• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Opini

Memahami Ulang Teknologi

Memahami Ulang Teknologi
(lustrasi/freepik)
(lustrasi/freepik)

Oleh Herdi As’ari
Sejarah kebudayaan manusia dari masa ke masa terus mengalami perubahan. Bermula dari watak kehidupan yang sederhana dan lambat, kini menjadi kehidupan yang serba instan dan cepat. Dewasa ini, segala sesuatu dapat dikerjakan secara praktis, efektif, dan efisien. Perkembangan teknologi digital telah membidani lahirnya era ini.

Era teknologi digital atau era digital adalah zaman dimana seseorang dapat memperoleh berbagai jenis informasi dengan bebas melalui jaringan internet. Lain dari itu, era ini memungkinkan setiap orang dapat berkomunikasi dengan siapa saja tanpa terhalang oleh jarak, ruang, dan waktu. Orang yang berjarak ribuan kilo meter –bahkan lintas negara sekali pun– dapat dengan mudah saling bercakap-cakap dengan lawan bicaranya melalui perangkat mobile (gadget atau smartphone) yang terhubung ke jaringan internet.

Gadget atau smartphone merupakan perangkat wajib yang harus dimiliki oleh setiap orang hari ini. Selain menjadi alat komunikasi, perangkat ini juga difungsikan sebagai “perpustakaan” pribadi. Segala informasi atau berita dapat dengan mudah kita peroleh hanya dengan meng-klik apa yang hendak ditelusuri.

Beragam kegiatan sehari-hari pun bisa di-cover oleh alat ini. Semisal, rapat pekerjaan, sebagai media pemasaran prodak, kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah, memesan jasa transportasi atau makanan cepat saji, dan lain seterusnya, dapat dilakukan di rumah tanpa susah payah. Akan tetapi, untuk memperoleh sejuta manfaat yang ditawarkan teknologi ini, dibutuhkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang memadai. Jika tidak, akan berpotensi menimbulkan berbagai perilaku yang sifatnya kontra-produktif bahkan merugikan, baik bagi dirinya maupun bagi sesama.

Demam teknologi

Vitalitas teknologi komunikasi dan informasi dengan beragam medianya, lebih terasa saat masyarakat dunia dihantam keganasan wabah. Covid-19 telah memperkuat ketergantungan masyarakat dalam pemanfaatan media ini. Atas dasar keselamatan dan kemanusiaan, maka hampir seluruh kegiatan hari ini diselenggarakan secara virtual.

Apabila kita cermati, fenomena digitalisasi kehidupan telah berlangsung sebelum pandemi terjadi. Yang menjadi soal sebenarnya bukan pada teknologi sebagai media, melainkan bagaimana suguhan teknologi tersebut dapat kita peroleh manfaatnya secara bijak dan tepat; dipergunakan sebagaimana mestinya; dan tidak berlebih-lebihan.

Namun faktanya bahwa hari ini sebagian besar masyarakat menggunakan gadget secara tidak produktif. Berdasarkan laporan terbaru We Are Social pada tahun 2020 disebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Itu artinya, 64% dari jumlah populasi penduduk Indonesia (272,1 juta jiwa) merupakan pengguna aktif sosial media.

Di kalangan milenial usia 20-35 tahun, 94,4% telah terkoneksi dengan internet dengan rata-rata 7 jam dalam sehari. Bahkan 79 persennya langsung memeriksa ponsel pintar 1 menit setelah bangun tidur. Dengan kata lain, pengguna sosial media akan membuka handphone-nya rata-rata 1.500 kali perhari. Bahwa lebih dari separuh aktivitas hariannya digunakan untuk “hidup” di dunia maya.

Laporan tersebut di atas menegaskan bahwa jika penggunaan gadget dan sosial media dilakukan secara tidak teratur dan berlebihan, maka penggunaan teknologi ini menjadi kurang baik. Tensi yang tinggi dalam penggunaan gadget dan sosial media tanpa dibarengi kontrol pribadi (self-control) akan menimbulkan luka (demam) yang merugikan. Luka yang dimaksud ialah masalah-masalah yang mengiringi pola berlebihan tadi. Seperti, menurukan produktivitas masyarakat (minat baca dan olah raga); meningkatnya kejahatan jaringan (informasi palsu dan penipuan); perilaku anti-sosial; gangguan mental (stres); dan terjadi disfungsional, yaitu masyarakat menggunakan teknologi komunikasi sebagai gaya hidup, bukan untuk kebutuhan komunikasi.

Terjadinya disfungsional ini, telah ditegaskan oleh Kogoya (2015). Ia menyatakan bahwa gadget bukan hanya sebagai alat untuk berkomunikasi. Bagi masyarakat pada umumnya, gadget sebagai gaya hidup (life style), tren, dan prestise. Dalam beberapa kasus, misalnya, jenis dan merk smartphone tertentu menjadi pembeda dalam pergaulan para anak muda. Lebih jauh lagi, sebagai penanda kelas sosial dan kemapanan finansial suatu masyarakat. Ada juga yang terbawa arus pola hidup boros karena lebih mengutamakan eksistensi di sosial media (penggunaan pulsa/kuota yang tak terkontrol) ketimbang bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar di dunia nyata.

