• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Apa Itu Munggah? Simak Penjelasan Prof Jakob Sumardjo

Apa Itu Munggah? Simak Penjelasan Prof Jakob Sumardjo
Apa itu Munggah?
Apa itu Munggah?

Tradisi turun temurun dan mengakar yang dilakukan masyarakat Muslim menjelang pelaksanaan awal ibadah puasa adalah munggah. Munggah dipahami sebagai tradisi ajang silaturahmi, kumpul-kumpul, atau kegiatan saling memaafkan di antara sesama anggota keluarga, sesama teman, tetangga, dan handai taulan. 

 

Pada masyarakat yang masih memegang prinsip primordial, tradisi munggah juga kadang disertai dengan kegiatan bersih desa, ziarah kubur (baca: nyekar atau nadran) kepada para pendahulu, orangtua, ataupun kepada para guru yang telah tiada. 

 

Lalu mengapa munggah menjadi tradisi yang menggejala dan mengakar pada masyarakat Muslim Indonesia, terutama pada masyarakat Jawa dan Sunda dan dilakukan justru menjelang momen-momen suci semisal puasa dan lebaran?

 

Prof Jakob Sumardjo dalam buku “Sunda Pola Rasionalitas Budaya” (Kelir, 2015: hal.324-328) mengungkapkan bahwa munggah (juga mudik) yang dilakukan sebelum bulan suci Puasa dan menjelang akhir Puasa, sebenarnya mempunyai arti bahasa yang sama, yaitu naik. Arti naik ini berkaitan dengan arah di zaman nenek moyang Indonesia. 

 

Pada zaman pra-modern hanya dikenal komunikasi sosial lewat sungai. Hampir semua hunian tua di Indonesia selalu berada di tepi sungai. Sungai merupakan jalan raya bagi nenek moyang kita. Pembuatan jalan baru diperlukan ketika lembaga kerajaan mulai dikenal masyarakat Indonesia. Karena sungai merupakan sarana komunikasi dan transportasi yang vital, maka dikenal adanya istilah arah hulu dan hilir, mudik dan muara.

 

Pada waktu dulu, kalau orang mengatakan mau mudik, jelas artinya mau pergi ke hulu, dan kalau mau ke hilir, berarti mau ke arah muara. Orang yang menuju ke hulu dapat berarti "naik", "munggah, "pulang", "ke hutan", "ke kebun", "ke bukit", "ke kampung”. Sedangkan orang yang menunjuk ke hilir dapat berarti "pergi" "keluar” "ke pasar", "merantau", "kerja". Dengan demikian arah hulu lebih bermakna "perempuan” dan hilir bermakna "lelaki".

 

Perempuan adalah hulu atau rumah atau kampung halaman. Lelaki adalah hilir yaitu luar atau asing, atau merantau.

 

Dengan pola pikir yang demikian itu, munggah dan mudik maknanya sama, yakni kembali ke ibu, ke kampung halaman, ke nenek moyang, ke asal adanya, kembali ke fitrahnya. Tradisi munggah dan mudik mempunyai nilai arketip bangsa. 

 

Begitulah kesadaran kolektif bangsa ini sejak zaman dahulu kala, yakni tidak pernah melupakan jati dirinya, asal usulnya, nenek moyangnya, kampung halaman tempat ia dilahirkan. 

 

Manusia Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Sunda dalam hubungan munggah dan mudik, selalu ingat asal usulnya dan asal usul indungnya. Dalam ungkapan Sunda, Mulih ka Jati Mulang ka Asal (kembali kepada diri sejati atau rumah sejati). Dan ungkapan Jawa Sangkan Paraning Dumadi (memikirkan dari mana kita berasal dan akan kemana kita kembali).

 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa tradisi munggah dan mudik dilakukan justru menjelang dan mendekati selesainya puasa yang merupakan bulan suci bagi umat Islam Indonesia? 

 

Gejala itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki tingkat religiositas yang tinggi sejak dahulu kala. Hidup ini bukan masalah sekuler belaka. Hidup ini selalu merupakan bagian, menyatu, dengan hal metafisika (keilahian). Hidup ini fisikal-metafisikal, halus-kasar, sakral-profan, rohaniah-badaniah, surgawi-duniawi. Substansinya yaitu terkait dengan kedekatan kepada Allah untuk mematuhi perintah-Nya, serta tunduk kepada-Nya sepenuhnya. Atau dalam ungkapan Jawa, manunggaling kawula dengan gustinya, yakni menyatunya hubungan antara seorang hamba dengan penciptanya. (bersambung)

 

Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut. 

 

(Ditulis berdasarkan artikel dari Prof Jakob Sumardjo dengan penambahan sedikit redaksi)


Opini Terbaru