• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Jendela Konsep Wara dan Mirror Neuron

Jendela Konsep Wara dan Mirror Neuron
Jendela Konsep Wara dan Mirror Neuron. (Foto: NU Online Jabar)
Jendela Konsep Wara dan Mirror Neuron. (Foto: NU Online Jabar)

Pendidikan menjadi instrumen penting dalam kehidupan, manusia sejatinya selalu belajar apapun di dunia. Dari sudut pandang Islam, belajar merupakan pondasi memahami agama. Rasulullah Saw sekalipun mewajibkan setiap insan agar belajar sebagai jalan berjihad kepada Allah Swt. Manusia mengenal belajar serupa dengan menuntut ilmu, tujuan utama adalah menjadi orang berilmu dan mampu mengamalkan ilmu tersebut.


Beralih pada konteks Islam, belajar bukanlah semata-mata kita, membaca, berfikir, menerima ilmu lalu mengamalkan begitu saja. Diperlukan sebuah regulasi dalam proses belajar yaitu akhlak atau tata krama terhadap suatu ilmu, guru, dan lembaga pendidikan. Inilah keutamaan Islam dalam mendidik manusia yang senantiasa tidak pernah berhenti belajar.


Demikian, manusia lahir ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Sebagaimana Imam Syafi’I menuturkan, Ta’allam falaisal mar’u yuuladu ‘aaliman (belajarlah, karena tidak ada seorang pun lahir dalam keadaan berilmu). Dengan begitu belajar menjadi penting, dan lebih vital ialah bagaimana seseorang berakhlak selama belajar.


Lalu, apa yang perlu dilakukan seseorang ketika prosesi belajar, salah satunya adalah sikap wara’ (menjaga diri). Imam Az-Zarnuji mendefinisikan attaharaju anil haram fi halan lita’lim (memelihara diri dari sesuatu yang haram sewaktu menuntut ilmu). Sebagai pencari ilmu, perlu kehati-hatian atas perilaku yang diharamkan.


Selain itu, seseorang juga harus menjauhkan dari segala hal yang halal dan diperbolehkan tetapi kurang penting dan bermanfaat selagi belajar. Lebih lanjut, sesuatu yang diragu-ragukan atau syubhat harus dihindari. Para pencari ilmu seringkali lupa akan perkara ini, suatu sifat sederhana namun subtansial atas ilmu yang didapatkan.


Konsekuensi Tidak Wara’

Dengan bersikap wara’, seseorang akan menjadi bermanfaat bagi sesama manusia dan mendapatkan kecintaan Allah Swt. Lantas, bagaimana jika seorang pencari ilmu mengabaikan sikap wara’ semasa belajar?
 

Dalam karya kitab klasik Imam Az-Zarnuji, Ta’limul Al-Muta’alim, Rasulullah Saw bersabda “Siapa yang tidak bersikap wara’ pada waktu belajarnya, maka Allah memberinya ujian dengan salah satu dari tiga perkara yaitu dimatikan pada usia muda, atau ditempatkan di perkampungan orang-orang bodoh atau mengujinya dengan menjadi pembantu bagi penguasa”.


Dari hadits di atas dijelaskan, ada tiga kategori cobaan bagi seseorang yang tidak bersikap wara’. Pertama, ia akan diberikan umur yang pendek. Kedua, mendapatkan lingkungan bersama orang- orang yang bodoh. Ketiga, menjadi pelayan bagi para pejabat negeri.


Pencari ilmu yang tidak berusia panjang bisa dikatakan orang yang merugi, sebab bertolakbelakang dari hadits Rasulullah SAW, berbunyi:


“Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab: “Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR: Tirmidzi)


Begitu pula, orang yang berumur panjang namun sedikit amal baiknya termasuk ke dalam orang- orang rugi. Ini lah mengapa pencari ilmu seharusnya bersikap wara’ agar mampu mengamalkan ilmu dalam periode yang lama.


Kemudian, menarik untuk dibahas adalah ujian pencari ilmu di lingkungan orang-orang bodoh. Hemat penulis, bodoh bisa diartikan orang-orang malas, lamban berfikir, dan cenderung kurang pengetahuan. Bukankah hal baik jika pencari ilmu ditempatkan seperti itu? Agar mereka mendapatkan pencerahan atas ilmu.


Sebenarnya, ini adalah tantangan bagi pencari ilmu, misalnya memiliki teman-teman pemalas, dirinya akan terdominasi oleh perilaku mereka seiring berjalannya waktu. Sehingga, ilmu yang didapatkan sukar untuk di amalkan bahkan berujung terlupakan. Memakai kacamata Neurosains, sang pencari ilmu terkena dampak buruk mirror neuron.


Mirror Neuron dan Perilaku Bodoh

Mengutip Britannica, seorang profesor ilmu bidang kognisi, Nathalie Sebaz mengatakan Mirror Neuron (Neuron Cermin) adalah sel motorik-sensor otak manusia yang aktif ketika seseorang melihat atau mengamati langsung perilaku seseorang, lalu melakukan hal serupa.
 

Artinya, seseorang yang rajin sekalipun jika mendapati lingkungan malas akan terbawa dan menirukan perilaku orang-orang malas. Sebab ini, pencari ilmu yang telah memiliki ilmu cukup namun tidak wara’ akan diuji bersama orang-orang bodoh. Ilmu yang didapatkan menjadi tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.


Neuron Cermin membuktikan bahwa seseorang bisa melakukan sesuatu atas apa yang di dapatkan melalui indrawi manusia. Allah SWT tidak semena-mena menguji di luar batasan kemampuan manusia. Sang pencari ilmu benar-benar dicoba atas ilmu yang didapatkan bisa diamalkan atau sebatas kepuasan diri belaka. Apalagi dalam halnya wara’, sikap ini memberikan hal-hal transendental supaya ilmu yang dimiliki berkah serta lebih bermanfaat.


Di samping itu, neuron cermin merancang manusia berusaha empati, sosial dan imitasi. Apabila dihubungkan dengan ujian Allah SWT kepada pencari ilmu yang tidak wara’, mereka memperoleh stimulus neuron cermin yang buruk, mengubah perilaku yang akhirnya menjadi orang-orang dirugikan. Maka, bersikap wara’ adalah kunci utama pencari ilmu terhindar dari pengaruh orang- orang bodoh dan membentuk karakter arif dan konsisten.


Mohamad Akmal Albari, alumni pondok pesantren Cipasung serta ahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru