• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Ngalogat

Mengkader dengan Kalender

Mengkader dengan Kalender
kalender nu (Foto: NU Online)
kalender nu (Foto: NU Online)

Oleh Abdullah Alawi 
Misalnya saat saya tidur senyenyak-nyenyaknya, nyenyak di atas nyenyak, tiba-tiba seseorang membangunkan paksa sepaksa-paksanya; dalam keadaan setengah bangun setengah tidur, seseorang itu, tanpa merasa berdosa, menunjukkan sebuah gambar kepada saya. 

Di luar dugaan, misalnya ia lalu bertanya kepada saya, ini gambar siapa?  

Jika gambar yang ditunjukkannya itu adalah KHR. As’ad Syamsul Arifin, yang kepalanya dibalut sorban belang hitam putih, maka saya akan menjawabnya dengan jitu. Tak mungkin meleset sama sekali. Saya tidak akan mungkin keliru dengan menyebut Khalid Basalamah apalagi Zakir Naik. Bahkan, terhadap kedua orang ini, saya tidak begitu awas karena tidak penah memiliki ingatan terkait masa kecil dan bilik rumah.  

Lain lagi dengan Kiai As’ad. Saat bocah, saya sudah melihatnya. Ia selama setahun di rumah saya. 

Ya, saya tahu Kiai As’ad dari kalender di bilik rumah saya. Ia sebulan terpampang di muka bergantian dengan kiai-kiai lain. Di bagian muka ada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansoeri. 

Pokoknya gambar para orang tua lengkap tahun lahir dan meninggalnya. Mereka, kalau tidak dibalut serban, ya berkopiah hitam.  Di bagian atas kalender itu, ada bola dunia yang ditindih huruf-huruf rangkaian aksara Arab yang entah apa bacaan dan maknanya. Itu ada di setiap halaman.   

Lalu ketika tahun berganti, saya berharap ayah mengganti kalender seperti di bilik tetangga yang penuh dengan gambar mengkilap, perempuan-perempuan beranting menjuntai panjang atau seperti gelang yang tak umum dikenakan di kampung saya.  Mereka perempuan-perempuan kota, yang di kemudian hari, setelah saya bisa membaca, mereka adalah Yana Zein, Ana Maria, Nia Daniati, Meriam Belina dan kawan-kawan. 

Kalau bukan perempuan-perempuan itu, saya berharap kalender di rumah adalah pemandangan dari tempat-tempat eksotis atau kemegahan gedung-gedung atau keindahan kaligrafi dan masjid. Pokoknya berbeda dengan tahun lalu. 

Namun, itu hanya harapan, ketika memasuki Januari, ayah menempel gambar para orang tua itu lagi. Persis seperti tahun kemarin. Hanya berbeda tahun dan pergeseran angka pada hari-hari.  

Saat saya agak besar sedikit, muncul pertanyaan, apa untungnya menempel para orang tua? Siapa sebenarnya mereka itu? Apa perannya? Apa hebatnya dari Yana Zein dan Nia Daniati atau Desy Ratnasari? Para orang tua itu bukankah tak pernah nongol di televisi, misalnya di Album Minggu?  

Bodohnya, saya tidak bertanya kepada siapa pun, termasuk ayah. Sementara Ayah juga sepertinya tidak pernah merasa perlu menjelaskan. Ia mungkin mengharapkan saya mencari tahu sendiri dengan cara sendiri.  

Hingga mendekati 1997, saat akhir saya Sekolah Dasar, ayah menyebut-nyebut Gus Dur. Entah dari mana ia mendapatkan info itu. Yang jelas, ia menyebutnya sebagai orang cerdas, kiai jempolan. Ketika tahun 1999, televisi menyebut-nyebut Gus Dur sebagai presiden. Ketika Abdurrahman Wahid juga disebut, saya baru sadar, ternyata itu dua nama untuk orang sama. Saat itu pula saya baru sadar bahwa Gus Dur tertempel di kalender saya di halaman akhir.  

Waktu itu, baru saya merasa bangga ternyata kalender di rumah saya tidak sembarangan, ada yang jadi presiden.  

Kalender dan Kaderisasi Sedari Dini 
Apa pentingnya kalender dalam bentuk cetak saat ini? Bukankah yang serba cetak itu telah ketinggalan? Bukankah tanggal-tanggal sudah tersedia dan bisa dibawa kemana-mana di ponsel? 

Sebetulnya, bukan pada tanggal-tanggal itu yang terpenting, tapi gambar tokoh-tokoh NU. Bagi keluarga yang memiliki anak-anak, gambar tokoh-tokoh itu satu jalan kaderisasi sejak dini secara alamiah. Gambar-gambar itu akan menancap kuat dalam ingatan. Setelah menancap, anak akan mempertanyakan, mencari tahu, dan mudah-mudahan meniru perjuangan para tokoh itu setelah dewasa. Kemudian syukur-syukur bisa aktif melanjutkan perjuangan itu.  

Dengan demikian, tidak harus melulu kalender, tapi memperkenalkan gambar tokoh sejak dini. Jika itu dilakukan, saat tidur nyenyak dibangunkan, lalu ditanya, ini gambar siapa, ia akan bisa menjawabnya dengan benar. 

Namun, sekali lagi, itu bukan yang terpenting, melainkan bagaimana meniru, mengembangkan, melanjutkan perjuangan tokoh-tokoh pada kalender itu.  

Penulis adalah warga NU kelahiran Sukabumi yang pernah merasa dikader dengan kalender 


 


Ngalogat Terbaru