• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 18 April 2024

Hikmah

Kolom KH Zakky Mubarak

Tiga Macam Benih yang Dapat Merusak Manusia

Tiga Macam Benih yang Dapat Merusak Manusia
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Oleh: KH Zakky Mubarak
Kerusakan dan kehinaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, disebabkan berbagai tindakan yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu, baik secara perorangan maupun kelompok. Benih-benih yang menimbulkan kerusakan itu, antara lain ada tiga macam yang harus diwaspadai oleh setiap orang, yaitu: (1) Hawa nafsu yang tidak terkendali, (2) Bakhil yang melampui batas dan (3) mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Tiga sifat tersebut di atas selalu mengintai umat manusia apabila bersikap lengah dan tidak hati-hati.

Nafsu yang Tidak Terkendali
Sebagian dari penyebab hancurnya kehidupan seseorang adalah disebabkan ia tidak dapat mengendalikan nafsunya, sehingga ia sering melakukan aktivitas secara membabi buta. Manusia apabila akalnya tidak lagi dapat mengendalikan nafsunya, maka akan jatuh derajatnya ke tempat yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari hewan sekalipun. Manusia yang hanya memperturutkan hawa nafsunya justru akan mempergunakan akal yang dimilikinya untuk berbuat keruasakan dan kehancuran di muka bumi.

Kerusakan yang ditimbulkannya itu jauh lebih berat dan berbahaya dari kerusakan yang ditimbulkan makhluk lain.

Dengan nafsu yang tidak terkendali tersebut, manusia akan bertindak semena-mena tanpa mengindahkan kepentingan-kepentingan makhluk lain. Sikap seperti ini, pasti akan menimbulkan kerusakan yang besar di tengah-tengah masyarakat, dan menimbulkan kerusakan bagi dirinya sendiri. Kehancuran yang terjadi di bumi dari masa ke masa karena ulah tangan-tangan manusia. Kerusakan di darat, laut dan pencemaran di udara tidak dapat dielakkan lagi apabila manusia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya.

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ  

”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Rum, 30: 41).

Kikir yang Melampui Batas
Sifat bakhil atau kikir adalah perangai yang sangat tercela yaitu enggan memberikan pertolongan pada orang lain, meskipun ia dapat melakukan hal itu. Ia tidak terdorong sedikitpun untuk membantu orang lain, padahal orang itu menderita dan memerlukan bantuannya. Dalam masyarakat diketahui adannya dua kelompok manusia ada yang kaya dan ada yang miskin, baik dibidang materi, ilmu atau pengalaman. Mereka yang kaya memiliki kelebihan-kelebihan dan mampu untuk memberikan bantuannya dan mereka yang miskin menderita kekurangan dan memerlukan pertolongan.

Ajaran Islam mengarahkan umatnya agar mereka yang kaya, memiliki kelebihan hendaknya membantu mereka yang miskin dan menderita, baik di bidang materi, ilmu atau pengalaman dan kelebihan-kelebihan lain. Dengan cara tersebut, diharapkan terjadi hubungan yang baik di tengah-tengah masyarakat, hubungan antara mereka yang berkelebihan dan mereka yang menderita dan kekurangan. Dengan hubungan baik itu akan dapat menghindari kesenjangan sosial dan gap atau jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Allah SWT telah mengaruniai manusia dengan kekayaan, ilmu dan pengalaman, karunia itu merupakan amanah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dan diberikan kepada mereka yang membutuhkannya. Mereka yang bersifat kikir terhadap apa yang dimilikinya baik harta, ilmu, pengalaman atau tenaga, diperingatkan oleh al-Qur’an dengan peringatan yang keras:

وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرٗا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرّٞ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ وَلِلَّهِ مِيرَٰثُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Imran, 3: 180).

Terlampau Mengagumi Diri-Sendiri
Manusia muslim selayaknya bersyukur terhadap berbagai karunia yang agung yang diberikan Allah s.w.t., namun demikian tidak boleh angkuh atau mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Orang yang terlampau mengagumi diri-sendiri dalam istilah agama disebut “ujub”, yaitu seseorang yang merasa lebih baik dari orang lain, lebih banyak memiliki ilmu, lebih bermanfaat, lebih kaya dan sebagainya. Orang yang digerogoti penyakit itu tidak mengetahui dan menyadari kekurangan-kekurangan dirinya. Ia tidak mau diberi nasihat, menolak segala kritik, enggan bertanya kepada orang lain dan menolak kebenaran.

Menurut analisis Imam al-Ghazali, yang menyebabkan timbulnya sikap ujub atau mengagumi diri sendiri pada seseorang, ada tujuh macam, yaitu: (1) Merasa paling bagus, (2) Merasa paling berkuasa, (3) Merasa lebih pandai dari yang lain, (4) Merasa berdarah bangsawan, (5) Merasa paling berjasa, (6) Merasa paling kaya dan (7) Merasa bahwa pendapatnya paling benar. Tujuh macam penyakit di atas, apabila menghinggapi seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa tertentu, pasti akan menimbulkan kerusakan yang dahsyat di muka bumi.

Sikap angkuh dan ujub sangat dicela dalam agama Islam, karena ia akan mengantarkan umat manusia pada kebinasaan dan kehancuran.

وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ  

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman, 31: 18).

Di dalam beberapa hadis Nabi, banyak juga disebutkan larangan bersikap angkuh, diantaranya:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ (رواه مسلم)

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun seberat biji sawi”. (HR. Muslim, No. 131).

Dalam hadis lain, Nabi menjelaskan:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ جَوَّاظٍ زَنِيمٍ مُتَكَبِّرٍ (رواه البخاري ومسلم)

“Tidakkah aku beritauhukan kepadamu tentang para ahli neraka, yaitu orang yang kejam, rakus dan sombong”. (HR. Bukhari, No. 4534, Muslim, No. 5093).

 Agama Islam senantiasa menganjurkan umat manusia agar bersikap tawaddlu atau rendah hati dan memiliki akhlak yang mulia.

Sumber: FB Zakky Mubarak Syamrakh


Hikmah Terbaru