• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Buku Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (2)

Buku Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (2)
Buku Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (2)
Buku Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (2)

Rekonsiliasi yang Berhasil
Apa yang paling menarik dari konten buku ini?. Syeikh al-Kurani melalui karyanya ini telah berhasil membagikan pikiran-pikirannya yang cemerlang dalam rangka mendamaikan dua kutub ekstrim pemikiran dan diskursus keagamaan : tubuh versus ruh, eksoterisme vs esoterisme, formalisme vs substansialisme, partikularisme vs universalisme,  dan terma sejenis lainnya, atau dalam bahasa pesantren : antara Syari’ah versus Haqiqat  (Fiqh vs Tasawuf), Muhkamat vs Mutasyabihat, Ahl al-Hadits vs Ahl al-Ra’y dan sebagainya. 


Perseteruan dua kutub ekstrim ini telah berlangsung dalam sejarah kaum muslimin di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu yang sangat panjang dan dalam situasi sengit sekaligus telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan yang sangat dahsyat dan tragis. Paling tidak lima tokoh legendaris yang sangat populer: Husein Manshur Al-Hallaj (857-922), ‘Ain Qudhat al-Hamdani (1099-1131) dan Suhrawardi al-Maqtul (1155-1191), Hamzah al-Fanshuri, dan Syeikh Siti Jenar, menjadi korban.


Melalui karya Magnum Opus, meminjam kata Azyumardi Azra, ini, Syeikh al-Kurani berusaha secara intelektual melakukan rekonsiliasi wacana keagamaan dengan menghimpun berbagai pikiran dari para sarjana (ulama) dalam sejumlah bidang yang terkait, baik yang setuju atas gagasan “Wahdah al-Wujud” (Kesatuan Eksistensi) maupun yang menyerangnya.


Upaya-upayanya dilakukan dengan cara-cara yang damai, dengan kejernihan pikiran dan tanpa emosi yang meledak-ledak serta mendiskusikannya secara sehat, santun dan toleran. 


Syeikh al-Kurani sendiri mendukung ide tidak adanya pertentangan antara Syari’at-Hakikat, antara Muhkamat-Mutasyabihat dan tektualitas-rasionalitas dan sebagainya, seperti yang sudah disebut. Dan dengan begitu pada gilirannya juga akan sampai pada doktrin “Wahdah al-Wujud”, yang menjadi inti kajian buku ini.  


Gagasan rekonsiliasi atau harmonisasi antar dua kutub yang berdegup di atas dilakukan Syeikh al-Kurani dengan cara yang sangat menarik. 


Al-Kurani memulainya dengan lebih dahulu menyatakan bahwa Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dua sumber Islam paling otoritatif. Seluruh muslim di dunia dengan keberagaman alirannya mengimani dan mempercayai sepenuhnya atas kebenaran keduanya sekaligus menjadikannya sebagai pedoman hidup dan berkehidupan. Seluruh kaum muslimin sepakat atas hal ini. Tak satupun menolak atau mengingkarinya.


Syeikh al-Kurani kemudian mengajukan premis berikutnya, bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci adalah utuh dan di dalamnya sama sekali tidak ada kontradiksi antara satu teks (ayat) dengan teks (ayat) yang lain(‘Adam al-Ta’arud). Pertentangan antar pernyataan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Adalah mustahil, tidak masuk akal, jika Tuhan menyatakan dua hal yang bertentangan untuk satu hal, isu atau kasus. Tuhan Maha Benar. La Yatihi al- Bathil baina Yadaihi. Tanzilun min Hakimin Hamid.


Maka dari situ Syeikh al-Kurani kemudian mengemukakan tesisnya : “Al-Jam’u Muqaddam ‘ala al-Tarjih” (Memadukan adalah lebih utama daripada memilih salah satunya).  


Pada Mulanya adalah Kata
Bila pernyataan Tuhan dan Nabi tidak mungkin kontradiktif, maka mengapa dalam faktanya terjadi perdebatan, perseteruan, saling sesat-menyesatkan, pengkafiran dan bahkan tragedy pembunuhan atas nama teks-teks agama di kalangan kaum muslimin, sebagaimana sudah dikemukakan?.  


