Pada awal adanya, pesantren dimaksudkan sebagai institusi untuk mewujudkan visi profetik (kenabian). Ia adalah “memutus mata rantai penindasan manusia atas manusia, membebaskan manusia dari struktur social yang tiranik yang membodohi mereka, mengajarkan pengetahuan, menegakkan keadilan dan prinsip-prinsip Kemanusiaan”. Inilah yang dipesankan al-Qur’an :
“Aku turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an agar kamu membebaskan manusia dari kegelapan (kebodohan dan kezaliman) menuju cahaya (pengetahuan dan keadilan).
Dari sumber keagamaan paling otoritatif inilah, lalu para pendiri pesantren menanamkan sejumlah nilai kehidupan profetik bagi komunitanya. Ia antara lain adalah:
Kemandirian,
kebersamaan,
kebersahajaan
Keikhlasan dan
Pengabdian
Pendiri pondok pesantren “modern” Gontor; K.H. Imam Zarkasyi menyebut “Panca Jiwa”
Keikhlasan,
Kesederhanaan,
persaudaraan,
kemandirian dan
kebebasan.
Nilai-nilai di atas adalah karakter Pesantren yang harus selalu ada dan menyertai hidup dan kehidupan pesantren dan komunitasnya. Jika nilai-nilai ini hilang dari institusi keagamaan ini, maka ia telah kehilangan jati dirinya, kehilangan jiwanya.
Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya menulis mengenai tujuan pesantren sebagai berikut:
“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”.
Pengabdian kepada Tuhan mengandung makna meng-Esakan Tuhan dan berjuang untuk kemanusiaan.
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU