• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Hak Asasi Manusia dan Lima Prinsip Universal Islam

Hak Asasi Manusia dan Lima Prinsip Universal Islam
Hak Asasi Manusia dan Lima Prinsip Universal Islam
Hak Asasi Manusia dan Lima Prinsip Universal Islam

Diskursus persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu relevan diperbincangkan setiap saat, kapan pun dan di mana pun. Hal itu disebabkan karena persoalan HAM menyangkut terkait dengan hak-hak dasar setiap individu manusia yang keberadaannya perlu mendapatkan perlindungan dan pengawasan. Hak-hak dasar itu meliputi hak hidup, hak beragama, hak berpendapat, hak keselamatan dan keamanan, termasuk di dalamnya hak mendapatkan perlindungan dari semua tindakan yang kiranya dapat mengancam dan mengganggu eksistensi kehidupan manusia.


Mengingat diskursus HAM juga merupakan diskursus tentang hak dasar manusia atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat kodrati, universal, abadi, dan menyeluruh, maka membicarakannya menjadi sesuatu hal yang sangat prinsip dan fundamental. 


Mengkaji diskursus HAM juga menjadi sebuah wahana untuk menjaga sekaligus melestarikan eksistensi manusia di muka bumi ini sehingga hak-hak dasarnya dapat terjamin dan terjaga dengan baik. Oleh karenanya, selagi masih ada usaha untuk memperjuangkaan terciptanya HAM, tindakan yang dapat mengancam keberadaan HAM sejatinya akan mendapatkan perlawanan yang serius. 


Namun mengapa usaha untuk menciptakan terjamin dan terpeliharanya HAM secara menyeluruh selalu mendapatkan tantangan dan hambatan? Kurangnya kesadaran terkait dengan pentingnya menjaga keselamatan atas dasar kemanusian masih terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan egosentrisme berlebihan, fanatik kesukuan, ekspansi maupun invasi kekuasaan, dan klaim monopoli kebenaran sepihak. 


Konflik kemanusiaan atas nama agama misalnya, tercipta karena masing-masing pihak mengklaim dirinya itu sebagai pihak yang paling benar dan menganggap pihak lain sebagai pihak yang salah. Padahal, seharusnya penganut-penganut agama di dunia semestinya dapat duduk bersama, mencari jalan keluar agar perbedaan dan klaim monopoli kebenaran dari masing-masing pihak itu tidak melahirkan konflik di antara mereka sendiri. (M Amin Abdullah: 2009).


Dalam sejarahnya, jaminan perlindungan untuk mewujudkan terciptanya HAM yang menyeluruh sudah dimulai sejak abad ke-13 dan mengalami kemajuan pesat dalam rentang abad 18-20 M terlebih pasca terjadinya perang dunia ke-1 dan ke-2. Usaha untuk mewujudkan HAM dimulai dari Piagam Magna Charta Inggris (1215 M), Revolusi Prancis (1789 M), Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776), hingga berujung pada Universal Deklaration of Human Rights yang dicetuskan oleh PBB di tahun 1948. PBB sendiri merupakan organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara yang mempunyai kepentingan sama, yakni kepentingan untuk mewujudkan keselamatan hak dasar manusia di seluruh negara  di dunia.


Ujung pangkal kemunculan HAM didasari pada kesadaran rakyat untuk terbebas dari absolutisme dan otoritarianisme penguasa. Rakyat mempunyai kewenangan untuk dapat hidup sesuai dengan kodratnya. Sementara, penguasa berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan sehingga hak hidup rakyatnya tidak terenggut dengan sewenang-wenang.  


Selain itu, perwujudan dalam memperjuangkan HAM senyatanya menjadi cerminan konsepsi dari masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penguasa agar nilai-nilai keadilan dan kebenaran tidak disalah gunakan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles (348-322 SM) bahwa pemerintah atau penguasa semestinya mendasarkan kekuasaannya itu pada kemauan dan kehendak rakyat, bukan pada kehendak diri sendiri.


Jika sebelumnya, pelanggaran HAM didasarkan  pada pelanggaran yang sifatnya global, seperti pembunuhan masal (genosida), otoritarianisme penguasa dan peperangan, maka saat ini, pelanggaran HAM juga merambah pada persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi semisal perundungan (bullying), ujaran kebencian (hate speech), fitnah (hoax), korupsi, tindak pidana pencucian uang (money laundering), hingga perang proksi (proxy war) antar negara.


