Opini KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Komunikasi Publik yang Bikin Masalah

Senin, 14 April 2025 | 08:06 WIB

Komunikasi Publik yang Bikin Masalah

Komunikasi Publik yang Bikin Masalah. (Ilustrasi: NU Online Jabar/freepik).

Menjadi pembawa kabar adalah amanah yang halus. Ia bukan sekadar soal menyampaikan informasi, tetapi juga tentang bagaimana suara itu menyentuh hati yang mendengar. Dalam sejarah panjang manusia, para nabi adalah teladan para penyampai.


Nabi, yang arti harfiahnya pembawa berita, diutus bukan hanya dengan wahyu, tapi juga dengan kebijaksanaan dalam memilih kata. Ia tidak berbicara dari menara gading, tapi dari tengah-tengah umatnya. Ia berjalan di pasar, menyapa yang kecil dan besar, duduk bersama yang miskin dan papa. Ia makan makanan yang sama, memanggil pengikutnya sebagai sahabat—bukan bawahan, bukan rakyat kecil. Dan memandang umatnya dengan tatapan cinta.


Sebagai jubir ilahi, mereka tidak menjauh. Karena mereka tahu, pesan yang tinggi sekalipun harus turun dengan bahasa yang mengerti rasa.


Di zaman ini, komunikasi publik adalah jembatan yang amat penting. Jangan sampai kalimat yang lahir dari ruang kekuasaan justru kehilangan daya sentuhnya. Jangan sampai pilihan katanya terdengar kaku, dingin, bahkan menyakitkan. Sebab rakyat tidak hanya mendengar dengan telinga—mereka juga merasa dengan hati.


Dalam ketidakpastian, masyarakat menunggu suara yang tenang, kalimat yang jernih, dan kehadiran yang terasa tulus. Mereka butuh lebih dari data dan angka—mereka butuh pengakuan atas rasa. Dan itulah seni menjadi jubir: mendengarkan sebelum berbicara, memahami sebelum menyampaikan.


Kata-kata memiliki jiwa. Dan jiwa itulah yang menjangkau manusia. Kepekaaan dan merasakan keresahan adalah kunci komunikasi publik. Sayangnya, banyak pejabat kita yang gagal memahami ini. Malah defensif dan provokatif.


Mungkin inilah saatnya kita kembali belajar dari para nabi: bahwa menyampaikan adalah seni mencintai. Dan bahwa dalam komunikasi publik, satu kalimat yang lahir dari hati bisa menenangkan ribuan jiwa—sementara satu kalimat yang keliru bisa mengguncang kepercayaan sebuah bangsa.


Karena publik tak menagih suara yang lantang—mereka merindukan suara yang lapang, di tengah padang keramaian masalah.


Bukan begitu, kawan? Mari dimasak dulu kata-katanya dengan matang sebelum disajikan ke publik.


KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia