Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Umat Islam memahami Mi’raj merujuk pada peristiwa bersejarah yang dialami Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW dimi’rajkan Allah SWT naik ke Sidratul Muntaha (QS an-Najm [53]: 1-18) setelah sebelumnya melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Makah ke Masjidil Aqsha di Jerusalem Palestina (QS al-Isra [17]: 1) dalam waktu yang relatif singkat satu malam.
Sebelum Mi’raj, Nabi dipertemukan sekaligus menjadi imam salat bagi para arwah Nabi dan Rasul terdahulu. Sebelum Mi’raj, Nabi mengalami pembersihan diri dari sifat-sifat tercela. Saat Mi’raj, Nabi tidak saja mendapatkan wahyu berupa perintah kewajiban salat lima waktu, juga diperlihatkan kekuasaan-keuasaan terkait dengan kepastian akan adanya kehidupan akhirat lengkap dengan gambaran penghuni surga dan nerakanya.
Baca Juga
Tiga Hikmah Isra' Mi'raj
Selepas Mi’raj, Nabi pun turun ke bumi manusia dengan kondisi jiwa yang kokoh dan percaya diri dengan kepribadian yang telah mengalami transformasi hakiki yang sudah dipoles oleh Sang Kuasa. Mengingat Mi’raj merupakan peristiwa yang terjadi pasca Nabi mendapatkan intimidasi, teror, ancaman, dari penduduk Makah yang zalim, serta ditinggalkan oleh dua perisai dakwah yakni pamannya Abu Thalib dan istrinya Siti Khadijah. Maka Mi’raj seolah menjadi pelipur lara dari rasa duka mendalam atas tindakan jahiliah dan atmosfir peradaban yang penuh dengan kegelapan.
Mi’raj hadir memberikan kejelasan bahwa perjuangan kenabian hanya dapat diraih dengan kekuatan, keberanian, ketabahan, serta ketulusan. Hal itu dapat dilihat dari fasca Nabi Mi’raj. Terbukti setelah itu, Nabi beserta para sahabatnya mendapatkan kemenangan-kemenangan yang gemilang dalam berbagai hal.
Baca Juga
Isra' Mi’raj dalam Maqam Tasawuf
Puncak kemenangannya adalah dengan mampu membumikan Islam dengan waktu yang relatif singkat yaitu selama 23 tahun. Selama itu pula Nabi berhasil mengubah peradaban yang sebelumnya bergelimang kebodohan menjadi peradaban yang terang benderang dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, keimanan, dan keilahian.
Kebodohan Akhlak
Kejahiliahan yang menjadi penanda kebodohan umat pada masa prakenabian tidak serta merta mengindikasikan bahwa bangsa Arab pada masa itu tidak berpengetahuan. Justru pada masa itu, bangsa Arab telah memiliki pengetahuan yang sebanding-bahkan disebagian hal mampu lebih-dengan bangsa-bangsa sejamannya.
Penguasaan akan karya sastra dan bahasa, kemampuan menaklukan berbagai medan perang, kelihaian dalam berniaga menjadi satu bukti bangsa Arab memiliki pengetahuan yang tinggi. Namun yang jadi permasalahannya, pengetahuan yang dimiliki tidak disertai dengan kesesuaian perangai kodrat manusiawi.
Perbudakan, paganisme, ateisme, perilaku diskriminatif maupun rasisme, serta sifat-sifat tercela lainnya menjadi bukti kebodohan akhlak manusia pada jaman itu. Maka atas dasar itulah sejatinya Nabi diutus ke muka bumi ini yakni untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Mi’raj kenabian seharusnya menjadi spirit bagi kita semua untuk tetap memiliki semangat hidup yang penuh kesantunan. Mi’raj yang bisa mewujudkan kebahagiaan, bukan hanya sebatas materi, namun juga mencakup asfek rohani dan spiritual.
Mengambil hikmah Mi’raj, tak ada baiknya jika penderitaan dan kesedihan terus diratapi. Yang harus diutamakan adalah semangat visioner untuk terus maju ke depan dengan menanggalkan segala bentuk kejahiliahan. Bukankah oleh-oleh terbesar dari Mi’raj berupa salat lima waktu fungsi utamanya yakni untuk menanggalkan segala bentuk kemungkaran?
Salat tidak saja menjadi sebuah ibadah yang berdimensi vertikal sebagai perwujudan bakti antara hamba dengan penciptanya, namun juga berdimensi sosial kemanusiaan. Oleh karena itulah salat yang kehilangan dimensi sosial kemanusiaannya dianggap Tuhan sebagai salat yang lalai, celaka, dan main-main yang tidak mempunyai nilai apa-apa (QS an-Nisa [4]: 142 & QS al-Maun [107]: 4-6).
Mi’raj Pendidikan
Semangat Mi’raj juga bisa dielaborasikan ke dalam dunia pendidikan. Harus diakui bahwa negara kita belum mampu menemukan formulasi pendidikan yang cocok dan sesuai untuk diterapkan mengingat begitu kompleksnya permasalahan pendidikan di negeri ini. Gonta-ganti kurikulum masih menjadi pemandangan yang biasa dirasakan. Solusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih terbelenggu kepentingan-kepentingan para elit pemegang kebijakan pendidikan.
Nyaris yang kita dengar dan saksikan di lapangan bagaimana para guru masih banyak mengeluh karena terbebani dengan beragam tugas administrasi. Belum lagi tugas-tugas yang sifatnya aplikatif seolah menambah daftar panjang beban guru yang tidak ada habisnya. Pemenuhan hak pendidikan anak dan kesejahteraan guru masih belum sepenuhnya merata dapat dirasakan dan diterima sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, di tengah-tengah kecanggihan teknologi informasi yang begitu pesat menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan moral dan akhlak peserta didik. Kebebasan mengakses informasi tanpa batas yang tidak disertai dengan pengawasan bisa jadi dapat mendegradasi nilai-nilai etika dan moral.
Di satu sisi, guru sebagai tenaga pendidik berjibaku dalam mencerdaskan kehidupan anak, pada saat yang sama peserta didik mendapatkan akses informasi yang kurang etis, kecuali peserta didik yang memang mendapatkan pengawasan dan bimbingan yang terarah. Oleh karena itu maka tak heran jika pada hari ini, perundungan, hoaks, caci maki, ujaran kebencian mampu menghiasi ruang-ruang prifat maupun sosial tanpa ada rasa risih dan malu.
Dalam hal inilah semua pihak, pemerintah, stakeholder pendidikan, agamamawan, tokoh masyarakat dan juga keluarga berperan penting dan berkewajiban dalam menciptakan kepatutan pendidikan baik dalam asfek pengetahuan (knowledge) maupun asfek nilai dan sikapnya (attitude).
Jalan Kemanusiaan
Bagi saya Mi’raj dalam konteks pendidikan seharusnya diterjemahkan kepada jalan kemanusiaan. Bukankah selesai Mi’raj yang menjadi fokus Nabi beserta para sahabatnya adalah bagaimana tentang memanusiakan manusia? Rasanya perlu dihayati pesan dari QS al-Hujurat [49] ayat 13 bahwa untuk saling mengenal di antara sesama manusia, jalan keluarnya yakni dengan kasih sayang. Juga pada QS ali-Imran [3] ayat 190 yang mengisyaratkan bahwa manusia yang mampu menggunakan akalnya yang baik yakni manusia yang mempunyai keberadaban.
Alhasil, dalam konteks pendidikan Mi’raj harus dijadikan modal utama untuk membangun kecerdasan bangsa yang penuh dengan keberadaban. Salah satu indikasi pendidikan yang beradab yakni dengan mewujudkan tatanan pendidikan yang tetap berorientasi pada asfek budi pekerti moral etika, selain juga berorientasi pada asfek kecerdasan ilmu pengetahuan. Semoga!
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai pendidik.
Terpopuler
1
Lomba Kampung NU, Upaya PCNU Kabupaten Cianjur Syiarkan Ajaran Aswaja An-Nahdliyyah
2
Konferensi MWCNU Cileungsi Tetapkan Ustadz Syahri Ramdhani dan KH Kholil Khaerudin Sebagai Ketua dan Rais 2024-2029
3
MWCNU dan KBNU Cileunyi Adakan Gebyar Maulid Nabi Saw
4
Ustadz Jaka Godeg Hibur Jamaah Maulid Nabi Muhammad Saw 1446 H di Bojonggede
5
TPT Perumahan Mandalika Residence Longsor, Warga Diungsikan
6
Lewat Pentas Tarik Suara, Muslimat NU Gunung Putri Rawat Keutuhan Literasi Aswaja untuk NKRI
Terkini
Lihat Semua