Oleh Bambang Q Anees
(3) Pada artikel berjudul “Beragamalah dengan Sungguh-Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan” (Artikel ini merupakan khutbah Idul Fitri, namun tanpa tanggal) dikemukakan tinjauan terhadap karakter manusia. Pertama, Gus Wahid mengemukakan akal sebagai pangkal keunggulan manusia di antara makhluk lain.
“Dia dijadikan Allah di dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya. Dia tidak diberi sayap yang dapat dipakainya terbang seperti burung, tetapi dia diberi-Nya otak yang memungkinkan dia terbang lebih cepat dan lebih tinggi dari pada burung itu, bahkan sementara terbang itu dia tidak perlu berpayah-payah mengepak-ngepakkan sayapnya…..
Demikianlah maka dengan otaknya itu, manusia telah memakmurkan dunia; segala beban yang berat telah dijadikannya ringan; semua jarak yang jauh telah dibuatnya dekat; sekalian keperluan hidup telah diubahnya dari pada kesukaran menjadi keenakan (kofot). Kehidupan yang dahulunya sederhana telah dibuatnya bermacam-macam ragam, guna menambahi kenikmatan dan keelokan.
Perhubungan antara manusia dengan sesamanya yang dahulunya tidak tertentu diberinya peraturan dan kebiasaan (etiket dan protokol). Kebiasaan bermusuhan yang didasarkan kebencian seperti dulu, telah dilunakkan dan dialirkan ke arah perlombaan yang sehat. Nilai diri manusia biasa yang dahulunya diukur dengan rata, lalu ditentukan rendah tingginya menurut kecakapan dan kegunaannya ; dan itu pun untuk menambahkan asyiknya orang pada perlumbaan mengejar kesempurnaan.”
Kedua, devaluasi nilai manusia. Karena manusia Berakal seharusnya menyadari akan Sang Maha Pengatur, namun ‘keinsyafan pada adanya Maha Pengatur itu tidaklah berjalan terus, oleh karena manusia yang sudah merasa pandai cakap sempurna lalu bersikap sombong (arrogant), menyangkakan dirinya mempunyai tenaga raksasa yang tidak terbatas” karena manusia “ manusia menyangka, bahwa segala soal hidup dapat dipecahkan dengan otaknya”.
Kesombongan ini menghasilkan penindasan sesama manusia dan eksploitasi alam. Padahal, menurut Gus Wahid, agama dan kepercayaan memberikan batasan pada otak, namun karena manusia modern telah menolak agama “Tercabutlah batas antara buah pikiran yang sehat dan hawa nafsu di dalam kebanyakan hal.“.
Akibatnya manusia lain yang seharusnya dianggap sebagai “saudaranya sesama manusia telah dipandangnya menjadi musuh”. Lebih lanjut Gus Wahid menulis:
“Dalam hati kecilnya ia mengakui kebenaran, bahwa mereka itu adalah saudaranya sesama makhluk; tetapi hawa nafsu telah menjadikannya membuta tuli. Mulailah perlombaan-perlombaan; kalau dahulu perlombaan itu sehat untuk mengejar kesempurnaan hidup, maka sekarang perlombaan itu tidak lagi sehat, dan tujuannya pun sudah tidak lagi kesempurnaan hidup bagi sesama manusia; akan tetapi mencari kemenangan untuk dirinya serta golongannya . Untuk mencapai kemenangan ini, dia tidak peduli, apakah dia akan membunuh dan mematikan saudaranya sesama manusia atau kah tidak.
Bagi Gus Wahid “keengganan menerima kebenaran atau buah pikiran yang sehat berarti memenangkan hawa nafsu terhadap akal yang sehat, berakibat pada timbulnya sikap sombong (arogansi) terhadap ketentuan-ketentuan dan batas-batas yang telah dipastikan oleh Allah s.w.t”.
Kemudian berdampak pada orientasi manusia “mencari kemenangan terhadap sesama saudaranya, yang dengan khilaf telah dianggapnya sebagai musuh. Tentu kemauan mendapatkan kemenangan demikian akan dibalas oleh pihak lain dengan kemauan yang sama”, Karena itu bagi Gus Wahid:
Manusia Indonesia harus menggunakan ajaran yang pernah dibentangkan Nabi Muhammad SAW; Al-Insaanu akhil insaani, khabba am kariha, (Bahwasanya manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia, baik dia suka ataupun dia benci); dan harus memandang bahwa di Indonesia ini tidak ada orang yang merupakan musuh.
