Opini

Gus Wahid: Pemikir dan Penggerak Yang Terlupakan III

Kamis, 24 April 2025 | 15:38 WIB

Gus Wahid: Pemikir dan Penggerak Yang Terlupakan III

Keluarga KH A Wahid Hassyim. (Foto: NU Online Jabar)

Oleh Bambang Q Anees
(3) Pada artikel berjudul “Beragamalah dengan Sungguh-Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan” (Artikel ini merupakan khutbah Idul Fitri, namun tanpa tanggal) dikemukakan tinjauan terhadap karakter manusia. Pertama, Gus Wahid mengemukakan akal sebagai pangkal keunggulan manusia di antara makhluk lain.


“Dia dijadikan Allah di dalam  bentuk dan keadaan yang  sebaik-baiknya. Dia tidak diberi sayap yang  dapat dipakainya  terbang seperti burung, tetapi dia diberi-Nya  otak yang  memungkinkan dia terbang lebih cepat dan lebih tinggi dari pada burung itu, bahkan sementara terbang itu dia tidak perlu berpayah-payah mengepak-ngepakkan sayapnya…..


Demikianlah maka dengan otaknya  itu, manusia telah memakmurkan dunia; segala beban yang  berat telah dijadikannya  ringan; semua jarak yang  jauh telah dibuatnya  dekat; sekalian keperluan hidup telah diubahnya  dari pada kesukaran menjadi keenakan (kofot). Kehidupan yang  dahulunya  sederhana telah dibuatnya  bermacam-macam ragam, guna menambahi kenikmatan  dan keelokan.


Perhubungan antara manusia dengan sesamanya  yang  dahulunya  tidak tertentu diberinya  peraturan dan kebiasaan (etiket dan protokol). Kebiasaan bermusuhan yang  didasarkan kebencian seperti dulu, telah dilunakkan dan dialirkan ke arah perlombaan yang sehat. Nilai diri manusia biasa yang  dahulunya  diukur dengan rata, lalu ditentukan rendah tingginya  menurut kecakapan dan kegunaannya ; dan itu pun untuk menambahkan asyiknya  orang pada perlumbaan mengejar kesempurnaan.”


Kedua, devaluasi nilai manusia. Karena manusia Berakal seharusnya menyadari akan Sang Maha Pengatur, namun ‘keinsyafan pada adanya  Maha Pengatur itu tidaklah berjalan terus, oleh karena manusia yang  sudah merasa pandai cakap sempurna lalu bersikap sombong (arrogant), menyangkakan dirinya  mempunyai tenaga raksasa yang  tidak terbatas” karena manusia “ manusia menyangka, bahwa segala soal hidup dapat dipecahkan dengan otaknya”.


Kesombongan ini menghasilkan penindasan sesama manusia dan eksploitasi alam. Padahal, menurut Gus Wahid, agama dan kepercayaan  memberikan batasan pada otak, namun karena manusia modern telah menolak agama “Tercabutlah batas antara buah pikiran yang  sehat dan hawa nafsu di dalam  kebanyakan hal.“.


Akibatnya manusia lain yang seharusnya dianggap  sebagai “saudaranya  sesama manusia telah dipandangnya  menjadi musuh”. Lebih lanjut Gus Wahid menulis:


“Dalam hati kecilnya  ia mengakui kebenaran, bahwa mereka itu adalah saudaranya  sesama makhluk; tetapi hawa nafsu telah menjadikannya  membuta tuli. Mulailah perlombaan-perlombaan; kalau dahulu perlombaan itu sehat untuk mengejar kesempurnaan hidup, maka sekarang perlombaan itu tidak lagi sehat, dan tujuannya pun sudah tidak lagi kesempurnaan hidup bagi sesama manusia; akan tetapi mencari kemenangan untuk dirinya  serta golongannya . Untuk mencapai kemenangan ini, dia tidak peduli, apakah dia akan membunuh dan mematikan saudaranya  sesama manusia atau kah tidak.


Bagi Gus Wahid “keengganan menerima kebenaran atau buah pikiran yang  sehat berarti memenangkan hawa nafsu terhadap akal yang  sehat, berakibat pada timbulnya  sikap sombong (arogansi) terhadap ketentuan-ketentuan dan batas-batas yang  telah dipastikan oleh Allah s.w.t”.


