• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Hikmah

Kolom Buya Husein

Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (5)

Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (5)
(.Ilustrasi: NUO).
(.Ilustrasi: NUO).

Dalam kerangka gagasan di atas pula, Kiyai Sahal tampak merasa perlu untuk menggugat terma “illat” (causa/alasan logis) dalam teori  “Qiyas” (analogi) yang  seringkali hanya menghasilkan kesimpulan secara legal formal dan tidak substantive, dan boleh jadi tidak adil.

 

“Illat” dalam teori Imam al-Syafi’i dirumuskan sebagai : “Washf Zhahir Mundhabith” (indikator yang jelas dan terukur). Kiyai Sahal mencontohkan “Qashr Shalat” (shalat yang diringkas).  Ia dibolehkan. Illatnya adalah “safar” (bepergian) jauh (sekitar 85 km). Jika ini yang dijadikan ratio legisnya, maka akan bisa melahirkan ketidakadilan. Orang kaya yang bepergian naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya boleh meringkas jumlah raka’at shalat Zhuhur, Ashar dan Isya menjadi dua raka’at saja, dan dia juga boleh berbuka puasa. Sementara orang miskin yang bepergian naik sepeda ontel yang dari Menteng ke Ciputat, sekitar 30 km, tidak boleh qashar dan buka puasa.

 

”Masyaqqah” (kepayahan, lelah) tidak bisa dijadikan alasan, karena sangat relative dan tidak bisa diukur. Masyaqqah, menurut teori ini hanyalah hikmah/manfaat saja.

 

Kiyai Sahal mungkin gelisah dengan cara pandang legal formal seperti ini, meski sungguh-sungguh memahaminya. Beliau berharap agar faktor kemaslahatan menjadi pertimbangan. Beliau mengatakan : “Dari uraian di atas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeseran paradigm fiqh; yaitu pergeseran dari dari fiqh yang formalistic menjadi fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah ke dalam illat hukum”.(Fiqh Social, hlm. Xiix).

 

KH Husein Muhammad,Salah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru