Kuluwung

Filosofi Tritangtu Sunda tentang Tuhan dan Alam Semesta

Ahad, 8 Desember 2024 | 12:22 WIB

Filosofi Tritangtu Sunda tentang Tuhan dan Alam Semesta

Filosofi Tritangtu Sunda tentang Tuhan dan Alam Semesta. (Foto: koleksi digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Mengkaji filsafat, kita akan masuk pada pembahasan yang sedikit sangat rumit. Mengapa demikian? Sebab filsafat dipahami sebagai satu usaha untuk mencari jawaban yang hakiki dari segala yang ada dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, dalam memahami filsafat, maka dibutuhkan sebuah kecerdasan intelektual yang tinggi, nalar yang logis dan kritis, serta tidak minim referensi. 


Tak sedikit pula, ketika hendak menemukan satu kebenaran yang hakiki dalam satu permasalahan, para filosof (pelaku filsafat) selalu mendahuluinya dengan satu perenungan batin yang begitu matang, sempurna, dan tidak main-main. Sejenis kontemplasi atau tirakat sebagaimana lazimnya dalam dunia tasawuf. 


Inti dari filsafat adalah menyoal kebenaran  hakiki dan mutlak dari segala sesuatu yang ada ini. Namun, mengingat permasalahan dalam filsafat ini beragam, kadang dalam realitanya dalam satu permasalahan terdapat beberapa perbedaan, namun intinya tetap sama. Seperti yang akan saya singgung terkait dengan filosofi Tritangtu Sunda, hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. 


Jakob Sumardjo dalam Struktur Filosofis Artefak Sunda (Kelir, 2019) menyebut asal usul penamaan Tritangtu Sunda. Sebutan Tritangtu pertama kali disebut dalam naskah Sunda lama, Sang Hyang Siksakandang Karesian (1518) pada lempir 26, dengan bunyi "Ini Tritangtu di Bumi, Bayu pinahka prebu, sabda pinahka rama, hedap pinahka resi" (inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi).


Ungkapan di atas (bayu, sabda, hedap) dalam bahasa Sunda sekarang dipahami sebagai lampah, ucap, dan tekad. Setiap manusia pada dasarnya memiliki tiga hal itu, yakni tekad/keinginan/kehendak, ucap/pikiran, dan lampah/tindakan. Kalau seseorang melakukan, tentu mempunyai tujuan atau keinginan, dan tindakan itu dilakukan setelah dipikirkannya. Dengan demikian tekad-ucap-lampah adalah tiga potensi manusia yang merupakan satu kesatuan untuk menandakan bahwa dia itu hidup, ada. 


Selanjutnya, dalam naskah tua Sunda (Sewaka Darma) bayu-sabda-hedap atau lampah-ucap-tekad dipahami sebagai sesuatu yang hidup atau sang hyang hurip. Itulah sebabnya segala sesuatu dalam Sunda selalu dibagi melalui tiga ketentuan agar segala sesuatu itu hurip dalam artian selamat, sehat, sejahtera, dempurna, baik dan benar. 


Arti dasar atau hakikat Tritangtu adalah kesatuan tiga: tekad-ucap-lampah. Pikiran ini dipegang teguh oleh masyarakat Sunda masa lampau yang kemudian bertahan kini dalam perilaku masyarakat Kanekes (Sunda Baduy) melalui beberapa mitologinya seperti yang Soeria Sapoetra (1950) sebutkan. 


Sebelum keberadaan ini terwujud, yang ada adalah suwung, awang-awang uwung-uwungan, kosong. Dari suwung itu kemudian muncul keberadaan (alam semesta) berasal dari tiga sifat: hedap/kehendak-bayu/tenaga-sabda/ucapan/pikiran. Dalam mitologi Sunda ketiga sifat ini disebut dengan Batara: Batara Kersa-Batara Kawasa-Batara Bima Mahakarana. Ketiga Batara ini kemudian menyatu menjadi Batara Tunggal. Dari Batara Tunggal, segala sesuatu ada. 


Suwung bersifat metafisik. Dalam kitab Jatiraga dari Galuh, alam Suwung itu dihuni oleh Si Ijunajati Nistemen. Yang menempati Suwung juga dikenal dalam masyarakat Jawa (Sang Hyang Wisesa). Sementara dalam adat Tambo Minangkabau, Suwung itu disebut awang gumawang. Artinya tetap sama, kosong. 