Kemudian berdampak pada orientasi manusia “mencari kemenangan terhadap sesama saudaranya, yang  dengan khilaf telah dianggapnya  sebagai musuh. Tentu kemauan mendapatkan kemenangan demikian akan dibalas oleh pihak lain dengan kemauan yang  sama”,  Karena itu bagi  Gus Wahid:


Manusia Indonesia harus menggunakan ajaran yang  pernah dibentangkan Nabi Muhammad SAW; Al-Insaanu akhil insaani, khabba am kariha, (Bahwasanya  manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia, baik dia suka ataupun dia benci); dan harus memandang bahwa di Indonesia ini tidak ada orang yang  merupakan musuh.


Ini tidaklah berarti bahwa manusia Indonesia harus menyerah saja  pada perlakuan orang lain yang  semau-maunya; perlakuan demikian harus diperbaiki dengan kebijaksanaan. Hanya  panjang   hidup berdasar permusuhan dan pertentangan yang  telah menjadikan manusia dunia berubah menjadi serigala-kancil dan sebangsanya, janganlah digunakan oleh manusia Indonesia.


(4) Pada artikel “analisa Kelemahan Penerangan Islam”, Gus Wahid menunjukkan  kejelian analisa dan pikiran manajerialnya. Ia memulai tulisannya dengan menganalisis “pokok pangkal” permasalahan, karena “ Bagaimanapun kita usahakan memperbaiki segala hal yang  tidak sehat itu, pasti akan gagal, jika pokok pangkalnya  tadi tidak dihilangkan terlebih dahulu."


Ada dua kesalahan berpikir mengenai “pokok pangkal” kelemahan dakwah Islam. Pertama, anggapan kekurangan SDM dakwah tidaklah mendasar, “tenaga kita ummat Islam dalam hal ini cukup; hanya saja  kelemahan kita pada kesalahannya  mengatur tenaga dan begitu juga disebabkan karena tidak adanya rencana teratur berdasarkan pikiran orang yang  tinggi”. Persoalannya bukan pada SDM, namun pada strategi, metode, dan manajemen. Gus Wahid menulis:
 

  1. Hampir semuanya penerangan kita dipusatkan pada uraian dengan lisan mengenai alat, ditujukan pada orang sekenanya  saja  dengan tidak dibagi-bagi jadi golongan-golongan, tentang soal-soal yang  tidak dipilih dengan teliti, tetapi sekedar yang  teringat oleh propaganda waktu menghadapi orang banyak mengenai isinya .
  2. Sektor-sektor atau golongan-golongan bukan saja, hingga golongan yang  telah beragama selalu mendapat penerangan (karena mereka hasrat kepada penerangan), sebaliknya  orang yang  tidak beragama tidak pernah mendapat penerangan, dan tidak pernah diusahakan menyerbu mereka. Dalam pada itu, isinya  penerangan yang  umum selalu berulang-ulang dari situ ke situ juga, hingga kalangan yang  beragama itu makin lama makin jemu dan akhir nya  tidak tertarik lagi.
  3. Metode-metode selainnya  penerangan dengan lisan, seperti dengan brosur-brosur, pamflet-pamflet, slogan-slogan, slide, buku-buku, majalah , menggunakan papan-papan dan lain-lainnya  tidak pernah digunakan.


Akibat tanpa perencanaan dalam dakwah Islam, muncul berpenyakit latah:


“…. tiap-tiap seorang pergi ke Timur, lalu semua ikut-ikutan pergi ke Timur; demikian juga kalau seorang kelihatan meneriakkan tentang Pancasila lalu yang  lainnya  turut-turutan. Sudah begitu ditambahin lagi dengan gerak yang  tidak direncanakan lebih dulu, dan berjalan insidentil; Yang lebih menyedihkan lagi ialah tidak ada organisasi yang  mengaturnya, bahkan mereka tidak suka diatur, lebih suka berjalan secara liar, tidak ada kepala-kepalanya  hingga Barisan tukang-tukang foto itu seperti suatu pasukan tentara yang  lepas ikatannya, berkeliaran ke sana kemari, mencari makan dan keperluan-keperluan lainnya  sedapat-dapatnya .”

Kedua, kegiatan dakwah tidak  kekurangan lembaga namun kurang koordinasi antar lembaga itu. “Organisasi demikian sudah banyak, bahkan sudah terlalu banyak. Letaknya  kelemahan kita dalam hal ini sebenarnya  di dalam simpang siurnya  organisasi-organisasi itu satu dengan lainnya”.


Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Jawa Barat