Alhasil, pelanggaran HAM dapat terjadi apabila hak dasar setiap individu manusia tercabik dan terbelenggu dari kodratnya sehingga mengakibatkan identitas-identitas yang melekat pada setiap individu tidak berfungsi sebagaimana mestinya.


Lima Prinsip Universal Islam
Jauh sebelum wacana HAM mengemuka dan digelorakan oleh negara-negara modern, sejak 15 abad lalu Islam sudah menginisiasi diskursus terkait pentingnya menjaga harkat dan martabat manusia secara menyeluruh. Pembebasan perbudakan, kesetaraan hak, serta optimalisasi peran perempuan menjadi salahsatu prioritas Islam sebagai agama yang universal. 


Dalam berbagai ayat misalnya, Allah SWT melalui firman-Nya banyak menyinggung terkait pentingnya menghormati hak-hak dasar umat manusia di muka bumi. Seperti dalam Surat al-Isra [17]: 70, sebagai pencipta seluruh makhluk, Allah secara tegas memuliakan seluruh keturunan anak cucu Adam. Begitupun dalam Surat al-Hujurat [49]: 13 Allah menegaskan, bahwa manusia yang paling mulia di muka bumi ini yaitu manusia yang paling beriman dan bertakwa kepada-Nya. Juga dalam Surat al-Maidah [5]: 32 bahwa barangsiapa dapat memelihara kehidupan seorang manusia saja, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya, begitupun sebaliknya, barangsiapa yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang dibenarkan syara, maka seolah-olah ia telah membunuh manusia seluruhnya. Sementara dalam hadis Nabi SAW disebutkan bahwa kemuliaan seseorang itu tergantung pada sejauh mana seseorang itu dapat bermanfaat bagi manusia lain. 


Memperhatikan teks kitab suci dan sabda nabi di atas, secara esensial ternyata Islam sudah mengaktualisasikan dirinya sebagai agama yang mengakui dan menghendaki eksistensi hak dasar manusia. Manusia bagi Islam dipandang sebagai manifestasi luhur dari nilai-nialai dan sifat ketuhanan di muka bumi ini melalui misi utamanya sebagai pemakmur bumi (khalifah fil ardhi).


Mengapa misi kemanusiaan menjadi salahsatu konsentrasi Islam? ujung pangkalnya karena nash-nash Al-Qur’an dan hadis ditafsirkan secara komprehensif. Kalimat tauhid laa ilaaha illallah yang menjadi pijakan dasar aqidah islamiyah misalnya, tidak hanya ditafsirkan sebagai keyakinan dan kepercayaan atas  adanya Allah saja, melainkan juga menisbikan tuntutan untuk mengakui adanya ciptaan Allah. 


Meminjam ungkapan KH Said Aqiel Siradj (2009), bahwa Islam bukan hanya dinun aqidah wa syariat, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai ilmu pengetahuan, budaya, peradaban, kualitas, pola pikir dan pola hidup untuk mewartakan sekaligus mewujudkan rencana keselamatan Allah. Oleh karenanya, jika agama melupakan atau meninggalkan karakteristik dasar dan misi utamanya maka akan  kehilangan kebenarannya.


Dalam rangka merealisasikan misi mulia untuk mewujudkan kebahagiaan dan kedamaian, Islam sangat menjunjung tinggi dalam menjamin dan menjaga keberlangsungan eksistensi (jiwa/raga) setiap manusia. Maka muncullah lima prinsip universal (kulliyatal khams) dalam Islam sebagai pijakan dan pertimbangan para ulama dalam menetapkan produk hukum. Kelima prinsip itu adalah: 1) terjaminnya hak beragama (hifdz al-din), 2) terjaminya hak hidup (hifdz al-nafs), 3) terjaminnya hak berekspresi/berpendapat (hifdz al-‘aql) 4) terjaminnya harta (hifdz al-mal), dan 5) terjaminnya hak berketurunan (hifdz al-nasl). Wallahua'lam


Referensi: 

  1. Dasim Budiman, dkk (2015) “Hak Asasi Manusia”.
  2. Robert B. Baowollo (2010) “Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia.” Sebuah Resume dari Dialog antara Franz Magnis-Suseno SJ, M Amin Abdullah, dan KH Said Aqiel Siradj dalam kurun waktu 19 Februari – 12 Mei 2009.
  3. Prof Dr KH Said Aqiel Siradj (2019) “Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri.”


Rudi Sirojudin Abas, penulis adalah salah seorang peneliti kelahiran Garut.


Opini Terbaru