ulama di dunia Islam mencari bentuk baru pemikiran Islam yang damai, moderat, menguatkan persatuan, dan berorientasi pada kebaikan bersama. 


Relevan dan Terbukti
Saat itulah, pemikiran Hadratusy Syaikh tiba-tiba menjadi relevan. Kalau dipikir-pikir, pemikiran para pembaharu kini menjadi isapan jempol. India yang dibayangkan Sayyed Ahmad Khan terpecah menjadi tiga (India, Pakistan, Bangladesh). Pakistan yang dibangun dari mimpi Muhammad Iqbal, Mesir yang dibangun oleh mimpi Abduh mengenai negara Islam modern, Iran yang berdiri dari pemikiran Ali Shariati, tak menunjukkan kemajuan ideal. Ikhwanul Muslimin yang dibangun al-Banna terus tertatih-tatih mengikuti politik dalam negeri Mesir, Hizbut Tahrir demi idealismenya, terjebak pada penggunaan kekerasan ekstrem. Semua pemikiran besar luruh seperti daun di musim gugur. Sementara pemikiran Hadratusy Syaikh masih berdiri kokoh dan sanggup menciptakan kehidupan bersama yang damai dan toleran.


Setelah satu abad, pemikiran dalam Muqaddimah Qanun Asasi menjadi relevan dan menunjukkan buktinya.  Bukan jawaban reaktif yang diberikan Muqaddimah Qanun Asasi, melainkan jawaban sistemis. Bid’ah memang masalah, bagi yang reaktif solusinya adalah memerangi bid‘ah. Namun bagi Hadratusy Syaikh, soluisnya adalah “membangkitkan ulama agar menjaga ilmu agama dari para pencuri“. Saat ulama bangkit, umat semakin tercerahkan dan laku bid’ah secara perlahan terkikis.  


Setelah kehalfahan runtuh, dibutuhkan sistem untuk memastikan pelaksanaan dan perlindungan syariat Islam di tengah masyarakat. Bagi yang reaktif, solusinya adalah pendirian negara syariat atau mengembalikan kekhalifahan. Namun bagi Hadratusy Syaikh, soluisnya adalah persatuan di bawah bimbingan ulama yang terbangkitkan, karena pada dasarnya pelaksanaan dan perlindungan syariat Islam bagi umat ditentukan dari keaktifan ulama dalam menjalankan tugasnya.

Bagaimanakah Hadratus Syaikh dapat berpikir seperti ini? Saya teringat Thinking System Theory. Apakah itu? 

Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ketua PW Lakpesdam PWNU Jabar.
 


Editor:

Opini Terbaru