• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 30 Juni 2024

Ngalogat

Cipasung, Ruang Pembelajaran yang Tak Pernah Kering

Cipasung, Ruang Pembelajaran yang Tak Pernah Kering
Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, (Foto: NU Online/dok. istimewa)
Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, (Foto: NU Online/dok. istimewa)

Memori memang menakjubkan. Jika itu berkesan, baik memori baik atau buruk, maka akan dengan lekat terekam dalam pikiran. Tinggal dipantik, maka memori itu akan hadir, dan kita akan mudah menceritakan dengan lancar, seolah tubuh dan jiwa kita hadir di masa memori tersebut diceritakan. Momen Haul Pondok Pesantren, biasanya jadi momen untuk membangkitkan kisah-kisah terbaik masa-masa nyantri di Cipasung. 


Bagi saya pribadi, memori tinggal di Pondok Pesantren Cipasung di periode 2002 hingga 2005 termasuk memori yang mudah dipantik. Untuk ukuran santri, tiga tahun mengenyam pendidikan pesantren sudah tentu waktu yang amat singkat. Banyak santri yang berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain demi memperolah hikmah terbaik dari para kiai. Atau ada juga santri-santri yang berteguh pada satu pesantren, bersetia memungut setiap hikmah yang dihadirkan oleh kiai dan para pengasuh pesantren. 


Contoh yang bersetia pada satu pesantren, seperti penuturan KH. Abdul Khabir adalah Ajengan KH. Ilyas Ruhiat (yang merupakan putra dari Abah KH. Ruhiat) yang tidak sempat mengaji ke tempat lain, dan sejak kecil didik langsung oleh sang Ayah. 


Bagi saya yang tinggal di asrama Al Jihad, Pondok Pesantren Cipasung (diasuh oleh Bapak KH. Ubaidillah Ruhiat, saat ini pimpinan Pondok Pesantren Cipasung dan Ibu Hj. Neneng Nurlaela) dan bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri Cipasung (sekarang MAN 2 Tasikmalaya) memori 3 tahun sangat penuh kesan. 


Dalam proses tiga tahun saya belajar hidup, tak hanya perkara akademik yang terkait dengan ilmu sekolah atau ilmu agama semata. Saya berjumpa ragam orang dengan kebiasaan-kebiasaan yang ajaib. Saya bertemu guru-guru yang ikhlas memberikan pembelajaran hidup, yang hingga kini masih saya kenang. 


Belajar kearifan
Cipasung adalah laboratorium yang memperkenalkan saya kepada laku sebagai seorang santri sekaligus bagian dari masyarakat. Belajar di Cipasung, dalam pengalaman saya pribadi tak hanya diajak untuk menyelami ragam keilmuan keagamaan, tetapi juga upaya mengenal diri dan kemudian masyarakat. 


Di Cipasung saya kembali mengenali diri sendiri. Saya yang lahir dari keluarga sunda, karena Bapak dan Ibu serta keluarga besar berasal dari Ciamis, kembali mengenali budaya sunda, utamanya belajar bahasa sunda. Saya belajar tentang kearifan-kearifan yang berasal dari laku ajaran agama dan budaya sunda. Pada titik ini saya merasa beruntung mengenali diri sendiri melalui proses pendidikan dan tempaan Pesantren Cipasung. 


Puluhan tahun kemudian ketika saya membaca Buku Ajengan Cipasung: Biografi KH Moh. Ilyas Ruhiat karya Iip D. Yahya (buku ini patut dibaca oleh setiap santri khususnya Santri Cipasung) saya baru menyadari bagaimana sesungguhnya school of thought Pesantren Cipasung. Dalam buku tersebut misalnya Ajengan Ilyas Ruhiat sering juga disebut ajengan Santun, sering disematkan identitas kokoh keislaman dan kesundaan; keulamaan dan kebudayaan; kelokalan dan kenasionalan (Yahya, 2021). Hal ini khas beberapa tokoh ulama nusantara antara lain Syaikh Mahfudz at-Tarmisi, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Arsyad al-Banjari (Yahya, 2021). 


Di Cipasung juga saya dikenalkan kembali pada posisi saya sebagai bagian dari warga negara. Cipasung, terkenal dengan rasa kebangsaan yang kental sebab pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Abah K.H. Ruhiat merupakan salah satu patriot pejuang bangsa yang tangguh. Coba saja browsing bagaimana perjuangan Abah K.H. Ruhiat di masa penjajahan Belanda, maka kita akan mendapatkan kisah heroik dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. 


Kusdiana dkk. (2013) dalam artikel bertajuk The Pesantren Networking In Priangan (1800-1945) memaparkan bahwa terdapat jaringan antar-pesantren terbentuk oleh persamaan visi dalam kegiatan pergerakan dan perjuangan melawan penjajah. 


Dalam catatan Kusdiana dkk (2013) aliansi tersebut yang diwakili oleh para pemimpin Pesantren Cipasung dan Sukamanah Tasikmalaya (K.H. Ruhiyat dan K.H. Zainal Mustopa); Pesantren Samsul Gunung Puyuh Sukabumi dan Pesantren Ulum Al-Falah Biru (K.H. Ahmad Sanusi dan K.H. Badruzzaman di POII), serta Pesantren Al-Falah Biru dan Pesantren Bojong Melati (K.H. Badruzzaman dan K.H. Mustafa Kamil) dalam organisasi PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan Al-Muwafaqah).


Kusdiana dkk. (2013) berpendapat bahwa jejak pesantren dalam konteks perjuangan melawan Belanda dan Jepang merupakan bagian dari visi setiap pesatren yang sama dalam kegiatan pergerakan dan praktik perjuangan melawan imperialisme.


Medan perjuangan pendidikan
Di medan juang pendidikan, sudah sejak lama Cipasung berkhidmat pada peningkatan kualitas manusia Indonesia baik pada di berbagai medan juang pendidikan (formal dan non formal). 


Visi pendidikan Cipasung sangat nampak pada jejak pembangun pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang hadir hingga kini. Sebagai ruang pendidikan dan pembelajaran yang tak pernah kering, Cipasung menawarkan pembelajaran kehidupan bagi siapapun yang mencarinya. Santri harus jadi sosok yang memiliki ketekunan belajar. Bagi yang bersungguh-sungguh, Ia akan dapat, demikian selalu diingatkan. 


Mereka yang tekun mengaji ilmu agama, takdzim pada para Kiai dan guru di pesantren akan memiliki keistimewaan di kala lulus. Para santri istimewa ini yang kemudian menghadirkan tradisi keilmuan dari pesantren Cipasung ke masyarakat umum, dan ini jumlahnya besar. Mereka yang menjadi guru-guru, ustad-ustadzah, bahkan kiai di kampung-kampung di Jawa Barat. Meski juga, kita mafhum tak semua alumni menjadi tokoh agama para penebar pencerahan. 


Alumni-alumni Cipasung tak hanya mewarnai dakwah keislaman tetapi juga hadir di ruang pendidikan, ruang sosial dan politik, atau pun konteks ekonomi. 


Dahulu ketika mengaji, saya perhatikan bahwa hal yang paling dikhawatirkan atau ditakuti santri adalah ketika ilmu yang dimiliki tidak memiliki kemanfaatan bagi masyarakat. Pada titik tersebut, jika direfleksikan, betapa keilmuan yang diinternalisasi di Pesantren Cipasung, juga khas pesantren-pesantren tradisional lainnya, adalah relasi dan kontekstualisasi dengan kebutuhan masyarakat. 


Alumni-alumni pesantren harus selalu relevan dengan masyarakat yang ditemaninya. Kebermanfaatan dari ilmu yang diraih di pesantren, baik akademik keagamaan ataupun lainnya kemudian menjadi tolok ukur keberhasilan menempuh pendidikan, tak semata soal mendapatkan pekerjaan seperti yang menjadi ukuran sekolah-sekolah modern. 


Link and match tak hanya soal pekerjaan, tetapi juga bagaimana individu-individu lulusan pesantren menjadi sosok tangguh nan bermanfaat di masyarakat. Pembuktian diri bermanfaat atau tidak bukan pada validasi ijazah formal, atau pengakuan diri tetapi dari masyarakat yang didampingi. Hal ini tentu tidak mudah, dan pembuktiannya berdasar pada pengakuan masyarakat dan berlaku dalam jangka panjang hingga maut memisahkan. 


Pada titik ini relevansi pesantren akan selalu menarik para alumni untuk terus berlaku yang terbaik bagi kemaslahatan masyarakat. Dan pada poin ini, jasa dari para Kiai, Ustadz-Ustadzah, para pengasuh, para guru yang ikhlas mengabdikan diri bagi pencerdasan umat menjadi utama. 


“Guruku Orang-Orang dari Pesantren”, meminjam istilah dari KH. Saifudin Zuhri, semoga selalu dalam perlindungan Allah SWT, juga bagi yang sudah tiada, semoga mendapatkan ampunan dan rakhmat dari Sang Pemilik Alam Semesta. 


​​​​​​​Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan dan Alumni Pondok Pesantren Cipasung 2002-2005


Ngalogat Terbaru