• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Hikmah

Muktamar Lampung

Registrasi Muktamar

Registrasi Muktamar
Fariz Alnizar, Koordinator Sekretariat Muktamar ke-34 NU. (Foto: Fuad N Iman).
Fariz Alnizar, Koordinator Sekretariat Muktamar ke-34 NU. (Foto: Fuad N Iman).

Oleh: Fariz Alnizar
Mata saya terbelalak ketika sebuah kertas berkepala surat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu dibentangkan tepat di muka saya. Dua biji bola mata saya hampir saja mencolot. Lamat-lamat saya membaca kertas berukuran A4 itu. Mengeja huruf demi huruf: persis dan tidak salah, itu adalah nama saya. 

 

Sembari menarik napas dari kedalaman dada, saya tidak ingat persis apa yang ada di benak saya saat itu kecuali kerisauan, kecemasan, dan kegugupan. 

 

Menjadi koordinator kesekretariatan Muktamar jelas bukan cita-cita saya. Meski—berdasar cerita tutur yang saya dengar—posisi ini adalah posisi strategis, bergengsi, dan diidamkan-idamkan oleh banyak orang.  Apa boleh dikalam. Surat Keputusan itu sudah diteken. Tidak ada celah untuk berdiskusi. Tidak ada ruang untuk sekadar bernegosiasi. 

 

Seorang kawan bertanya serius: “apa yang membuatmu risau?” Jawaban saya tegas: Sistem Registrasi. 

 

Muktamar Jombang enam tahun lalu adalah Muktamar yang memiliki catatan kelam. Selain perdebatan yang memanas dan ricuh, registrasi yang gagal juga menjadi kenangan nomor wahid. 

 

Di ujung senja yang nyaris berwarna jingga, beberapa pria sepuh memanggil saya. Mereka meminta saya untuk berkonsentrasi—utamanya—bagaimana agar registrasi peserta Muktamar berjalan dengan baik, lancar, dan tidak ricuh. 

 

Tidak banyak yang bisa saya jelaskan sore itu. Saya hanya berpikir keras bahwa dengan pertimbangan menjaga protokol kesehatan dan sekaligus mentransformasi digitalisasi di tubuh organisasi yang akan lepas landas di Abad Kedua ini, tidak ada pilihan lain kecuali registrasi dilakukan secara daring. 

 

Ini bukan persoalan mudah. Tantangannya tak berbilang. Mulai dari yang teknis, substantif, sampai yang bersifat politis: lengkap. 

 

Secara teknis membangun sistem registrasi daring dengan waktu tidak kurang dari enam puluh hari adalah pekerjaan mustahil. Untungnya saya dibantu kawan-kawan IT yang trengginas, ulet, dan cekatan. Secara substantif, karena kesekretariatan Muktamar baru terbentuk, maka perlu rancang bangun budaya kerja. Ini tidak mudah. Sebab membangun tim kerja tak semudah membangun candi Prambanan. 

 

Secara politis, dinamika kandidasi Muktamar 34 NU juga berimbas pada arsitektur sistem registrasi yang kami rancang (satu-satunya kesedihan saya di Muktamar 34 NU ini adalah isu kandidasi jauh lebih riuh dan gaduh dibandingkan isu program, keputusan, dan gagasan menuju Abad Kedua NU). 

 

Beberapa tim kami mendapat “teror”. Banyak broadcast bertebaran, bahkan beberapa surat resmi kami terima. Intinya cuma satu: menolak sistem registrasi daring. Alasannya mengada-ada: takut kendala signal, takut data disabotase, tidak aman, tidak terbuka dan lain sebagainya. 

 

Di satu sisi, ketika kami harus berhadapan dengan tsunami isu dari beberapa pengurus wilayah, di Pusat kami terombang-ambing oleh keputusan maju mundur pelaksanaan Muktamar 34 NU. Sayangnya, kami tidak pernah didengarkan oleh “langit”. 

 

Saya masih ingat dan saya menjadi salah satu pihak yang terlibat, di saat kami harus bertungkus lumus untuk melakukan sosialisasi registrasi daring kepada cabang dan wilayah, seorang pengurus Wilayah dengan serius berucap: undangan resmi  PBNU belum keluar, kok panitia lancang melakukan sosialisasi tata cara registrasi. 

 

Ginjal saya teriris-iris. Saya ingin mengabarkan kepada seluruh makhluk di galaksi ini bahwa surat undangan yang ditunggu-tunggu, yang tak kunjung bisa kami sebarkan itu, nyatanya memang alot. Semalaman saya nge-draf surat itu. Pagi buta saya mintakan tanda tangan Tanfidziyah, sore hari dibawa petugas untuk dimintakan tanda tangan Syuriah. 

 

Malang nasib tak bisa ditolak. Surat itu sampai ke tangan saya dengan konsep yang sama sekali berbeda. Isinya: mengajak peserta Muktamar untuk melalukan pendaftaran secara luring. Surat itu turun dari “langit” lengkap dengan dua tanda tangan Syuriyah, sementara tanda tangan Tanfidziyah masih dibiarkan kosong. Artinya: draf yang kami susun dibuang dan diganti dengan draf baru (cerita lengkap soal ini, kapan waktu saja saya sampaikan dan sebaiknya tidak di sini). 

 

Saya harus memutar otak. Mengubah strategi dan mengambil jalan keluar. Rute awal rancangan kami: registrasi daring rampung empat hari sebelum pembukaan Muktamar. Data untuk ID peserta dan panitia kami kirim ke percetakan di Jakarta dan kami berangkat dengan ID yang sudah tercetak. Di Lampung, kami hanya melakukan verifikasi kepesertaan dan membagikan ID peserta dan panitia.

 

Semua berubah. Kami harus menempuh rute lain. Sebab surat Undangan Paserta Muktamar yang turun dari “langit” itu mengatakan bahwa Peserta Muktamar 34 NU paling lambat dapat melakukan registrasi tanggal 21 Desember 2021 pukul 23.00 WIB. Artinya, tengah malam sebelum pembukaan Muktamar, sangat mungkin masih ada peserta yang melakukan registrasi. Mau tidak mau, suka tidak suka: kami harus mencetak ID peserta di lokasi registrasi. Padahal ini adalah hal yang coba kami hindari sejak awal merancang bangun sistem registrasi ini. 

 

Di luar itu semua, kondisi semakin ruwet ketika kami harus berhadapan dengan oknum panitia yang mintanya selalu dilayani: terutama minta diregistrasikan. Anda tahu, jiwa feodal yang bercampur kemalasan adalah adonan pas untuk memantik pisuhan. 

 

Bayangkan: kami harus mendaftarkan mereka, meminta KTP, meminta alamat surel untuk mengirim notifikasi kode batang tanda kepesertaan. Ini adalah pekerjaan yang benar-benar menguras air mata. 

 

Tiga hari dua malam saya tidak sempat memejamkan mata. Pagi buta saya sudah dimarahi oleh peserta yang antre menumpuk di tenda registrasi. Semua saya terima dengan jawaban template: “Mohon maaf, Kiai.”

 

Sore sekira waktu mendekati candikala di hari kedua registrasi, seorang kawan mendekati saya: “Selamat! registrasi berjalan lancar. Sudah baca berita soal komentar Gus Ipul bahwa registrasi online ini gagal?” 

 

Saya senyum dan menggelengkan kepala.

 

Sambil menghela napas panjang saya bergumam lirih: “sistem registrasi ini bagus, hanya manusianya yang ndak dewasa dan belum siap.”

 

Saya bergegas meninggalkan dia. Menyalakan HT dan memberi aba-aba kepada anggota tim untuk segera menutup pelayanan registrasi di sore itu.

 

Begitulah. Saya bernudub semoga panjenengan sehat selalu. 

 

Kecuali itu semua: tidak ada hal lain yang membuat saya bertahan kecuali jimat dawuh Mbah Hasyim bahwa barang siapa yang mengurus NU akan dianggap sebagai santrinya dan akan didoakan husnul khotimah sampai anak cucunya. 

 

Amin. 

 

Penulis merupakan Koordinator Sekretariat Muktamar ke-34 NU


Hikmah Terbaru