• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

Dua Pencuri dalam Muqaddimah Qanun Asasi

Dua Pencuri dalam Muqaddimah Qanun Asasi
Ilustrasi Muqoddimah Qanun Asasi (M. Iqbal)
Ilustrasi Muqoddimah Qanun Asasi (M. Iqbal)

Muqaddimah Qanun Asasi adalah mental models bagi Nahdlatul Ulama. Dari Muqaddimah ini ditemukan cetak biru hendak kemana dan bagaimana NU harus dijalankan. Jika meminjam iceberg system, cetak biru adalah mental models yang memengaruhi sruktur dan  pola, yang kemudian menentukan patterns/event yang dimunculkan. 

 

Sepintas lalu, Muqaddimah Qanun Asasi tidak membicarakan konteks keindonesiaan. Muqaddimah Qanun Asasi  hanya memuat satu pernyataan berisi dalil yang disambung dengan pernyataan berbasis dalil lain. Muqaddimah Qanun Asasi juga dianggap hanya sebagai tanggapan atas munculnya organisasi pembaharu bahkan lebih rendah lagi sebagai gerakan reaktif karena tidak disertakan dalam Konferensi Internasional Umat Islam. 

 

Dua Pencuri dalam Konteks Keindonesiaan


Ada dua kata sariq yang dibicarakan dalam Muqaddimah Qanun Asasi. Pertama, pencuri kedaulatan dan kejayaan suatu bangsa; kedua, para pencuri ilmu yang mengajarkan ilmu tanpa pembelajaran bersanad.


Pencuri pertama dikemukakan dalam uraian panjang bahwa musuh-musuh tetap mengincar keberadaan suatu kaum. Jika ada yang menyendiri, terlepas dari organisasi, musuh itu akan menyergap. Sergapan musuh digambarkan secara niscaya, sehingga dikemukakan, “Bila sementara ini mereka tetap selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai kepada mereka dan pasti suatu saat akan sampai kepada mereka”. Atau bisa jadi musuh-musuh itu sedang berperang satu-sama lain sehingga menunda ekspansinya pada suatu umat.  Lalu setelah yang satu mengalahkan yang lain, mereka akan kembali mengganggu kedaulatan suatu bangsa. 


Musuh pada bagian ini disebut sebagai “binatang buas” (as-saba’i), yang secara niscaya memiliki watak menjajah dan melakukan ekspansi. Mungkin, kata   as-saba’i  digunakan untuk menggambarkan para penjajah yang saat itu berjumlah banyak dan secara silih berganti menjajah Indonesia. Para penjajah berperang satu  sama lain, yang menang mendapatkan wilayah jajahan barunya. 

 

Sejarah mencatat, Indonesia pernah dikuasai Belanda lalu beralih pada kekuasaan Inggris pada tahun 1811. Penyerahan dari Gubernur Jenderal Deandless (Belanda) ke Raffless (Inggris ) terjadi karena peperangan di Eropa yang menjalar ke Indonesia.  MC Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern (2016)  mencatat bahwa menjelang akhir abad 18, VOC mengalami kemunduran. Korupsi dan perang terus-menerus di berbagai daerah di Nusantara membuat VOC mengalami krisis keuangan. Pada pada Desember 1794 hingga Januari 1795, Perancis menyerbu Belanda.  

 

Di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, Perancis berhasil menguasai Belanda. Napoleon membentuk pemerintahan boneka dan mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di Belanda pada tahun 1806. Kemudian pada 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia. Selama tiga tahun yakni dari 1808-1811, Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pangeran Willem V dari Belanda berhasil lolos dari serangan Perancis dan melarikan diri ke Inggris pada 1795. Ia memerintahkan para pejabat jajahan Belanda untuk menyerahkan wilayah mereka ke pihak Inggris. Sejak tahun 1795  pasukan Inggris dari Kalkuta berusaha merebut Nusantara dari Perancis. Pada tahun 1810, Inggris berhasil merebut pangkalan utama Perancis di Mauritius, lalu pada pada 4 Agustus 1811, 60 kapal Inggris muncul di pelabuhan Batavia, pusat kekuatan Belanda. Batavia dan daerah di sekitarnya jatuh ke tangan Inggris pada 26 Agustus 1811. Berkuasalah Inggris dengan Raffles sebagai penguasa barunya. 

 

“Binatang buas itu saling berebut sehingga binatang-binatang buas itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalu sebagian mengalahkan yang lain. Yang menang menjadi perampas dan yang kalah menjadi pencuri.” 

 

Belanda dikalahkan Inggris, lalu Indonesia dirampas oleh kekuasaan Inggris melalui Raffless. Belanda tidak tinggal diam, ia mencoba menguasai dan mengambil apa yang masih bisa diambil.  

 

“Si kambing pun jatuh antara si perampas dan si pencuri itu.” 

 

Di sini bisa disimpulkan, bahwa pencuri pertama adalah para penjajah yang kalah atau menang sama saja. Hal sama terbukti kemudian ketika Belanda kalah oleh Jepang pada tahun 1942, Jepang menjadi perampas (ghasib) dan Belanda menjadi pencuri (sariq) yang membawa banyak asset berharga ke negerinya. 

 

Pada titik ini, Hadratusy Syaikh membayangkan adanya “musuh” yang terus-menerus mengincar kedaulatan suatu bangsa atau keutuhan umat Islam. Musuh itu tak bisa diterima begitu saja, walaupun sudah kalah. Musuh harus diawasi karena ada potensi ia untuk tetap mengambil keuntungan melalui pencurian. 

 

Pencuri kedua bukanlah penjajah, melainkan para penyebar ilmu agama yang tidak bersumber dari sanad ilmu. Bagi Hadratusy Syaikh, ilmu agama haruslah didapatkan dari sumber yang jelas (siapa gurunya, dan gurunya harus tersambung pada sumber utama). Orang yang mendapatkan ilmu dengan sanad yang jelas ini disebut penjaga sekaligus sumber ilmu,  “Maka kalianlah gudang ilmu itu sekaligus menjadi pintu-pintunya.”  Sebagai gudang Ilmu berarti sumber penyebaran ilmu agama,  sementara sebagai pintu berarti ulama harus menjaga lalulintas penyebaran ilmu agama. Simpelnya, ulama menjadi penanggung jawab bagi keberadaan ilmu agama dan lalu lintas penyebaran ilmu agama. 

 

Pada saat ada ilmu agama yang tersebar oleh pihak yang tidak  melalui sumber dan penjaga ilmu, pihak  itu disebut pencuri. “Rumah-rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu-pintu. Siapa yang memasukinya tidak melalui pintunya, disebut pencuri,” tulis Hadratusy Syaikh. 

 

Sariq (pencuri), telah dikategorikan sebagai musuh jenis kedua setelah ghasib,  tentu saja berbahaya. Pada Muqaddimah Qanun Asasi, sariq disebut sebagai “kalajengking perpecahan” yang menyebabkan perpecahan pada tubuh umat Islam.

 

Pada uraian lain, sariq jenis kedua ini  menyebabkan kerusakan yang tak bisa diabaikan. Pencuri jenis kedua ini menyebabkan  banyak orang terombang-ambing ke dalam lautan fitnah, memilih bid’ah dan bukan sunnah-sunnah Rasul, dan seenaknya memutarbalikkan kebenaran (memunkarkan makruf dan memakrufkan kemunkaran).  

 

Para pencuri jenis kedua ini digambarkan sebagai pihak yang, “Mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertolak dari sana.” Sariq ini lebih berbahaya lagi ketika sudah bertindak secara terorganisir dan sistematis, “Malahan mereka mendirikan perkumpulan pada perilaku mereka tersebut.”

 

NU Membangkitkan Ulama yang Terdiam


Sayangnya, ujar Hadratusy Syaikh, “Kebanyakan orang mukmin yang benar hanya terpaku.”

 

Maka para penjaga dan sumber ilmu ajaran Islam harus dibangunkan, kenyataan harus dikabarkan bahwa masalah yang sedang dihadapi umat Islam sangatlah kompleks.  Masalah umat Islam tidak sekedar kekhilafahan, atau keterjajahan dari colonial. Masalah terutama adalah tersebarnya bid'ah dalam agama yang menyebabkan umat terjebak pada lautan fitnah, sementara para ulama hanya berpangku tangan (mulhikun).

 

“Maka masuklah kalian semua dengan pengikutnya sekalian ... pada organisasi yang penuh keberkahan ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.”

 

Kenapa harus memasuki NU dengan penuh kecintaan? 


Penulis adalah Guru Besar UIN ‘SGD’ Bandung dan Ketua PW Lakpesdam PWNU Jabar.


Editor:

Opini Terbaru