Kemarau di Surga: Penyingkapan Fenomenologis Melalui Metaforik Puisi
Ahad, 2 Maret 2025 | 14:51 WIB
Senin siang pukul dua belas Kota Bandung diguyur hujan deras. Saya terdiam duduk di samping jendela, di kursi ruang utama Gedung Indonesia Menggugat.
Gedung dengan gaya arsitektur hasil pertemuan Belanda dengan iklim tropis ini kini sudah menjadi ruang semimuseum; dulu gedung ini menjadi tempat pidato pledoinya Bung Karno di hadapan sidang mahkamah Belanda, dan judul dari pidato itu kini menjadi nama dari gedung ini sendiri “Indonesia Menggugat”.
Senin 24 Februari 2025, Komunitas Kuluwung menyelenggarakan sebuah acara peluncuran dan bedah buku antologi puisi ekologi berjudul “Kemarau di Surga”.
Saya merasa terberkahi dengan turut serta di acara ini, karena tugas akhir skripsi saya adalah menulis biografi pemikiran Bung Karno yang terhitung dari pidato Indonesia Menggugat tahun 1930 sampai lahirnya Pancasila tahun 1945.
Artinya, selain hadir dalam acara bedah buku, saya bisa melakukan napak tilas gedung ini sebagai saksi bisu; merasakan ruangan sidangnya, dan membaca kembali isi pidato pledoi dan aktivitas Bung Karno ketikadi Bandung.
Buku antologi puisi ekologi yang akan dibedah hari ini merupakan hasil kerja kolaboratif yang kemudian dihimpun, dan diterbitkan oleh Komunitas Kuluwung. Proses mulai dari perencanaan, pengumpulan tulisan, penyuntingan, hingga produksi cetak, memakan waktu hampir satu tahun.
Lalu dalam penyelenggaraan acara peluncuran dan bedah buku, Komunitas Kuluwung berkolaborasi dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Jawa Barat. Selebihnya, Komunitas Kuluwung mengundang beberapa komunitas sastra, seni, dan lingkungan yang ada di Bandung.
Pemilihan judul dari buku antologi puisi ekologi ini berdasar pada pertimbangan Pak Acep Zamzam Noor, selaku pembina Komunitas Kuluwung dan tentunya menjadi penyair paling senior di generasi sastrawan Indonesia kiwari.
Saya kebetulan diberi wewenang untuk menyunting keseluruhan isi naskah antologi puisi ekologi, dan begitu buku selesai dikerjakan, kesan awal saya bermula dari bagian epilog yang ditulis oleh Dr. Asep Salahudin.
Dalam pembuka alinea pertama, beliau mengemukakan sebuah argumen yang tidak kalah metaforik dari puisi (bahkan mungkin lebih jenaka karena melampaui teologi), bahwa ajaran paling tua pasca teologi adalah ekologi.
Beliau bertesis bahwa keterjatuhan Adam (as) dari surga karena absennya kesadaran lingkungan, bukan surga dalam pengertian eskatologis, tapi ekologis; dari surga yang hijau permai turun ke bumi yang tandus.
Di samping diberi wewenang sebagai penyunting keseluruhan isi naskah, kebetulan pula saya ditunjuk sebagai moderator di acara peluncuran dan bedah buku antologi puisi ekologi. Dengan demikian, saya harus menyiapkan beberapa poin pertanyaan kepada narasumber.
Sementara itu, panitia peluncuran buku memutuskan untuk mengundang tiga narasumber, di antaranya Dr. Asep Salahudin sebagai penulis epilog dalam antologi ini, Pepep DW yang merupakan seorang penulis dan aktivis lingkungan yang sempat saya ikuti di periode tahun 2018-2020, lalu Siti Hannah sebagai perwakilan dari Walhi yang telah turut serta membiayai sebagian besar terbitnya buku antologi ini.
Pertanyaan pertama saya tertuju pada Pak Asep Salahudin sebagai generasi paling sepuh di antara tiga narasumber yang diundang; sebagaimana kita tahu bahwa isu lingkungan muncul dan mengemuka di abad ini (abad ke-21), di abad sebelumnya (abad ke-20 akhir) para insan cendikia sekaliber Nurcholish Madjid atau Gusdur belum begitu membicarakan atau menulis perihal lingkungan, lantas apa yang melatari itu.
Baca Juga
Filosofi Masjid Berkuncup Tiga di Sunda
Kemudian, karena Pak Asep Salahudin menulis buku Sufisme Sunda, saya bertanya di wilayah etika, bagaimana Islam memandang manusia dan alam. Bagaimana pula Islam menempatkan manusia antas jalinannya dengan mahkluk bumi lain dan lingkungan sekitarnya.