“Sandang, pangan, papan, cas-an” atau “harta, tahta, wanita, kuota”, adalah anekdot yang sangat menggelitik perut kita. Anekdot itu pun merupakan penanda bahwa masyarakat hari ini benar-benar sedang dilanda demam teknologi.

Yang bio dan yang tekno

Disadari atau tidak, teknologi (smartphone) adalah separuh hidup kita hari ini. Ketinggalan handphone saat bepergian berarti ketinggalan separuh dari hidup kita. Relasi alamiah yang terjalin anatara yang bio dengan yang tekno secara terus-menerus akan memebntuk ikatan saling ketergantungan. Terlebih bagi manusia itu sendiri. 

Dalam beberapa kesempatan, orang akan tergesa-gesa jika handphone-nya berdering. Bahkan, tanpa sebab sekalipun ia akan membukanya tanpa membutuhkan alasan apapun. Tak sulit kita temui ada orang yang sedang berjalan, sambil memainkan handphone-nya. Begitupun ketika makan, rapat, bahkan saat berkendara. Sampai-sampai, ada juga orang yang membawa gadget-nya ketika membuang hajatnya di kamar mandi.

Yang lebih ajaib, ada orang yang sedang menonton tayangan televisi, namun pada saat yang sama, asik pula dengan gadget-nya. Yang lebih memilukan lagi daripada itu, ada orang yang memilih untuk memvideo atau memfoto suatu kejadian nahas yang menimpa orang lain, daripada langsung menolongnya. Selain dari itu, tak jarang pula orang yang “menjual ketidak-beruntungan” orang lain hanya untuk sebuah konten. Atau menayangkan sesuatu yang bernuansa asusila, hanya untuk menarik perhatian penonton (viral).

Apa yang dikatakan Sujewo Tedjo dalam beberapa kesempatan, rupanya ada benarnya. Ia mengatakan: “Salah satu tanda dirimu tak berakhlak adalah bermain hape saat orang lain berbicara”. Ungkapan menohok itu bukan tanpa alasan. Faktanya memang banyak sekali orang yang malah bermain handphone saat orang lain sedang berbicara. Misalnya, dalam pengajian, atau pertemuan yang sudah terjadwalkan. Tidak saja menyalahi aturan berkomunikasi karena akan tak efektif, melainkan juga itu adalah bentuk ketidak-sopanan.

Jangan-jangan, demikian juga yang dialami oleh gadget. Ia akan gelisah, tatkala tidak ada manusia yang menekan tombol-tombolnya. Memorinya akan bekerja ketika ada manusia yang menyentuhnya. Ketika anda ketik misalnya cov maka akan muncul covid; anda ketik tik praktis keluar tik-tok; atau anda mengetik nahd maka akan muncul nahdlatul ulama; dan seterusnya. Begitulah algoritma teknlogoi bekerja.

Agak berlebihan kiranya, kalau kita mengupas cara kerja teknologi di sini. Jelas, yang menjadi fokus utama kita ialah dampak yang timbul akibat berlebihan dalam penggunaan teknologi informasi, dan bagaimana kita memahami dengan benar tentang fenomena itu.

Memahami ulang teknologi

Gejala-gejala psikis yang dialami manusia hari ini akibat dari penggunaan teknologi komunikasi yang berlebihan, sekurang-kurangnya dibentuk oleh dua hal. Pertama, ketak-siapan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dalam menyikapi perubahan. Terutama, masyarakat kita belum sepenuhnya menguasai apa yang disebut literasi digital. Pendidikan di kita masih berorientasi pada pencapaian lama: Membaca, menulis, berhitung (calistung). Sementara literasi digital menuntut kompetensi yang lebih maju, seperti penguasaan artificial intelligence, blockhain, big data, dan conten creator. 

Kedua, kesalahan persepsi. Banyak dari masyarakat menganggap bahwa teknologi itu sebagai puncak kebudayaan manusia, atau menjadikan teknologi akhir tujuan hidup. Padahal, teknologi apapun itu tak lebih sebagai alat atau jalan untuk mempermudah hidup manusia dalam mewujudkan tujuannya. Teknologi layaknya sebuah kendaraan yang akan mengantarkan manusia ke tempat tujuan.

Dalam mengoperasikan sebuah kendaraan, disyaratkan mengenal terlebih dahulu bagian-bagian kendaraan tersebut. Lalu kemudian, kapan ia menginjak pedal, rem, dan kopling. Dan yang lebih penting lagi –dalam berkendara– harus mengetahui rambu-rambu yang ada, agar selamat di perjalanan.

Adapun tujuan esensial dari hidup ialah kebahagiaan. Kebahagiaan sejati hanya akan terwujud dengan mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipandu oleh spirit kewahyuan. Nilai kemanusiaan nampak pada perilaku yang senang bergotong-royong, saling menghormati dan menghargai, serta semangat belajar dan berinovasi. Yang kesemuanya itu mesti dinafasi oleh keikhlasan.

Dengan demikian, ikatan primordial, etika sosial, dan pengalaman spiritual, tetap menjadi hal utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari melampaui peran teknologi. Pendek kata, teknologi hanya bagian dari kehidupan, bukan kehidupan bagian dari teknologi.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Prodi Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru