• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

Antara Agama dan Negara Menurut Pemikiran Mohammad Natsir

Antara Agama dan Negara Menurut Pemikiran Mohammad Natsir
Ilustrasi. (Foto: NU Online Jabar)
Ilustrasi. (Foto: NU Online Jabar)

Antara agama dan negara selalu menjadi kajian menarik untuk dikaji, karena ketegangan antara agama dan negara berakibat pada peminggiran ruang privat. Agama berada pada ruang tersebut dipojokkan perannya pada wilayah pribadi. Pemisahan antara agama dan negara akhirnya melahirkan peran sekulerisme, yaitu sebuah paham yang memisahkan antara wilayah agama dengan negara. 

 

Dalam bagian sosial, para analisis kontemporer melihat radikalisme agama (merupakan gejala akhir-akhir ini) merupakan akibat dari peminggiran agama pada ruang privat, sehingga ekspresi spiritual itu sendiri terputus dari ruang publik. Hal tersebut setidaknya menjadi pijakan awal untuk memahami gagasan Natsir tentang agama, negara dan pancasila.

 

Riwayat Hidup Mohammad Natsir

Mohammad Natsir adalah seorang intelektual Muslim, pembaru dan politikus terkenal di dunia Islam dan disegani oleh kawan maupun lawan. Lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, Jum'at Legi tanggal 17 Juli 1908/17 Jumadil Akhir 1326. Nama lengkapnya Mohammad Natsir dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ayahnya bernama Idris Sultan Saripado seorang pegawai rendah pemerintah Belanda Pernah menjadi juru tulis setelah itu menjadi Jaksa. Ibunya bernama Hadijah. 

 

Ketika berusia 8 tahun ia belajar di HIS (Holandsch Inlandsch School) Adabiyah di Padang dan HIS pemerintah di Solok serta HIS di Padang. Ia memulai masa sosialisasi keagamaannya dengan para tokoh ulama pembaru di daerahnya dan sosialisasi intelektualnya dengan pendidikan barat (Belanda). Setelah tamat HIS ia meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP di Padang. Ia aktif pada Jong Islamieten Bond cabang Padang dan Pandu Natripji yang diketuai oleh Sanusi Pane (tokoh sastrawan terkemuka). Di JIB inilah Natsir melatih kepemimpinan dan pemahaman politiknya. 

 

Pada tahun 1927 ia melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) setingkat SMA di Bandung. Di sini ia lebih menekuni ilmu pengetahuan Barat. Antara lain peradaban Islam, Romawi, Yunani dan Eropa. Melalui buku-buku berbahasa Arab, Inggris, Perancis, dan Belanda. Dalam Usia 21 tahun Natsir telah menguasai empat bahasa asing yaitu, Belanda, Arab, Inggris, dan Perancis. 

 

Saat di MULO dan AMS ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Ia juga belajar mendalami gerakan Islam dengan tokoh utama Persatuan Islam (Persis), sebuah organisasi militan islam yang Radikal dan keras dalam membela prinsip-prinsip dan kemurnian ajaran islam. M. Natsir aktif dalam kegiatan pendidikan dan sosial yang diselenggarakan oleh persis Bandung. 

 

Nilai-nilai keagamaan persis inilah yang ikut memberikan pengaruh pada visi keagamaan Natsir, untuk selalu konsisten dalam membela kebenaran islam dalam setiap aktivitas politiknya. Namun ia tetap berpandangan moderat. Tidak fundamentalis, karena ia berhasil mensinergikan antara ilmu agama dan wawasan pengetahuan Barat yang dikuasainya. 

 

Tahun 1930 M. Natsir menamatkan sekolah AMS dengan prestasi sangat baik, Lalu ia menerima panggilan perjuangan politik dan dakwah keagamaan bagi kepentingan bangsa dan agama lain. Ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis bernama Nurnahar pada 20 Oktober 1934 di Bandung. 

 

Pemikiran Mohammad Natsir Antara Agama dan Negara

Negara adalah suatu intuisi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus menurut Mohammad Natsir intuisi ini adalah sebagai suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi dengan alat-alat material dan peraturan-peraturan yang diakui oleh umum. Maka dari itu berdirinya suatu negara sebagai sebuah intuisi harus memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, Undang-undang Dasar, sumber hukum dan aturan-aturan lainnya. 

 

Dengan kedaulatan tersebut, menurut Mohammad Natsir negara memiliki cakupan seperti, meliputi seluruh masyarakat dan segala intuisi yang ada didalamnya, serta mengikat atau mempersatukan intuisi-intuisi tersebut dalam suatu peraturan hukum, menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian masyarakat, dan memiliki hak untuk memaksa anggota untuk mengikuti peraturan-peraturan dan hukum yang ditentukan olehnya atau oleh pemimpin, selanjutnya mempunyai tujuan untuk memimpin dan memberikan bimbingan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. 

 

Sebagai seorang ideolog Muslim, Mohammad Natsir sangat meyakini kebenaran islam sebagai suatu ideologi kenegaraan. Islam dalam pandangan Natsir mempunyai dua cakupan kehidupan yaitu “Hidup duniawi dan ukhwari itu pada hakikatnya, hanyalah dua fase yang satu bersambungan dengan yang lain, sebagaimana bersambungnya malam dengan siang, dan siang dengan malam, menurut hukum peredaran angkasa dalam sistem tertentu.”

 

Berdirinya Negara menurut Mohammad Natsir itu bukan sebagai tujuan utama, tetapi alat untuk menjamin supaya aturan-aturan yang salah satunya terdapat dalam Al-Quran dan sunah nabi Muhammad SAW. Dapat berlaku dan berjalan seperti mestinya. Jadi menurut Natsir tujuan utama dari berdirinya syarat adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat. 

 

Pandangan Mohammad Natsir berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial dan politik islam yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan al hadits, serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman dalam peradaban umat manusia didasarkan pada keyakinan akan tauhid yang menurutnya mengandung dua sisi yaitu di sisi habl min Allah (perhubungan antara manusia dan tuhan) Islam habl min annas (hubungan manusia dengan manusia).

 

Islam menurut Natsir tidaklah mengisahkan urusan rohani dan malah akan menjadi dasar bagi kehidupan dunia. Hal ini bermakna bahwa etika keagamaan yang bercorak universal, akan ditekankan dalam ajaran islam meskipun menjadi dasar dalam kehidupan politik. Jadi politik itu bukan suatu yang nampak netral. Tetapi kebocoran ataupun kesucian politik tergantung pada sejauh mana manusia yang terlibat dalam politik itu mampu menjadikan asas-asas kerohanian sebagai pedoman dalam berperilaku politik mereka. 

 

Mohammad Natsir mengatakan tidak melihat Islam sebagai ad-din wadaulah (agama dan negara) secara sekaligus, menurutnya negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belakang dan bukan sebagai lembaga keagamaan.

 

Maka dari itu, tujuan negara sebagai sebuah institusi yang paling penting itu menurut Natsir adalah dalam rangka penegakan syariah, keyakinannya didasarkan pada rumusan konseptual bahwa undang-undang yang dapat dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum yaitu melalui institusi negara. Sedangkan proses berdirinya negara tersebut yaitu karena adanya keinginan dari kaum Muslimin untuk melaksanakan atau menjalankan perintah Allah SWT. 

 

Dengan berdirinya sebuah negara tersebut yang bercorak islam dalam suatu wilayah dapat memaksakan menerapkan tujuan dari kehidupan bersama. Jadi kehidupan bernegara itu menurut Natsir adalah suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat dan untuk mewujudkan keteraturan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam masyarakat, karena dengan adanya negara dan alat-alat kenegaraan mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama pula.

 

Natsir pun pernah mengemukakan bahwa sejauh menyangkut umat islam, demokrasi adalah hal yang pertama, sebab kemungkinan islam berhasil dalam suatu sistem yang demokratis. Melalui sistem demokrasi mereka mempunyai kesempatan membuat peraturan hukum sesuai dengan ajaran-ajaran islam. Juga memberikan hak kepada rakyat supaya mengkritik, meluruskan pemerintahan yang dzalim. Bahkan kalau perlu memberikan hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman tersebut dengan kekuatan fisik. 

 

Dasar pemerintahan negara, menurut Natsir adalah islam. Telah dijelaskan juga sebelumnya bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan artian agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak. Ia pun meyakini tentang prinsip-prinsip islam tentang syura lebih dekat kepada urusan-urusan demokrasi modern, dengan meletakkan prinsip-prinsip dan etik keagamaan sebagai panduan dalam mengambil keputusan. Sistem kenegaraan ini ia sebut dengan theistic democracy. Suatu negara demokrasi dengan tetap menjadikan agama Islam sebagai dasar konstitusi negara. 

 

Natsir setuju jika Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Menurutnya, Pancasila dianut sebagai dasar rohani, akhlak, dan susila oleh bangsa Indonesia. Natsir memberikan tafsiran tentang Pancasila: Pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita laksanakan, terlaksananya di dalam negara dan bangsa kita. 

 

Maka, apabila ditinjau dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menegaskan kepada segala warga negara dan penduduk negara, dan dunia luar, bahwa sesungguhnya seorang manusia tidak akan dapat memulai kehidupan menuju kebajikan dan keutamaan, kalau ia belum dapat menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, bagaimana Al-Quran akan bertentangan dengan sila pertama itu? Dalam pengakuan Al-Quran, Pancasila itu akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak apriori bertentangan tapi tidak pula identik (sama). 

 

Natsir melihat bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam. Selanjutnya untuk memahami pemikiran Natsir tentang agama dengan Negara kita perlu memahami dua hal berikut:

 
  1. Faktor situasi politik pada saat terjadinya polemik pada tahun 1940an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara Kaum nasionalis Islam dengan kalangan netral agama. 
  2. Faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim, yang Melahirkan gagasan-gagasan definitif tentang pemikiran Soekarno yang cendrung ke arah sekuler. 
 

