• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Ngalogat

Klasifikasi Bid'ah Menurut Pendapat Para Ulama

Klasifikasi Bid'ah Menurut Pendapat Para Ulama
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Oleh: KH AN Nuril Huda
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)

“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa,” (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek. Sebab, yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Syekh Zaruq memiliki pendapat lain mengenai bid'ah, seperti yang dikutip oleh Hadlratusyekh Hasyim Asy'ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan bid'ah atau tidaknya sebuah perkara baru dalam urusan agama. 

Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah. Namun, jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut bisa dikategorikan batil dan sesat.

Kedua, sesat atau tidaknya suatu perkara baru bisa diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Apabila perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Namun, Jika pendapat dari para ulama masih terjadi perbedaan pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Akan tetapi jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syekh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam;

Pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang), yakni bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya.

Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), merupakan bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Artinya bahwa, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka itu bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Menurut Ibnu Abd Salam, Hukum bid’ah seperti yang dinukil Hadlratusyekh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam:

Pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (gharib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah.

Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal.

Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf.

Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat subuh maupun ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dari beberapa penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadlratusyekh menyatakan bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

Editor: Muhammad Rizqy Fauzi
Sumber: Nu Online​​​​​​​


Ngalogat Terbaru