• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 18 Mei 2024

Hikmah

KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Selimuti Aku: Kisah Romantisme Semesta

Selimuti Aku: Kisah Romantisme Semesta
(Ilustrasi: NU online).
(Ilustrasi: NU online).

Usiaku lebih tua darinya. Terpaut 15 tahun. Saat aku berusia 40 tahun, dia berusia 25 tahun. Tapi cinta telah menyatukan kami. Dia perjaka dan aku janda. Dia bekerja untuk bisnis perdaganganku. Itulah awal mula aku mengenal pribadi agung yang jujur, amanah, dan anehnya selalu memalingkan wajahnya jika melihat berhala di depannya.


Aku tahu kisahnya. Sejak kecil sudah ditinggal wafat kedua orangtuanya. Boleh jadi, itu sebabnya dia merasa nyaman bersamaku, perempuan matang dan mandiri. 


Aku tak pernah lupa kejadian malam di bulan Ramadan itu. Kami sudah menikah selama 15 tahun. Aku merasakan berhari-hari kegelisahannya atas rusaknya masyarakat Arab. Suamiku ini memilih menepi menyendiri di sebuah gua, di atas bukit. Ku siapkan bekal untuknya. Kadang cuma semalam, dan seringpula bermalam-malam dia baru pulang. Tapi malam itu sungguh berbeda. 


Tiba-tiba suamiku pulang dengan wajah yang berbeda. Tubuhnya gemetaran dan berkeringat. Aku tenangkan hatinya. Malam itu ku rasakan aura wajah suamiku sungguh begitu teduh. Seolah alam raya ini tunduk bersimpuh menanti limpahan cahaya cintanya.


Aku tatap matanya. Bening, tajam, dan begitu dalam, seolah aku melihat dunia dengan segala isinya. Tanpa berkata apapun, aku tahu sesuatu telah terjadi. Matanya telah melihat dan menerima sesuatu yang tak pernah manusia Arab lain mengalaminya.


Suamiku yang kini berusia 40 tahun ini mulai bercerita. Aku simak tanpa menyela. Ku usap keringat di dahinya. 


Tapi sebentar. Mari kita bicara sebagai sesama perempuan. Apa yang akan kalian lakukan jika ada di posisiku? Dunia sedang tidak baik-baik saja. Pasanganmu gelisah. Dan tiba-tiba mengaku didatangi malaikat. 


Terbayang tidak, bagaimana satu kampung akan menertawakan keluarga kami. Bisnisku akan jatuh. Siapa yang mau berdagang  dengan orang yang kini akan dianggap gila dan halu.


Tapi aku katakan padanya aku percaya dengan semua ceritanya. Ku genggam tangannya. Dia tak minta aku percaya atau mendukungnya. Dia tak perlu lakukan itu, dia tahu aku akan selalu mendukungnya. 


Dia cuma minta ini:


“Selimuti aku,” pintanya.


Selimut adalah simbol proteksi, rasa aman dan nyaman. Sekaligus intimasi.


Dan saat dia rebahkan kepalanya di pelukanku di dalam selimut itu, ku bisikkan: “Tuhan tak akan menghinakan pribadi seperti dirimu yang gemar silaturahmi, menolong orang dan menghormati tamu.”


Sejak malam itu, aku tahu, amanah berat telah diletakkan di dadanya. Dia bukan lagi milikku semata. Dia telah menjadi milik semesta alam. Aku sadar bahwa akan banyak yang memusuhi dan membencinya. Hidup kami sungguh telah berubah sejak malam itu. 


Ketika satu dunia membantah dan mencemoohnya, ku bulatkan tekad bahwa aku akan menjadi orang pertama yang percaya padanya. 


Dan aku akan menjadi tempatnya yang pertama menuangkan segala keluh kesah jikalau semua penduduk dunia menjauhinya. 


Suamiku, Bojoku, Nabiku, 
shalawat dan salam untukmu, 
dari aku istrimu. 


KH Nadirsyah Hosen,  salah seorang Dosen Senior Monash Law School


Hikmah Terbaru