• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Hikmah

Seekor Anjing dan Kisah Pelacur yang Masuk Surga

Seekor Anjing dan Kisah Pelacur yang Masuk Surga
Seekor Anjing dan Kisah Pelacur yang Masuk Surga
Seekor Anjing dan Kisah Pelacur yang Masuk Surga

Rahmat Allah meliputi semua makhluk ciptaanya, kasih sayang Allah meliputi semua ciptaannya, tidak ada yang luput dari rahmat dasih sayang Allah, semua makhluk hidup dirahmatinya, sekalipun itu hewan yang nazis, hewan yang haram, dan manusia yang tidak beriman sekalipun. 

 

Orang yang taat menjalankan perintah dan taat menjauhi larangan Allah dengan kesadaran dan niat ta’abud merupakan definisi dari orang yang bertaqwa. Dan orang bertaqwa sudah jelas akan mendapatkan ridhonya Allah, dan jika Allah telah ridho kepada hambanya, maka Allah akan menyayangi dan merahmatinya.

 

Orang yang bertaqwa sudah jelas akan mendapatkan rahmatnya Allah, namun orang-orang yang dilatar belakangi dengan masa lalu yang pahit, terjerumus pada lembah dosa yang besar juga masih punya kesempatan mendapatkan rahmatnya Allah, karena Allah maha pengampun dan maha penyayang. Ampunan Allah terbuka lebar dan luas, namun bukan berarti luasnya ampunan Allah untuk dijadikan sebagai pijakan untuk terus berbuat munkar. Luasnya dan terbukanya ampunan Allah harus dijadikan kesempatan bagi setiap insan, mumpung masih terbuka dan segeralah bertaubat sebelum pintu ampunan itu ditutup.

 

Setiap hamba punya masa lalunya masing-masing, setiap hamba juga tidak luput dari dosa, baik besar maupun kecil atas perbuatannya masing-masing. Pelacur, penzina, pembunuh, dan perbuatan dosa besar lainnya masih punya kesempatan untuk mendapatkan rahmat dan ampunan Allah Swt. seperti kisah pelacur yang masuk surga atas keikhlasannya dalam menolong seekor Anjing yang kehausan.

 

Dikisahkan dari hadis Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ

 

“Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah” (HR. Al Bukhari no.3321, Muslim no.2245).


istilah al muumisah dalam hadis, disebutkan maknanya dalam Lisaanul Arab,

 

وامرأَةٌ مُومِسٌ ومُومِسَةٌ: فاجرة زانية تميل لمُرِيدِها

 

“Wanita muumis atau muumisah artinya: wanita ahli maksiat, pezina, yang menggoda orang-orang yang menginginkannya.”

 

Namun dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,


بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

 

“Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya lalu keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya” (HR. Al Bukhari no.6009, Muslim no.2244).


Dua hadis di atas menyebutkan peristiwa yang hampir sama, namun pelakunya berbeda. Tidak berarti hadis-hadis ini mudhtharib (inkonsisten), karena bisa jadi kedua hadis ini memang menyebutkan dua kejadian yang berbeda tempat, waktu, dan pelakunya.

 

Dan dua hadis tersebut diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim dalam Shahih Muslim. Maka kedua hadis ini sahih.


Hikmah dari kisah tersebut, seburuk apapun masa lalumu, sebesar apapun dosa yang telah diberbuat olehmu, janganlah putus asa dan merasa sangat hina, percayalah ampunan Allah itu nyata terbuka, asalkan mau bertaubat dan tutupi perbuatannya dengan perbuatan yang baik serta ikhlas dalam menjalankannya.

 

Di dalam memperlakukan hamba-Nya, seburuk apapun dia, Allah mendahulukan sifat rahmatnya dari murkanya. Sebab itu, Allah tidak pernah bosan memberi ampun kepada hambanya yang telah bermaksiat. Bahkan ketika seorang hamba itu berulang kali bersalah dan berulang kali pula bertaubat. Allah menyatakan Dia tidak akan pernah bosan menerima taubat hambanya, sampai hamba tersebut yang bosan bertaubat. 


Karena sifat kasih sayang ini adalah sifat Allah yang paling banyak diperintahkan untuk disebut dan diingat, maka manusia pun diperintahkan untuk berkasih sayang terhadap semua makhluk Allah.  Banyak hadis yang mengingatkan kita tentang pentingnya memiliki sifat rahmat ini. Di antaranya sabda Rasulullah saw:

 

 من لا يرحم الناسَ لا يرحمهُ الله 

 

“Siapa yang tidak menyayangi manusia, tidak akan disayang Allah." (HR. al-Thabarani) 

 

Hadis ini bahkan tidak menyebut manusia yang beriman saja, tetapi manusia secara keseluruhan. Ada redaksi hadis lain yang tidak menyebutkan maf’ul atau obyek kasih sayang sehingga Rasulullah saw hanya mengatakan bahwa siapa yang tidak berkasih sayang, maka dia juga tidak akan dirahmati. Ada pula hadis lain yang menyatakan bahwa barang siapa tidak menyayangi penduduk bumi, maka ia tidak akan disayangi oleh yang di langit.


Editor: Abdul Manap
Artikel ini diolah dari berbagai sumber di website NU Online


Hikmah Terbaru