Pak Asep Salahudin kemudian memaparkan konsep-konsep manusia dan alam dalam khazanah Sunda yang dinilainya sudah sangat ekologis serta selaras dengan Islam, dunia modern yang dibawa oleh Belandalah yang kemudian mengubah lanskap itu.
Tambahnya, khazanah-khazanah tersebut bisa kita temukan dan interpretasi ulang dalam berbagai cerita rakyat dan peribahasa-peribahasa Sunda. Hanya saja, cerita-cerita itu disampaikan tidak dengan cara yang bisa dimengerti langsung sebagaimana cara berfikir rasional hari ini, namun melalui dongeng dan peribahasa-peribahasa yang metaforik.
Saya kemudian mengajukan pertanyaan dengan sedikit paparan; Prof. Nasarudin Umar, dalam kolom opini Kompas di bulan agustus tahun lalu menulis sebuah esai berjudul “Abrahamic Religion dan Kerusakan Alam”, ia menukil karya terbaru Karen Amstrong berjudul Sacred Nature; Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam, bahwa bagunan teologi agama abrahamik memiliki andil besar dalam kerusakan lingkungan.
Di dunia Eropa hal tersebut sangat terlihat dalam etika protestan dan spirit kapitalisme sebagaimana tertuang dalam karya Max Webber. Bangunan antroposentrisme sebagaimana terwarisi dalam agama-agama abrahamik dinilai sangat problematik, dan perlunya landasan etika baru dalam membangun manusia kiwari yang lebih ekologis.
Menjawab hal tersebut, Pak Asep Salahudinberpendapat bahwa hal itu merupakan satu tafsir atas bangunan dogma agama saja, kita perlu membuat tafsir-tafsir baru untuk mengubah itu. Maka yang diperlukan manusia hari ini (alih-alih menyalahkan dogma agama) adalah melihat kembali dan mengakrabi dirinya sendiri.
Karena bangunan dogma agama sebagaimana yang mendasari antroposentrisme dunia Eropa telah melahirkan peradaban sekuler, sehingga bangunan manusianya menjadi tidak utuh; yaitu terpisah dengan alam dan memandang alam sebagai objek yang di luar.
Hingga sampai lahirnya peradaban modern, objektifikasi pada alam menjadikannya sebuah komoditas, dan kita menyaksikan manusia di abad ini menjadi spesies mamalia paling besar daya rusaknya pada alam; kapitalisme industri, dan perang dunia.
Pertanyaan kedua saya tujukan pada Kang Pepep DW, ia dikenal sebagai seorang aktivis lingkungan yang berupaya menjaga wilayah-wilayah konservasi, suaka, cagar alam, dan sejenisnya dari potensi kerusakan; ia berani bersuara sekali pun di dalamnya terdapat komunitas pegiat alam, bahkan yang mendaku diri sebagai pencinta alam yang dalam aktivitasnya justru merusak alam itu sendiri.
Pertanyaan yang saya ajukan pada beliau adalah seberapa efektifkah upaya-upaya konservasi yang dilakukan oleh negara (hukum perundangan) untuk menjaga wilayah-wilayah konservasi dan sejenisnya dari kerusakan, mengingat sebelum adanya negara dan dalam beberapa kasus, wilayah-wilayah tersebut justru lebih lestari oleh komunitas lokal (adat) yang telah memiliki pranata sendiri untuk mencegah kerusakan itu.
Apakah dengan kehadiran negara, hukum pranata itu menjadi alienatif (sebagaimana telah terjadi), tumpang tindih, atau tidak ada jalan lain selain kita bertransformasi pada tatanan hukum (negara) baru itu. Pertanyaan ini juga sekaligusmerangkum di akhir pembahasan dari Pak Asep Salahudin bahwa di wilayah etika dan pengetahuan, kita berada di persimpangan jalan; antara tatanan lama menuju pengetahuan baru yang modern.
Kang Pepep DW menjawab pertanyaan ini dengan satu kasus sebuah komunitas lokal(kawasan lindung) yang berada di bagian tenggara Bandung, sebelum kawasan itu rusak, hal pertama yang diubah adalah cara pandang dunianya (worldview), lebih spesifiknya adalah mitos (pamali) yang sudah tidak diaggap lagi sebagai pranata hukum (dawuh kolot, atau otoritas). Namun di saat yang sama, pranata baru dalam hukum modern yang positivistik belum (untuk mengatakannya tidak) terjangkau, sementara alamnya sudah rusak.
Di situlah letak persimpangan terjadi, seperti berada di tepi jurang yang tidak menemukan jalan keluar selain membangun jembatan dengan penuh kebingungan, atau bunuh diri. Dan buat saya pribadi, hal itu menjadi pertanyaan besar, apakah mungkin kita tidak bisa benar-benar sepenuhnya menjadi modern sebagaimana telah dicangkokkan oleh Belanda sejak periode kolonial.