Syeikh al-Kurani mengeksplorasi akarnya. Jika saya menyimpulkannya lebih awal, maka akar itu adalah “kata”. Ya, perdebatan dan perseteruan itu “Berawal dari Kata”. Imam Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan : “Al-Qur’an adalah kata-kata di antara dua bingkai mushaf. Ia tidak bicara apa-apa. Yang bicara adalah manusia”. Dan ia adalah “corpus terbuka” untuk dimaknai oleh manusia untuk memperoleh “hidayah” Tuhan. Pada kesempatan lain Ali bin Abi Thalib mengatakan : “Al-Qur’an Hammal Awjuh” (al-Qur’an mengandung multi perspektif): Fiqhy, Kalamy, Sufi dan sebagainya. 
Syeikh al-Kurani, untuk ini, mengulas panjang lebar sambil mengutip sejumlah sumber legitimasinya dari al-Qur’an, Hadits Nabi dan sejumlah tokoh otoritatif. Syeikh al-Kurani antara lain menyebut beberapa sumber yang menyatakan bahwa setiap ayat al-Qur’an mengandung makna lahir, batin, had dan mathla’” dan riwayat yang lain. 


Tetapi apakah makna empat kata: dhahir, bathin, had dan mathla’ tersebut?. Syeikh al-Kurani dalam buku ini menyebutkan beberapa tafsir atasnya, antara lain dari Jalal al-Suyuthi. Katanya: Dhahir adalah apa yang nampak. Bathin adalah yang samar bagai ruh yang suci yang tersembunyi. Had adalah pembatas, bagai “barzakh”, jembatan yang mengantarkan makna lahir ke makna batin. Mathla’ adalah makna yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang hakikat.


Tafsir lain dikemukakan oleh Sufi besar Abd Allah al-Muhasibi mengatakan: “Dhahir adalah bacaannya (tilawah), bathin adalah ta’wil, had adalah puncak pemahaman dan mathla’ adalah melampaui batas, ekstrim dan kedurhakaan”.


Sulami (w.937), sufi terkemuka mengatakan : “Dhahir adalah bacaannya, bathin adalah ta’wil, had adalah hukum-hukum halal-haram dan mathla’ adalah kehendak Tuhan”. Berbeda dengan kedua tokoh besar ini, al-Syeikh al-Akbar Muhyiddin ibn ‘Arabi mengatakan : “Dhahir adalah tafsir, bathin adalah ta’wil, had adalah puncak pemahaman manusia dan mathla’ adalah pengetahuan untuk mencapai kondisi dapat menyaksikan Tuhan (ma yash’adu ilaihi minhu fa yathla’u ‘ala syuhud al-Malik al-‘Allam. 


Syeikh al-Kurani menambahkan bahwa makna bathin sendiri bahkan mengandung sampai tujuh tingkatan bahkan sampai tujuh puluh. Kata lain dari semua itu sesungguhnya adalah bahwa makna sebuah teks al-Qur’an sangatlah multikompleks, multi dimensi dan bahkan tidak terbatas.


Sufi agung Syeikh Abd Allah Sahl al-Tustari (w. 896) mengatakan: “Andaikata seorang hamba Allah dianugerahi seribu pemahaman atas satu huruf al-Qur`an, niscaya dia tidak akan mencapai maksud Tuhan yang diungkapkan dalam kitab suci-Nya. Karena ia adalah Kalamullah. Kata-kata Tuhan adalah Sifat-Nya. Tuhan Maha Tak Terbatas, maka kata-kata-Nya juga tak terbatas. Apa yang dapat dipahami oleh masing-masing orang adalah sebatas apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” 


Apa yang dapat kita simpulkan dari uraian di atas adalah bahwa teks-teks keagamaan sesungguhnya dapat dimaknai secara berbeda-beda dan berlapis-lapis, sebagaimana berbeda-beda dan berlapis-lapisnya tingkat intelektualitas manusia. Semua makna tersebut sah dan dapat dibenarkan sepanjang, menurut Syeikh al-Kurani beberapa kali, memungkinkan dilihat dari aspek linguistiknya, termasuk pemaknaan aforisme dan metaforismenya. 


 


Hikmah Terbaru