Tritangtu: tekad-ucap-lampah atau Karsa-Kawasa-Mahakarana merupakan hasil dari manifestasi atau aktualisasi Suwung atau keberadaan yang sama sekali tidak dikenal  manusia. Dengan demikian ketiga sifat itu muncul dari sumber Ada itu sendiri yang dikatakan Suwung tadi. Dengan kata lain, cara yang Suwung (Ada) itu, agar bisa dikenal maka bermanifes melalui tiga sifat itu. 


Urusan sebab atau kausalitas Tritangtu berbeda-beda dalam tiga kategori. Pertama, urusan lampah-ucap-tekad dalam kitab Jatiraga. Si Ijunajati Nistemen yang bersemayam di alam Suwung jika hendak menyatakan dirinya kepada manusia selalu melalui perantara (dewa) dengan pilihan diksi kata-kata: aing enya Eta inya aing (aku adalah Dia sebagai aku) yang didahului dengan kata-kata Lampahku, Ucapku, Tekadku. Ini artinya manusia hanya dapat mengenal Dia (Eta) melalui lampah atau tindakan, yaitu melalui adanya semua yang diciptakan Dia. Dengan demikian alam ini merupakan hasil dari Lampahnya, sehingga manusia dapat mengenal atau menafsirkan Ucap atau Pikiran-Nya dan Tekad atau Kehendak-Nya. 


Sementara untuk kategori kedua, urutannya berupa Tekad-Lampah-Ucap yang berlaku bagi sesuatu yang bersifat rohani atau sesuatu yang sempurna. Manusia yang sempurna, kampung yang sempurna, negara yang sempurna adalah yang diinginkannya (tekad) langsung jadi kenyataan (lampah), baru dapat dimengerti mengapa dapat terjadi  seperti itu (ucap, pikiran). 


Kategori ketiga adalah urusan Tekad-Ucap-Lampah yang berlaku bagi manusia biasa. Semua yang diinginkan manusia merupakan tekad. Baru menjadi kenyataan (lampah) jika di dahului oleh pemikiran (ucap). Itulah sebabnya setiap lampah manusia dan hasil lampahnya dapat terkuak pikiran dan keinginan (tekad) dibaliknya. 


Bilangan tiga Tekad-Ucap-Lampah mengandung dua ketentuan yang kontradiksi atau berlawanan, yaitu keinginan (tekad) yang imateri berlawanan dengan kenyataan  (lampah) yang materi. Keinginan bukan kenyataan, keinginan baru menjadi kenyataan kalau telah dipikirkan bagaimana keinginan dapat diwujudkan. Dengan demikian, pikiran atau ucapan menjadi penengah atau penyambung. Pikiran berhubungan dengan keinginan, sedang tindakan kenyataan berhubungan dengan pemikiran. Jadi pemikiran lah yang kemudian disebut sebagai siger tengah atau sineger tengah. 


Catatan: (1) Si Ijunajati Nistemen yang berada di alam Suwung, jika dalam Islam sama halnya dengan redaksi ayat "Allah bersemayam di atas Arsy. Hal ini harus dipahami bukan dalam artian Si Ijunajati Nistemen berada dalam satu tempat. Hanya untuk mempermudah pemahaman nalar manusia saja, maka dianalogikan bertempat. Sebenarnya, Si Ijunajati Nistemen tidak bertempat sebagaimana halnya Allah tidak bertempat dalam pemahaman Islam. 


(2) Si Ijunajati Nistemen yang bersemayam di alam Suwung jika hendak menyatakan dirinya kepada manusia selalu melalui perantara (dewa) dengan pilihan diksi kata-kata: aing enya Eta inya aing (aku adalah Dia sebagai aku) yang didahului dengan kata-kata Lampahku, Ucapku, Tekadku. Diksi  aing enya Eta inya aing (aku adalah Dia sebagai aku) sama halnya dengan ayat La Ilaha illa anta, La ilaha illa ana, dan La ilaha illa hu dalam pandangan Islam. Sementara diksi 'jika hendak menyatakan dirinya kepada manusia selalu melalui perantara (dewa), dewa disini sama halnya dengan malaikat. Adapun 'alam ini merupakan hasil dari Lampahnya, sama halnya dengan firman Allah Kun fayakun (Jika Dia berkehendak, maka cukup dengan berucap 'jadilah). 


(3) Batara Tunggal, Si Ijunajati Nistemen yaitu Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yakni Allah SWT.


Wallahu'alam 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik. Juga penikmat kajian filsafat.