Menjawab hal itu, Kang Pepep kemudian berpendirian bahwa jalan untuk membangun jembatan (untuk tidak melakukan bunuh diri) itu adalah pendidikan. Pendidikan adalah harapan yang harus terus disemai, ia bisa menjadi jalan terang di tengah kebingungan-kebingungan ontologis untuk menjembatani antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru modern, dengannya bisa membuka harapan terbentuknya manusia-manusia baru yang lebih utuh.
Pertanyaan terakhir tertuju pada Siti Hannah, ia merupakan perwakilan dari Walhi sertamenjabat sebagai tim advokasi dan manajer di bidang kampanye lingkungan. Walhi dikenal sebagai organisasi yang bergerak di akar rumput, berupaya memitigasi masyarakat dari bencana-bencana lingkungan yang diakibatkan oleh modal korporasi dan negara yang seringkali bertindak represif.
Pertanyaan saya lebih tertuju pada langkah-langkah evaluatif Walhi, apakah Walhi akan melangkah lebih ke depan dengan penguatan Partai Hijau sebagai jalan parlementer yang mungkin akan lebih efektif dalam mengadvokasi masyarakat yang terdampak bencana lingkungan akibat modal kapital dan negara.
Menjawab pertanyaan itu, Siti Hannah belum bisa menjawabnya, di samping karena ia terbilang masih muda (fresh graduate), upaya-upaya ke arah parlementer agaknya masih terbilang jauh. Namun yang jelas, Walhi tetap akan bergerak di wilayah advokasi dan mitigasi bencana.
Sebagaimana tercantum dalam lampiran-lampiran di bagian akhir buku antologi ini, Walhi mendata banyak sekali kerusakan lingkungan dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang meskipun itu bencana alam, namun tetap pemicu awalnya adalah manusia; banjir, tanah longsor, polusi udara akibat aktivitas PLTU, dan lain sebagainya.
Dari semua laporan-laporan tersebut, yang ingin disampakan Walhi adalah mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam menjaga dan melestarikan lingkungan yang sehat, karena hal itu merupakan tanggung jawab bersama. Begitu pula keputusan Walhi untuk mendukung penerbitan buku antologi puisi ekologi ini, adalah upaya menjaga kesadaran itu, sebagai sarana informasi dan pembelajaran publik untuk lebih sadar akan lingkungan tempat kita hidup bersama.
Puisi sejak awal merupakan metode katarsis, bagi saya ia satu langkah lebih dekat pada wahyu; karena ilham suara-suara yang didengarnya terhimpun setelah pengamatan-pengamatan atas fenomena, dan dalam beberapa hal, suara-suara itu mampu menyingkapkan atas apa dan yang akan terjadi.
Maka kebenarannya tidak diukur oleh ukuran empirik sebagaimana sains, ia berada di jantung realitas metaforik yang di era sebelum modern telahdigunakan sebagai metode efektif (otoritas) penyingkap pesan dan kebenaran. Di dunia kini, otoritas itu sudah menjadi igauan usang yang disebut mitos.
Barangkali kekuatan mitos itulah yang hilang dan menjadi persoalan manusia hari ini; karena ia bukan sebatas untuk dimengerti tapi diakrabi, dan dihormati. Dan poin ini pula yang menjadi penekanan Karen Asmtrong dalam karya bukunya Sacred Nature, yaitu penghormatan pada alam.
Antologi puisi Kemarau di Surga barangkali mewakili katarsis untuk menyingkap realitas metaforik itu, ia bisa saja ditelaah dengan data-data sebagaimana laporan-laporan dari Walhi yang terlampir dalam antologi puisi ekologi ini, namun lebih dari itu, Kemarau di Surga pada akhirnya ingin berpesan bahwa suara-suara yang terhimpun merupakan suara kebenaran di jantung persoalan lingkungan abad ini.
Mohamad Hagie,
Terpopuler
1
Tragedi Kebakaran di Pesantren Darul Qur’an Cimalaka: Kiai Cecep Ceritakan Detik-Detik Kejadian
2
Rais Syuriyah MWCNU Indihiang Ajak Tebar Salam dan Perkuat Ukhuwah
3
Jangan Takut Ombak Besar, Jika Kita Bisa Menjadi Karang
4
Innalillahi, Kebakaran Guncang Pesantren Darul Qur'an Cimalaka Sumedang
5
Pasca Konfercab, Ketua PCNU Kabupaten Bogor Terpilih Sambangi KH M Zein Zarnuji di Pesantren Raudhatul Hikam
6
RMINU Kota Bekasi Resmi Dilantik, Pesantren Didorong Jadi Basis Peradaban Nusantara
Terkini
Lihat Semua