• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Kolom Prof Bambang

Piagam Surabaya: Menegaskan Posisi UIN di Tengah Persoalan Bangsa

Piagam Surabaya: Menegaskan Posisi UIN di Tengah Persoalan Bangsa
Pembacaan Surabaya Charter oleh Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Akhmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023, 4/5/23 (Foto: kemenag.go.id))
Pembacaan Surabaya Charter oleh Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof. Akhmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023, 4/5/23 (Foto: kemenag.go.id))

Mari kita sambut Surabaya Charter (Piagam Surabaya) yang dihasilkan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya.  Salah satu hasil AICIS ini adalah penolakan terhadap politik identitas, yang merupakan rumusan kelima dari enam rumusan Surabaya Charter. Penolakan ini dibutuhkan pada saat NKRI menghadapi tahun politik yang berdasarkan pengalaman sebelumnya, “digoreng” dengan politik identitas. Atas dasar itu, rekomendasi ini tidak bisa lewat begitu saja sebagai wacana teoretikal belaka, melainkan harus menjadi dasar kebijakan pengelolaan Perguruan Tinggi Keagamaan seperti UIN. 

 

Fokus AICIS ke-22 adalah fiqih untuk peradaban seperti terlihat pada temanya Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace.  Fiqih sebagai pedoman ibadah bagi umat Islam telah lama didorong oleh NU, untuk dapat menjawab tantangan peradaban Abad 21, sekaligus merancang masa depan peradaban Umat Islam di tengah tantangan Industri 4.0. Sejumlah halaqah telah dilakukan NU pada 1 tahun terakhir, yang berpuncak pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I (Surabaya 6 Februari 2023). Salah satu rekomendasi Muktamar Internasional itu adalah mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru fiqh, yaitu fiqh yang dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia.

 

Spirit Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqh Peradaban I ini terasa pada AICIS ke-22. Ada enam rumusan yang dihasilkan Surabaya Charter.  Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fiqih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fiqih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.  

 

Keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fiqih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
AICIS adalah forum tahunan Sarjana dan Ilmuwan Agama yang diselenggarakan Kementrian Agama Republik Indonesia. Sarjana dan ilmuwan UIN dan PTKN tentu saja ada di dalamnya, karena itu dua rekomendasi ini harus menjadi orientasi dan agenda pengembangan UIN. 
Paling tidak ada 3 beberapa agenda yang harus dilakukan UIN.

 

Pertama, revitalisasi mata kuliah agama yang diajarkan agar didasarkan pada prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan, dengan pendekatan maqashid al-syariah untuk mengatasi masalah kontemporer. Agenda ini berarti mata kuliah agama yang diajarkan di UIN, tidak sekedar hafalan, namun sebentuk metode berpikir yang arif dan cerdas berdasarkan pembelaan terhadap nyawa, harta, agama, akal sehat, jiwa, dan masa depan bangsa. Konsekuensi lain, mata kuliah agama tidak hanya mengulang doktrin lama melainkan harus dihadapkan dengan masalah kontemporer, tak sekadar untuk memahami, namun juga untuk memberikan jawaban dan rancangan antisipasi masa depan. 

 

Kedua, revitalisasi mata kuliah dasar yang dapat memberikan critical thinking sehingga menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang tidak berpikiran deskriminatif, dan tidak menjadikan agama sebagai politik identitas. Ketiga, reorientasi proses perkuliahan tidak sekadar cakap dalam teori namun mampu berkhidmat di tengah masyarakat untuk memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai didasarkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama. Mahasiswa dan lulusan UIN, memiliki tanggungjawab yang besar untuk menjadi agen pelaksana Fiqih Peradaban. Hanya dengan itu, rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih peradaban I dan AICIS ke-22, dapat terdesiminiasi di tengah masyarakat.  


Khidmat atau spirit melayani dapat menjadi metode pengabdian masyarakat yang  tidak ada paksaan di dalamnya, melainkan lahir dari keinginan tulus untuk melayani umat atas nama posisi diri sebagai abdullah (pelayan Allah). Perguruan Tinggi Keagamaan seperti UIN harus menunjukkan jati dirinya sebagai pusat pengembangan dan penyebaran Fiqih Peradaban di negeri ini. UIN tak bisa sekadar menyelenggarakan pendidikan biasa-biasa saja, melainkan harus proaktif menghasilkan alumni-alumni yang siap-hadap bahkan siap-inovasi bentuk peradaban umat di masa depan. Jika selama ini ada banyak yang mencemaskan Industry 4.0, UIN berdasarkan dua rekomendasi ini harus dapat mewujudkan umat 5.0 bagi masa depan yang lebih bermartabat.

 

Bambang Qomaruzzaman adalah Guru Besar UIN SGD Bandung dan Ketua Lapesdam PWNU Jawa Barat


 


Editor:

Opini Terbaru