• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Internasionalisasi NU melalui PCINU, Efektifkah? 

Internasionalisasi NU melalui PCINU, Efektifkah? 
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Oleh Syafiq Hasyim

Salah satu harapan ke depan yang diharapkan adalah peran NU pada tingkat internasional atau global. Agensi yang diharapkan, selain kemampuan pengurus NU di Indonesia untuk berkomunikasi dalam percaturan global adalah peran PCI-PCINU yang tersebar di banyak negara. Zaman saya mendirikan NU di Jerman --2009-2014-- sudah hampir 30 an PCINU, saya kira sekarang lebih. 


Tapi mengharapkan pada PCINU itu realistiskah? Saya ingin membuat catatan evaluasi pada peran PCINU di luar negeri, terutama di Eropa, namun sebelumnya ingin melihat sejak kapan upaya kehadiran PCINU di negara-negara lain?


Sudah barang tentu, international window buat kehadiran NU di tingkat global adalah Gus Dur. Ini karena kemampuan Gus Dur yang membawa NU pada percaturan dan isu2 global termasuk melalui keterlibatan Gus Dur dalam gerakan demokrasi negara berkembang saat itu. Jadi, NU mulai dikenal di jagat global justru melalui gerakan demokrasi. Sampai saat ini saya ndak melihat orang di dalam NU seperti Gus Dur, mungkin untuk selamanya ke depan.


Namun internasiolisasi NU, dalam catatan saya, mulai pada era kepemimpinan Kyai Hasyim Muzadi. Pada masa beliau pembukaan NU-NU cabang internasional mulai bahkan menjamur. Kami mendirikan PCINU Jerman pada masa terakhir kepemimpinan Kyai Hasyim. Saya tahu beliau bukan "international man", karena jaringannya yg tidak sama dengan GD, namun Kyai Hasyim punya visi utk meneruskan internasionalisasi NU GD. Meskipun juga, visi PCINU tidak selalu sama dengan kyai Hasyim.  Kyai Hasyim kira-kira ingin NU menjadi transnational organization.


Bagaimana dengan peran PCINU? PCINU diharapkan menjadi perpanjangan visi internasionalisasi NU. Pada masa kami, di Jerman, dan Eropa mendirikan PCINU penuh tantangan. Bertepatan pada masa itu, PKS dan gerakan dakwah model PKS sedang moncer karena mereka berada di dalam kekuasaan politik zaman SBY. 


Mendirikan NU pada masa PKS berjaya di Eropa bukan perkara mudah. PKS memiliki jaringan yang sangat mapan, menguasai masjid-masjid, mendatangkan pendakwah ke Eropa dengan sangat rutin, memiliki jaringan konsolidasi dana melalui lembaga-lembaga zakat, infaq dan sadaqah dan mahasiswa-mahasiswa yang baru datang melalui jaringan mereka juga.


Tapi tantangan sesungguhnya bagi NU masa itu adalah stigmatisasi. Kasus Eropa, karena wacana keagamaan sudah dipegang teman-teman PKS, maka kehadiran NU itu dianggap sebagai gerakan heterodoks. Kasus kami di Jerman, NU itu dianggap JIL. Ingat ya, JIL pada tahun 2000 ke atas sedang moncer juga dan lawan utama PKS dan ormas-ormas Islam. Maksud kita memang benar-benar mendirikan NU, namun mereka menframe bahwa kita ini bukan NU, tapi JIL. Itu yang disebar-sebarkan. Di sini letak masalah karena Kyai Hasyim masa itu juga kritis pada JIL. Namun kami bisa mengatasi dengan membuat aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang tek terjangkau PKS. Kaum diaspora nasionalis. Saya sendiri cuek pada persoalan itu, pengajian ya pengajian saja. 


Apakah jalan yang kami tempuh berhasil untuk menjadikan NU sebagai gerakan yang sustain? Saya kira tidak.


Peran mahasiswa seperti saya ini tidak akan bisa menjadikan NU hadir terus di negeri orang. Dan ini juga berlaku bagi PKS dan organisasi lain. Selama basis gerakannya itu mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri setempat, maka mereka itu akan datang dan pergi. Belum tentu mahasiswa yang baru datang mau juga bergabung ke dalam PCINU meskipun orang NU karena alasan utama mereka ke luar negeri bukan mendirikan NU tapi belajar. Aktif di NU itu sampingan saja dan juga panggilan.


Masalah ini dulu sudah terpikir, terutama hal ini diingatkan oleh diaspora-dispora kita yang sudah menetap lama. Orang-orang yang sudah lama tinggal di Eropa terutama para political asylum, dan juga mereka yang aktif bekerja dan memiliki haluan dan pemikiran terbuka, itulah partner dan pendukung kami. 


Ketika generasi awal NU Jerman sudah selesai studinya, kami khuatir jika  NU akan mati dengan kepulangan kita karena rata-rata kami yang belajar di luar negeri adalah semacam tugas dan ada ikatan harus balik. 


Namun pengurus pasca kami, dalam konteks Jerman, Munirul Ikhwan, Saefuddin dan Zacky berpikir cepat untuk mengajak mereka yang menetap di Jerman untuk nguri-nguri NU. Teman-teman yang sudah tinggal tetap, mereka yang kerja di Jerman dlsb, diajak ngurus organisasi. Jika perlu, kita-kita penggembira saja, yang urus NU biar para mustautin Jerman.


Dan saya lihat strategi ini jitu. Kini nampaknya PCINU Jerman sangat solid dan kuat, hadir hampir di seluruh negara bagian Jerman. Kegiatan komunitas mereka rutin dari pengajian sampai hal-hal lain. Bahkan kini mereka sudah menjadi organisasi yang diakui oleh pemerintah jerman dan bisa dijadikan sebagai tempat membayar pajak. Ini capaian luar biasa.


Anggota mereka adalah bermacam-macam, dari mulai chef-chef, pemiliki toko-toko dan warung-warung, orang-orang pintar yang kerja di dunia tekonologi penerbangan dlsb.


Saya kira, PCINU di seluruh dunia, baik meniru PCINU Jerman. 


Jika semua PCINU di seluruh dunia seperti ini, maka harapan menjadikan NU sebagai transnational organisation itu akan mewujud. 


Jadi, sebuah PCINU yang anggotanya mahasiswa-mahasiswa yang datang dan pergi tidak begitu efektif untuk menjaga kehadiran PCINU. Jika PCINU sudah menjadi miliki para diaspora, maka itu akan bisa lebih efektif dan di situlah masa depan PCINU.


Penulis bekerja di UIII, alumni PCINU Jerman.


Opini Terbaru