• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Opini

RUU Sisdiknas dan Riuh Rendah Kesejahteraan Guru

RUU Sisdiknas dan Riuh Rendah Kesejahteraan Guru
RUU Sisdiknas dan Rius Rendah Kesejahteraan Guru.
RUU Sisdiknas dan Rius Rendah Kesejahteraan Guru.

RUU Sisdiknas yang diinisiasi Kemendikbudristek pada tahun 2022 ini mendapat sambutan beragam dari berbagai kalangan. Ada yang menyambut baik dan berharap segera disahkan, ada pula yang meminta untuk ditunda, bahkan ada yang menolak mentah-mentah. Salah satu perbincangan yang cukup hangat di kalangan para pendidik adalah soal kesejahteraan guru. RUU ini dianggap akan merenggut kesejahteraan guru karena ditengarai akan menghapus Tunjangan Profesi Guru (TPG). 


Kemendikbudristek membantah akan menghapus TPG. Menurutnya, guru-guru yang sudah mendapat TPG akan tetap mendapatkannya sampai pensiun, sesuai dengan pasal 145 dalam RUU tersebut. Justru guru-guru yang belum mendapatkanya akan mendapat kesejahteraan dengan skema yang berbeda dari TPG. Asalkan guru tersebut sudah aktif mengajar, mereka berhak mendapatkan kesejahteraan tanpa harus menunggu lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG).


Argumen ini cukup rasional. Sebab, Kemendikbutristek sendiri mengakui bahwa masih ada sekitar 1,6 juta guru yang belum tersertifkasi. Sementara pemerintah tidak mampu menyelenggarakan PPG untuk guru sebanyak itu dalam waktu singkat. Jika untuk mendapat kesejahteraan, seorang guru harus tersertifikasi terlebih dahulu, sementara untuk mendapatkan sertifikat itu halus lulus PPG, sedangkan antrian PPG mengular sangat panjang, persoalannya tidak akan tuntas dalam satu-dua tahun. 


Persoalan kesejahteraan guru ini memang cukup pelik. Selama ini, yang mucul di khalayak dan menjadi pengetahuan publik adalah soal kesejahteraan guru sukwan. Biasanya solusi yang diajukan adalah diangkatnya para guru sukwan menjadi PNS atau PPPK. Padahal, kenyataannya, guru-guru ASN, baik PNS atau PPPK, nasibnya tidak semujur ASN non guru. ASN non guru, saat diangkat sudah langsung mendapat tunjangan. Sementara guru, harus melewati jalan panjang PPG yang melelahkan. Bukan soal proses Pendidikannya, namun soal kesempatan mengikuti pendidikan yang tidak merata.


Nasib para guru Pendidikan Agama Islam adalah satu contoh bagaimana sulitnya guru untuk mendapat kesejahteraan seperti yang lain.


Guru PAI di sekolah, secara genetik adalah anak kandung dari Pemerintah Daerah. Sedangkan urusan PPG dan kesejahteraannya berada di bawah Kementerian Agama. Ini memang agak runyam, karena aplikasi wajibnya saja lebih banyak daripada guru lain. Di lapangan, ada guru PAI yang menunggu kesempatan PPG sampai lebih dari sepuluh tahun, yang artinya selama itu pula tidak mendapatkan kesejahteraan sebagaimana yang lain. Bahkan ada yang usianya sudah diatas 50 tahun masih berderet dalam antrian PPG. 


Kuota PPG PAI dari Kemenag dibagi-bagi kepada daerah, namun jumlahnya tidak banyak. Ini salah satu penyebab lambatnya guru PAI dapat mengikuti PPG. Memang hal ini bisa difahami, karena anggaran Kemenag yang harus dibagi secara nasional, dengan jumlah guru yang sudah lulus pretest di atas 140 ribu guru. Namun, pada bach 3 PPG PAI tahun 2022, di mana Kemenag menggandeng LPDP, tetap saja prosentase guru yang mendapat jatah PPG tidak sebanding dengan jumlah antrian.


Sebetulnya, Kementerian Agama sudah mendorong agar biaya PPG PAI ditanggung oleh pemerintah Daerah, melalui surat dari Dirjen Pendidikan Islam. Namun sejauh ini, Pemerintah Daerah yang membantu PPG PAI jumlahnya masih dalam hitungan jari. 


Salah satu masalah yang muncul adalah, Dinas Pendidikan dalam mengajukan anggaran PPG harus berdasar pada pangilan dari LPTK. Sementara dalam aplikasi Siaga, tidak muncul nama LPTK untuk para calon peserta PPG. Karena nama LPTK akan muncul bersamaan dengan panggilan PPG setelah ada kepastian biaya, misal dari APBN, APBD atau LPDP. 


Dengan rumit dan sulitnya PPG, wajar jika ada gagasan, kesejahteraan guru tidak perlu dikaitkan dengan sertifikasi. buktinya, banyak guru yang sudah harus PPG setelah lulus pretest, tetapi harus terus menunggu karena persoalan keterbatasan kuota PPG pertahunnya.


Apapun skema kesejahteraan guru, tetap saja harus menunggu. Jika skema TPG tetap dipertahankan, para guru harus rela berjejer dalam antrian PPG yang mengular sangat panjang. Tapi, guru-guru juga tidak bisa berharap banyak pada RUU Sisdiknas yang menjanjikan kesejahteraan tanpa antrian PPG. Toh RUU ini banyak yang menolak dan jelas-jelas tidak masuk prolegnas di tahun 2023. 


Lepas dari itu semua, yang dibutuhkan oleh para guru, sebagai ujung tombak pendidikan, adalah kepastian dan kesetaraan dalam mendapat kesejahteraan.


Asep Deden Muhtarul Alimin, Dewan Instruktur PC GP Ansor Kota Tasikmalaya


Opini Terbaru