Opini KOLOM KANG IQBAL

Hari Ibu Bukan Mother’s Day

Senin, 23 Desember 2024 | 17:48 WIB

Hari Ibu Bukan Mother’s Day

Emma Poeradiredja (ketiga dari kiri), Ketua Panitia Kongres Perempuan di Bandung tahun 1938, berpose bersama Pengurus Pasundan Istri. (Foto: Dok. Keluarga).

Setiap tanggal 22 Desember, media sosial, media massa, dan platform layanan pesan seperti WhatsApp dipenuhi dengan ucapan selamat Hari Ibu. Banyak dari kita bukan hanya membaca atau menontonnya, tetapi juga membuat, membagikan dan meresponnya dengan antusias. Postingan yang menyentuh hati, seperti foto ibu bersama anak-anaknya, kisah pengorbanan seorang ibu, dan puisi yang didedikasikan untuk ibu, menjadi umum kita dapati. Yang lebih menarik, ucapan dan narasi Hari Ibu ini tidak hanya ramai di dunia digital, tetapi juga di dunia nyata ketika banyak orang mengatakannya ketika bertemu dengan sesamanya.


Tradisi ini mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia sangat menghormati peran ibu dalam keluarga. Namun, di balik perayaan ini, terdapat sejarah dan makna Hari Ibu di Indonesia yang lebih luas, yang justru sering kali luput dari perhatian. Awalnya, Hari Ibu di Indonesia bukan tentang merayakan ibu, tetapi untuk mengakui kontribusi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama perjuangan mereka dalam membangun bangsa dan memperoleh hak-hak dasar mereka seperti pendidikan dan bebas dari tradisi ketidakadilan gender yang merugikan mereka. Sayangnya, makna ini telah bergeser menjadi sekadar perayaan peran domestik ibu. Untuk memahami esensi Hari Ibu, kita perlu menelusuri akar sejarahnya, alasan penggunaan istilah "Hari Ibu," dan relevansinya bagi generasi masa kini.


Sejarah Hari Ibu di Indonesia

Gagasan tentang Hari Ibu pertama kali muncul dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama, yang diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini menjadi momen penting dalam gerakan perempuan di Indonesia, di mana berbagai organisasi perempuan bersatu untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, pendidikan, dan semangat kebangsaan. Pada tahun 1938, Kongres Perempuan Indonesia Ketiga di Bandung mengusulkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, yang kemudian secara resmi ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959.


Mengapa istilah "Hari Ibu" digunakan alih-alih "Hari Perempuan," padahal maksudnya adalah untuk menghormati perempuan Indonesia? Alasannya terletak pada keterkaitan perjuangan perempuan dengan nilai-nilai keluarga yang sangat dihormati dalam budaya Indonesia. Istilah "ibu" tidak hanya merujuk pada ibu biologis yang melahirkan, merawat dan membesarkan anak,  tetapi juga melambangkan perempuan sebagai pendidik, pemimpin, dan agen perubahan dalam masyarakat. Dengan memilih istilah ini, para penggagas Hari Ibu ingin menekankan pentingnya peran perempuan tanpa memisahkannya dari nilai-nilai budaya dan keluarga yang melekat dalam masyarakat Indonesia.


Perbedaan Hari Ibu dan Mother’s Day di Barat

Hari Ibu di Indonesia berbeda dari Mother’s Day di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, meskipun secara harfiyah keduanya memiliki arti yang sama. Mother’s Day berfokus pada penghormatan kepada ibu dalam konteks keluarga. Perayaan ini biasanya melibatkan pemberian hadiah, bunga, atau kartu ucapan sebagai bentuk apresiasi atas kasih sayang seorang ibu. Meskipun indah dan baik, tradisi ini cenderung membingkai ibu dalam peran domestik dan emosional.


Sebaliknya, Hari Ibu di Indonesia pada awalnya dirancang untuk merayakan peran kolektif perempuan, baik sebagai individu maupun kelompok yang berkontribusi pada perjuangan Indonesia dan pembangunan masyarakat. Hari Ibu menjadi pengingat akan pentingnya pemberdayaan perempuan di berbagai bidang, termasuk pendidikan, ekonomi, dan politik. Sayangnya, perayaan Hari Ibu di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan tradisi seperti pemberian bunga atau ucapan selamat kepada ibu, mirip dengan Mother’s Day di Barat.


Pergeseran Makna Hari Ibu

Kini, tampaknya telah terjadi pergeseran makna Hari Ibu dari tujuan awalnya. Hal ini dapat dilihat dari cara perayaannya. Pada tahun-tahun awal, Hari Ibu ditandai dengan diskusi, seminar, atau kegiatan yang menyoroti isu-isu perempuan. Namun, beberapa faktor telah menyebabkan maknanya menyusut. Pertama, pengaruh budaya Barat melalui media memperkenalkan tradisi Mother’s Day. Kedua, masih kuatnya fokus pada peran domestik perempuan dalam keluarga, sejalan dengan nilai-nilai patriarki yang masih dominan di masyarakat. Ketiga, kurangnya upaya untuk mendidik generasi muda tentang sejarah Hari Ibu, yang menyebabkan makna kolektifnya memudar.
Pergeseran ini tidak sepenuhnya salah, karena ibu memang merupakan simbol penting dalam kehidupan manusia. Namun, reduksi makna ini berisiko mengaburkan sejarah dan tujuan awal Hari Ibu sebagai penghormatan kepada perempuan dalam arti yang lebih luas.


Mengembalikan Esensi Hari Ibu

Bagi generasi masa kini, penting untuk memahami bahwa Hari Ibu memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar merayakan kasih sayang seorang ibu. Hari ini juga merupakan momen refleksi tentang peran perempuan dalam masyarakat dan pentingnya kesetaraan gender. Dengan memahami sejarahnya, kita dapat mengembalikan esensinya sebagai penghormatan kepada semua perempuan tanpa mengurangi apresiasi terhadap peran ibu dalam keluarga.


Sebagai contoh, institusi pendidikan dapat memanfaatkan Hari Ibu untuk mendidik generasi muda tentang sejarah perempuan Indonesia. Komunitas dan organisasi juga dapat mengadakan kegiatan yang menyoroti isu-isu perempuan, seperti kesetaraan gender, pemberdayaan ekonomi, atau pendidikan perempuan.


Penting untuk dipahami bahwa mendefinisikan ulang Hari Ibu sebagai hari untuk perempuan Indonesia tidak berarti merendahkan peran ibu biologis yang melahirkan kita. Sebaliknya, upaya ini bertujuan untuk mengembalikan maknanya yang semula lebih luas, mencakup semua perempuan, baik sebagai individu maupun bagian dari komunitas.


Pada intinya, Hari Ibu di Indonesia adalah perayaan yang bermakna lebih dari sekedar Mother’s Day.  Hari Ibu tidak hanya menghormati ibu dalam keluarga tetapi juga mengakui kontribusi perempuan bagi perjuangan bangsa Indonesia sejak pra-kemerdekaan. Meskipun merayakan Hari Ibu dengan cara yang mirip dengan Mother’s Day di Barat tidak salah, penting untuk mengingat akar sejarahnya agar maknanya yang lebih luas tidak hilang. Dengan demikian, Hari Ibu tidak hanya dapat mempererat hubungan keluarga antara anak dan ibu, melainkan yang lebih esesial meningkatkan kesadaran akan peran penting perempuan bagi perjuangan dan kemajuan Indonesia di masa pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, dan masa depan Indonesia.


Asep Muhamad Iqbal, Direktur CASSR (Centre for Asian Social Science Research), FISIP, UIN Bandung