• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Harmoni Awal Ramadhan

Harmoni Awal Ramadhan
Harmoni Awal 1 Ramadhan
Harmoni Awal 1 Ramadhan

Keinginan umat Islam Indonesia untuk mengawali awal puasa secara bersama-sama terlaksana sudah, setelah organisasi kemasyarakat Islam dan pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia serempak menetapkan 1 Ramadan 1444 H jatuh pada Kamis 23 Maret 2023. 

 

Hal ini menjadi kegembiraan tersendiri. Pasalnya, penentuan awal 1 Ramadan di negeri ini kerap berbeda karena masing-masing pihak, terutama organisasi-organisasi Islam kemasyarakatan di Indonesia mempunyai cara pandang tersendiri dalam menentukan kepastian awal waktu dalam memasuki bulan Ramadan.

 

Sudah menjadi tradisi dan aturan, penentuan awal Ramadan di Indonesia menggunakan dua metode, yaitu metode rukyat (pengamatan) hilal secara langsung (menggunakan alat bantu optik) dan metode hisab (penghitungan) dengan mengandalkan hasil hitungan posisi bulan sesuai kriteria tertentu.  

 

Di Indonesia, ormas yang populer berpegang teguh pada metode hisab dalam menentukan awal bulan baru hijriah adalah Muhammadiyah. Sementara ormas yang populer dengan metode rukyat adalah Nahdlatul Ulama (NU).

 

Meskipun kebanyakan ormas yang lainnya juga sering mengambil metode rukyat dalam menentukan awal 1 Ramadan.

 

Itu artinya, dua metode tersebut hanya jalan untuk memastikan datangnya awal bulan baru. Toh pada realisasinya, bagi pengamal hisab maupun rukyat, pelaksanaan ibadah puasanya tetap ada pada satu bulan meskipun dengan jumlah hari yang kadang berbeda, antara 29 hari dan 30 hari. Oleh karena itu, perbedaan penentuan awal bulan dalam hijriah (termasuk awal 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah) jangan dijadikan sebuah pertentangan. 

 

Dengan mengambil metode hisab untuk menentukan awal bulan hijriah, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam di Indonesia menegaskan mereka sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar yang bercirikan tajdid (pembaharuan). 

 

Bagi Muhammadiyah, dalam memahami dan mengimplementasikan teks-teks agama (syariah), pemahaman agama secara integralistik dan hierarkis menjadi suatu keharusan. Pemahaman integralistik dipahami sebagai postulasi teori keabsahan koroboratif, yakni saling mendukung dan melengkapi di antara berbagai elemen sumber dalil dalam merealisasikan petunjuk agama. Sementara, pemahaman hierarkis dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip atau nilai-nilai universal agama yang diambil dari asas-asas al-Quran dan as-Sunah diambil untuk dapat memayungi norma-norma di bawahnya. Asumsi hierarkis menegaskan bahwa norma agama itu berjenjang dari norma yang paling atas sampai norma paling bawah. (Oman Fathurahman SW: 2022). 

 

Sejalan dengan itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa metode hisab sebagai metode yang dipakai untuk menentukan awal bulan jauh lebih akurat secara ilmiah. Ia berpedoman salahsatunya pada QS Yasin ayat 38 sebagai dalil bahwa matahari dan bumi beredar sesuai dengan takdir ketetapan Allah. 

 

“Dan matahari berjalan di tempat peredaraannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.” 

 

Menurutnya, jika takdir Allah misalnya peredaran bumi dan matahari sudah diketahui manusia, maka tidak akan meleset. Oleh karena itu menurutnya para pengamal hisab berkeyakinan bahwa dalam memprediksi awal bulan (di dalamnya 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah) termasuk gerhana sekalipun dapat diketahui secara pasti waktunya. 

 

Sementara Nahdlatul Ulama (NU) dalam menentukan awal 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah dengan menggunakan metode rukyat berpedoman pada pendapat jumhur ulama (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i & Hambali) bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadan hanya bisa ditetapkan melalui cara rukyat atau istikmal (penggenapan 30 hari Syawal) sesuai dengan dalil baik al-Quran maupun hadis.

 

NU berpegang teguh pada QS al-Baqarah ayat 185:

 

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”

 

dan salah satu hadits Nabi SAW:

 

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah (istikmal) bilangan Syaban menjadi 30 hari.” (HR Bukhari). 

 

Dari dua argumen metode yang berbeda di atas tampak bahwa Muhammadiyah merupakan representasi pergerakan Islam modernis. Sementara NU lebih mengedepankan sebagai representasi pergerakan Islam tradisionalis, meskipun pada perkembangannya mulai fleksibel dalam menerima ide-ide modern, seperti misalnya soal pluralis dan sekularis. Termasuk di dalamnya menggunakan metode hisab sebagai pendukung rukyat dalam menentukan awal bulan hijriah. Pengambilan metode hisab oleh NU hanya sebatas pendukung akurasi metode rukyat. Meskipun secara perhitungan misalnya awal bulan sudah benar, namun pengamatan juga wajib dilakukan terkait dengan perintah tekstual dalil dan faktor alam yang setiap saat bisa berubah.

 

Teruji

 

Beruntungnya, ketika dihadapkan pada perbedaan seperti itu, sikap saling menerima dan menghargai antar sesama umat Islam di Indonesia masih tampak. Umat Islam di Indonesia dari dulu hingga sekarang sudah teruji dengan beberapa perbedaan. 

 

Bagi umat Islam Indonesia perbedaan dalam kehidupan keberagamaan adalah sebuah rahmat yang harus disyukuri. Ego dalam diri masing-masing semestinya sudah harus ditanggalkan karena menjaga persatuan dan kerukunan umat beragama sejatinya menjadi sebuah kewajiban sebagai perintah Allah yang harus dilaksanakan dan diutamakan. 

 

Sepertinya, sikap saling menghargai atas perbedaan umat Islam di Indonesia di bulan Ramadan ini akan kembali dirasakan. Pasalnya, pasca pengumuman penentuan awal 1 Ramadan pada Rabu (22/03/2023), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghibarkan akan terjadinya perbedaan dalam merayakan lebaran 1 Syawal 1444 H. Perbedaan itu didasarkan pada perbedaan metode yang dipakai. 

 

Sekiranya mampu, bagi sebagian masyarakat yang berbuka (berlebaran) lebih awal kiranya berkenan untuk mengikuti shalat Idulfirinya bersamaan dengan masyarakat yang berlebaran di akhir. Hal ini dipandang mengingat shalat Idulfitri adalah sunah, sementara yang wajibnya adalah menjaga persatuan dan persatuan umat.

 

Alhasil, jika berpuasa dan berlebaran dapat dilakukan secara bersama-sama maka akan menjadi suatu pemandangan yang indah. Meskipun harus diakui untuk merealisasikan semacam itu masih sulit, namun asa untuk mewujudkannya tetap ada.

 

Kiranya, para pemangku kebijakan, pemerintah, tokoh bangsa, tokoh organisasi kemasyarakat dapat duduk bersama untuk mewujudkannya karena perjuangan dalam menciptakan harmoni bagi seluruh umat Islam di Indonesia layak untuk diperjuangkan.

 

Semoga.

 

Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut


Opini Terbaru