Ngalogat

Siti Khadijah, Belahan Hati dan Penopang Perjuangan Nabi Muhammad Saw (II)

Sabtu, 6 September 2025 | 07:00 WIB

Siti Khadijah, Belahan Hati dan Penopang Perjuangan Nabi Muhammad Saw (II)

Siti Khadijah, Belahan Hati dan Penopang Perjuangan Nabi Muhammad Saw (II)

Setelah Khadijah berumah tangga dengan Nabi, beberapa peristiwa kenabian terjadi pada masa ini. Pada 610 M, Nabi menerima wahyu pertama dari Malaikat Jibril ketika ia berkhalwat atau bertakhannus di Gua Hira.


Saat Nabi memperoleh wahyu pertama, Nabi mengalami kegoncangan dan ketakutan. Khadijah adalah orang yang pertama kali diberitahu dengan tubuh yang gemetar sambil berkata: "Selimuti aku! Selimuti aku!". Dipenuhi rasa cemas, tetapi tak berani bertanya kepada Nabi, Khadijah cepat-cepat membawakan selimut dan menyelimutinya. Ketika rasa takutnya telah mereda, Nabi menceritakan kepada istrinya apa yang telah dilihat dan didengarnya. 


Setelah mendengar cerita dari Nabi, Khadijah pun berkata:"Oh putra pamanku. Bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya Engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah tak akan mencemoohkan Engkau, sebab Engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu serta menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."


Nabi pun merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan penuh kasih dan rasa terima kasih yang dalam. Tatkala Nabi sedang tidur, Khadijah mendatangi sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah penganut Nasrani yang menerjemahkan kitab Bible ke dalam bahasa Arab. Waraqoh, sebagaimana sebagian keturunan Bani Hasyim lainnya mempraktikkan  ajaran hanif, sebuah ajaran dan tradisi keberagamaan yang diajarkan dan diwarisi dari Nabi Ibrahim. 


Waraqah menanggapi apa yang disampaikan Khadijah sebagai berikut: "Quddus! Quddus! " kata Waraqah. "Demi Tuhan yang menguasai jiwaku, yang menguasai Muhammad adalah Namus yang terbesar, yang dulu juga mendatangi Musa. Sungguh, Muhammad adalah nabi bagi kaumnya. Katakan kepadanya supaya ia tetap tabah. " (Muhammad Husain Haekal: 2003: 83; Martin Lings: 1991: 68). 


Dalam kesempatan lain, Waraqah juga pernah berkata langsung kepada Nabi: "Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula. "(Muhammad Husain Haekal: 2003: 85) Lalu Waraqah mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Nabi. Nabi pun merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqah tersebut. Tetapi ia merasa betapa berat tanggung jawabnya, karena harus menyiarkan ajaran yang ia peroleh dari wahyu yang diterimanya. 


Khadijah adalah perempuan pertama yang mengakui kenabian Nabi, karena ia yang paling mengetahui kualitas kemanusiaannya, tidak pernah berbohong (al-amin), tidak pernah mengejar harta untuk kepentingan pribadi, pun juga tidak gila kuasa. Ia juga yang pertama kali memeluk agama Islam dan yang pertama kali pula diajarkan oleh Nabi tata cara shalat. Ia perempuan istimewa yang secara khusus mendapatkan salam dari Malaikat Jibril  yang kala itu menyerupai bentuk aslinya yang dititipkan kepada Nabi. "Wahai Khadijah, di sini ada Jibril yang menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu. " Khadijah menjawab, "Tuhan adalah kedamaian, dan bagiNya kedamaian, serta kedamaian atas Jibril! "(Martin Lings: 1991: 75). 


Pada 619 Masehi, Khadijah wafat pada usia 65 tahun. Pada saat itu, Nabi berusia 50 tahun dan pada tahun ke-10 kenabian. Keduanya telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Meninggalnya Khadijah --juga pamannya yang selama hidupnya melindungi beliau, Abu Thalib--disebut dalam sejarah hidup Nabi sebagai Tahun Duka Cita dan kesedihan atau 'Amul Huzni'. 


Ali Syariati (1980) menulis mengapa kesedihan itu terjadi, karena bersama Khadijah, Nabi menghadapi ketakutan, bahaya, kesepian, tahun-tahun kebencian dan permusuhan, pertempuran dan perjuangan. Nabi juga telah kehilangan pelindungnya, teman menderitanya yang penuh kasih sayang, cinta, iman, pengorbanan dan kekayaan ketika Nabi sangat membutuhkannya. 


Sepeninggal Khadijah, Nabi melanjutkan hidupnya dengan mempunyai beberapa istri, diantaranya adalah Siti Aisyah. Dalam kelanjutan rumah tangga tersebut, Nabi sering mengingat dan membicarakan Khadijah yang membuat Siti Aisyah cemburu. Tatkala kecemburuan Siti Aisyah itu muncul, Nabi berkata: "Allah tidak memberiku yang lebih baik dari Khadijah. Ia mempercayaiku disaat orang lain menolakku. Ia serahkan semua hartanya untuk mengabdi kepada-Ku ketika orang lain menahan harta mereka dariku. Ia juga telah memberiku keturunan melalui rahimnya (Sayid AA Razwi: 2002: 171).


Pelajaran apa yang bisa kita petik dari keteladanan Siti Khadijah? Jauh sebelum adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang merupakan Perjanjian Internasional yang diadopsi PBB pada 1979 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984, Khadijah telah mempraktikan hidupnya sebagai manusia utuh yang tak mengalami diskriminasi karena jenis kelaminnya sebagai manusia yang berjenis kelamin perempuan. Ia berdaya secara ekonomi dan yang menentukan dirinya dengan siapa ia harus menikah. Ia juga perempuan yang pertama kali menyatakan ketertarikannya kepada Nabi dan ketertarikan itu bukan karena harta maupun kekuasaan, melainkan laki-laki yang dipilihnya adalah orang memiliki budi pekerti yang luhur dan terpercaya. 


Bersama Nabi, Khadijah bukanlah  semata-mata sebagai istri yang melayani kebutuhan harian suami dalam urusan domestik dan melahirkan anak-anaknya. Lebih dari itu, Khadijah adalah sahabat seperjuangan dimana Nabi meminta pelbagai pertimbangan dalam mengambil keputusan dan sahabat dalam berdialog dan berstrategi. Bahkan, sebagian besar harta Khadijah diperuntukkan untuk perjuangan menegakkan kebenaran dan menyebarkan kemaslahatan dan kebaikan. 


Saat ini dan masa depan, kita masih membutuhkan figur 'Khadijah-Khadijah baru'. Menumbuhkan keberadaan figur tersebut perlu  suatu ekosistem yang kondusif mulai dari keluarga, pasangan hidup, kultur masyarakat dan sistem bernegara. Wallahu  A'lam.


Neng Dara Affiah, penulis merupakan Dosen dan seorang Penulis.