Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Setiap bangunan, apapun jenis dan bentuknya tentu memiliki fungsi dan kegunaannya masing-masing. Misalnya, bangunan masjid berfungsi sebagai tempat beribadah bagi pemeluk agama Islam. Selain itu juga, masjid sering dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya bermanfaat yang sesuai dengan peruntukkannya.
Dalam pembuatan masjid, memang tidak ada aturan baku terkait dengan wujud dan bentuk bangunan yang harus dipilih. Bentuk dan wujud masjid biasanya disesuaikan dengan kreasi masyarakat yang mendiaminya. Yang terpenting, bahwa keberadaan sebuah masjid harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi para penggunanya. Mengingat masjid juga merupakan tempat yang sakral, maka ia pun harus bebas dari hal-hal yang kiranya dapat menganggu kesakralannya.
Setiap daerah mempunyai kekhasan dalam bangunan masjid, baik dalam bentuk rupa, wujud, fungsi, maupun maknanya. Misalnya di Sunda, ada bangunan masjid yang atap gentingnya bertingkat tiga. Saya lebih nyaman menyebutnya dengan berkuncup tiga.
Mengapa kuncup? Karena kuncup merupakan representasi dari nalar masyarakat primordial Nusantara yang hidupnya bergantung pada budaya ladang, sungai, maupun laut. Berbeda halnya dengan negara lain yang yang tidak mengenal budaya demikian. Misalnya, di negara kawasan gurun (semenanjung Arab, Afrika, timur tengah dan sekitarnya) yang hidupnya tidak mengandalkan pada pasokan air (sungai, hujan, maupun laut), dengan curah hujan yang rendah, maka bangunan berkuncup akan sulit ditemui, bahkan hampir tidak akan ada.
Lalu apa makna bangunan masjid di Sunda kebanyakan berkuncup tiga, tidak empat, tujuh atau yang lainnya. Fenomena ini harus dikembalikan pada nalar primordial masyarakat Sunda sendiri. Masyarakat primordial Sunda selalu memandang segala sesuatu yang ada di dunia ini terbangun dari tiga struktur keadaan. Semua laku budaya orang Sunda, baik dalam hal kepercayaan, ritual, makanan, seni, hingga pandangannya terhadap alam semesta selalu dibangun dengan tiga struktur. Jakob Sumardjo (2015) menyebutnya dengan istilah Tritangtu.
Begitupun bangunan masjid berkuncup tiga di Sunda bermakna Tritangtu, meskipun pada tempat lain bermakna Islam. Tritangtu yang dimaksud adalah Tritangtu alam sebagaimana Agus Aris Munandar (2011) sebutkan. Sifat alam semesta dalam pandangan Sunda kuno dibagi tiga, yaitu (1) sakala (tampak/nyata); (2) sakala-niskala (tampak-maya); dan (3) niskala (maya).
Dalam alam sakala, dzat adikodrati menampakkan diri secara nyata melalui emanansinya. Dalam alam sakala-niskala, dzat adikodrati bisa menampakan diri, juga bisa tidak. Sementara dalam alam niskala, dzat adikodrati tidak akan pernah menampakkan dirinya, karena ia tidak bisa terindera.
Harus dipahami juga bahwa orang Sunda primordial memaknai setiap bangunan terdiri dari tiga ruang: bawah, tengah, dan atas. Ruang bawah adalah dunia bumi. Dalam hal ini rumah orang Sunda selalu ada ruang kosong di bawah (kolong), biasanya gelap. Jika gelap maka bermakna hitam. Ruang tengah rumah bersifat terang, kadang digelapkan (terang:gelap/putih:hitam) sebagai ruang dunia manusia, tempat para anggota keluarga berkumpul. Sementara ruang atas adalah dunia langit, ruang metafisika. Oleh karenanya itu sering disebut lalangit yang biasa berwarna putih/terang. Di atas lalangit ada ruang kosong bersifat gelap, hitam. Ruang ini bersifat sakral, tidak sembarangan orang bisa masuk, jikapun harus dimasuki, terlebih dulu harus disertai dengan laku lampah tertentu.
Dengan demikian, bangunan rumah orang Sunda dapat dipetakan dengan Tritangtu: bawah-tengah-atas; gelap-terang/gelap-terang; hitam-putih/hitam-putih; bumi-manusia-metafisik; dan makrokosmos-mikrokosmos-metakosmos. Itulah sebabnya masjid di Sunda juga didesain dengan pola Tritangtu.
Namun masjid Sunda dengan pola Tritangtu hampir disemua tempat sudah mengalami degradasi, kecuali yang masih mempertahankan tradisi primordialnya. Dengan dalih Islamisasi, bangunannya kini dikubahkan, padahal jika ditelusuri lebih jauh, kubah sendiri bukan merupakan tradisi asli Islam, melainkan tradisi Nasrani, termasuk juga tradisi Hindu-Budha.
Tapi mengapa dalam realitanya masjid berkuncup tiga tersebar tidak hanya di Sunda saja, misalnya juga di Jawa, padahal di luar Sunda tidak dikenal Tritangtu? Sebagai agama terakhir yang dipeluk masyarakat Sunda dan Jawa, tiga kuncup bermakna iman, islam, dan ihsan, sama halnya dengan tauhid/hakikat, syariat, dan makrifat/tasawuf. Tiga kuncup juga bermakna sebagai definisi iman dalam Islam yang selaras dengan pola kesatuan tiga (tritangtu). Iman diartikan sebagai tashdiqun bil qalbi wa iqrarun billisani wa amalun bil arkan (meyakini dengan hati/pikiran, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan). Aktualisasi iman dalam Islam merupakan manifes dari tiga unsur tritangtu: tekad (hati/pikiran)-ucap (lisan)-lampah (perbuatan).
Namun sayang, keberadaan masjid berkuncup tiga baik di Sunda maupun di Jawa sedikit demi sedikit sudah mulai terkikis. Padahal, jika ditelusuri hal itu mempunyai makna yang sangat mendalam. Masjid berkuncup tiga tidak saja merepresentasikan budaya primordial pemiliknya, namun juga bagian dari sejarah peradaban Islam di Nusantara. Masjid berkuncup tiga mengingatkan kepada kita akan pentingnya memahami perjalanan agama Islam mampu membumi dengan mudah di negeri ini.
Wallahu'alam
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik juga sebagai penikmat kajian filsafat Sunda.
Terpopuler
1
Keutamaan Bulan Sya’ban dan Nisfu Syaban dalam Hadits Nabi
2
PCNU bersama Pemkot, ATR/BPN, dan Kemenag Launching Menuju Bandung Kota Wakaf dan Pelaksanaan Wakaf Hijau
3
Inilah Sejumlah Agenda Haul Masyayikh Pesantren Sunanulhuda 2025
4
Innalillahi, Mustasyar PCNU Cianjur KH R Abdul Halim Meninggal Dunia
5
Tiga Pemain Keturunan Resmi Jadi WNI: Amunisi Baru Perkuat Timnas Indonesia
6
Peralihan Arah Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah Terjadi di Bulan Syaban
Terkini
Lihat Semua