Seperti yang sudah dibahas di pembahasan atas, bahwa Natsir ini menolak paham sekuler karna paham tersebut mengabaikan nilai-nilai Islam, membahayakan bagi umat Islam, dan Paham kaum sekularis juga memandang konsep-konsep Tuhan dan agama merupakan hasil ciptaan manusia.

 

Mempertahankan Islam dari Pemahaman Pemisahan Antara Agama Dan Negara (Soekarno vs Mohammad Natsir) 

Natsir tidak suka dengan pemikiran Soekarno karena Soekarno berkiblat pada pembaharuan Islam di Turki, Soekarno menganalisis sebab-sebab pemisah agama dari negara. Substansi uraian Soekarno adalah keberpihakannya pada gagasan sekularisasi yang dilakukan oleh Kemal Attaturk. Dasar argumen Soekarno adalah bahwa agama merupakan persoalan akherat yang hanya bersangkutan antara individu dengan Tuhannya. 

 

Sedangkan persoalan negara adalah murni persoalan duniawi dan kemasyarakatan. Menurut Soekarno dalam sejarah Islam tidak pernah ada yang dinamakan Negara Islam. Nabi Muhammad dalam pandangannya adalah bukan seorang Negarawan tetapi hanya seorang pemimpin spiritual. Soekarno dalam hal ini mengutip tulisan Abdul Raziq buku tersebut berisi bahwa agama dan kekuatan politik adalah dua dimensi kehidupan yang berbeda. 

 

Menurut Raziq pula khalifah bukan pemimpin umat dalam masalah agama dan dunia. Persatuan agama dan Politik dalam Islam tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan dianggap sebagai kekeliruan dalam memahami hakikat misi nabi. Raziq juga mengungkapkan bahwa Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad hanyalah merupakan aturan hukum yang berkaitan dengan masalah agama sehingga Islam memberikan aturan moral tentang hubungan manusia dengan Tuhan. 

 

Berdasarkan pemikiran Raziq itulah Soekarno menuntut agar ada pemisahan yang tegas antara agama dan kekuasaan politik. Dalam pandangan Soekarno sendiri, penyatuan agama dan negara akan membangkitkan caesaropapisme yaitu agama sebagai alat politik penguasa dan agama juga akan menjadi alat penindas. Natsir melihat pemikiran-pemikiran Soekarno diatas adalah sebagai sebuah distorsi intelektual dan sejarah. Apabila Soekarno sepakat dengan gerakan-gerakan Kemal Attarturk yang memisahkan agama dengan negara. 

 

Dalam kerangka berfikir Natsir, negara adalah alat untuk merealisasikan syariat Islam Tanpa adanya kekuatan negara maka pelaksanaan syariat Tuhan hanya akan menjadi ilusi semata. Hal tersebut bukan berarti Islam menerima konsep Caesaropapisme. Menurut Natsir konsep caesaropapisme bukan merupakan ajaran atau sistem politik kenegaraan Islam. Natsir juga mengungkapkan salah satu penyebab mengapa orang tidak sependapat dengan negara islam adalah karena terdapat gambaran yang keliru mengenai negara Islam. 

 

Natsir mencoba menjernihkan gambaran Negara islam sebagaimana yang dipahami Soekarno maupun kalangan yang anti persatuan agama dan negara gambaran keliru mengenai negara islam telah muncul semenjak lahirnya karya-karya kaum Orientalis mengenai Islam. Diduga melalui karya-karya inilah menyebabkan menyebarkan gambaran keliru tentang negara islam. 

 

Lahirnya karya-karya ini pada mulanya didorong keinginan untuk mengkritik dan menyerang Islam, ini dilakukan dalam rangka kekalahan Eropa kristen menghadapi kekuatan militer kaum muslimin dalam perang Salib pada abad 11 sampai 13. Kekalahan tersebut menyebabkan jatuhnya Konstantinopel dan Wina yang merupakan kota penting bagi kristen telah menimbulkan perasaan marah, malu dan kebencian terhadap kaum muslimin. Lalu para penguasa kristen di Eropa bersumpah untuk mengusir umat islam dari kota-kota tersebut. 

 

Bentuk penyerangan mereka adalah dengan membuat buku yang berisikan gambaran tidak benar mengenai Islam dan kaum Muslimin tentang Nabi Muhammad yang digambarkan mempunyai penyakit ayan, gila perempuan, penjahat, pendusta, dan lainnya. Oleh karena itu Islam yang dibawa Muhammad bukanlah ajaran yang benar. Agama yang benar, hanya agama Kristen yang dibawa oleh Yesus Kristus. 

 

Gagasan Demokrasi Terpimpin telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan Yang memang telah Ia dambakan sejak lama, sebagai orang yang merasakan betapa Panasnya sistem Demokrasi Terpimpin, Natsir tentu mempunyai hak sepenuhnya Untuk menilai sistem itu. Sejak peristiwa “patah arang” antara Soekarno dan Natsir pada awal tahun 1951, lontaran kritik seperti itu wajar adanya, sekalipun berakibat buruk pada partai Masyumi yang harus dibubarkan.

 

Chatarina Bahira Ababyl, Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung Prodi Sejarah Peradaban Islam


Opini Terbaru