Ini tidaklah berarti bahwa manusia Indonesia harus menyerah saja pada perlakuan orang lain yang semau-maunya; perlakuan demikian harus diperbaiki dengan kebijaksanaan. Hanya panjang hidup berdasar permusuhan dan pertentangan yang telah menjadikan manusia dunia berubah menjadi serigala-kancil dan sebangsanya, janganlah digunakan oleh manusia Indonesia.
(4) Pada artikel “analisa Kelemahan Penerangan Islam”, Gus Wahid menunjukkan kejelian analisa dan pikiran manajerialnya. Ia memulai tulisannya dengan menganalisis “pokok pangkal” permasalahan, karena “ Bagaimanapun kita usahakan memperbaiki segala hal yang tidak sehat itu, pasti akan gagal, jika pokok pangkalnya tadi tidak dihilangkan terlebih dahulu."
Ada dua kesalahan berpikir mengenai “pokok pangkal” kelemahan dakwah Islam. Pertama, anggapan kekurangan SDM dakwah tidaklah mendasar, “tenaga kita ummat Islam dalam hal ini cukup; hanya saja kelemahan kita pada kesalahannya mengatur tenaga dan begitu juga disebabkan karena tidak adanya rencana teratur berdasarkan pikiran orang yang tinggi”. Persoalannya bukan pada SDM, namun pada strategi, metode, dan manajemen. Gus Wahid menulis:
- Hampir semuanya penerangan kita dipusatkan pada uraian dengan lisan mengenai alat, ditujukan pada orang sekenanya saja dengan tidak dibagi-bagi jadi golongan-golongan, tentang soal-soal yang tidak dipilih dengan teliti, tetapi sekedar yang teringat oleh propaganda waktu menghadapi orang banyak mengenai isinya .
- Sektor-sektor atau golongan-golongan bukan saja, hingga golongan yang telah beragama selalu mendapat penerangan (karena mereka hasrat kepada penerangan), sebaliknya orang yang tidak beragama tidak pernah mendapat penerangan, dan tidak pernah diusahakan menyerbu mereka. Dalam pada itu, isinya penerangan yang umum selalu berulang-ulang dari situ ke situ juga, hingga kalangan yang beragama itu makin lama makin jemu dan akhir nya tidak tertarik lagi.
- Metode-metode selainnya penerangan dengan lisan, seperti dengan brosur-brosur, pamflet-pamflet, slogan-slogan, slide, buku-buku, majalah , menggunakan papan-papan dan lain-lainnya tidak pernah digunakan.
Akibat tanpa perencanaan dalam dakwah Islam, muncul berpenyakit latah:
“…. tiap-tiap seorang pergi ke Timur, lalu semua ikut-ikutan pergi ke Timur; demikian juga kalau seorang kelihatan meneriakkan tentang Pancasila lalu yang lainnya turut-turutan. Sudah begitu ditambahin lagi dengan gerak yang tidak direncanakan lebih dulu, dan berjalan insidentil; Yang lebih menyedihkan lagi ialah tidak ada organisasi yang mengaturnya, bahkan mereka tidak suka diatur, lebih suka berjalan secara liar, tidak ada kepala-kepalanya hingga Barisan tukang-tukang foto itu seperti suatu pasukan tentara yang lepas ikatannya, berkeliaran ke sana kemari, mencari makan dan keperluan-keperluan lainnya sedapat-dapatnya .”Kedua, kegiatan dakwah tidak kekurangan lembaga namun kurang koordinasi antar lembaga itu. “Organisasi demikian sudah banyak, bahkan sudah terlalu banyak. Letaknya kelemahan kita dalam hal ini sebenarnya di dalam simpang siurnya organisasi-organisasi itu satu dengan lainnya”.
Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Jawa Barat
Terpopuler
1
Nekat Berhaji Tanpa Visa Resmi, WNI Terancam Dideportasi dan Dilarang Masuk Arab Saudi 10 Tahun
2
KH Aceng Aam Sebut Anak Terbaik Adalah yang Melebihi Orang Tuanya dalam Kebaikan
3
Shalawat Haji Karangan KH M Nuh Addawami Mustasyar PBNU Asal Garut
4
Peringati Harlah ke-91, GP Ansor Kertasemaya Gelar Tasyakuran dan Halal Bihalal
5
PCNU Cianjur Bersama Kemenag dan BPN Gelar Sosialisasi Sertifikasi Tanah Wakaf
6
Penerima Beasiswa Pascasarjana Pergunu Depok Jalani Ujian Tesis di Universitas KH Abdul Chalim Mojokerto
Terkini
Lihat Semua