Menelusuri aktifitas intelektual (Ijtihad) dan Spiritual (Mujahadah) kaum muslimin pada tiga abad pertama Islam kita menemukan bahwa para sarjana Islam klasik ternyata tidak melakukan dikotomisasi antara ilmu pengetahuan Agama dan pengetahuan umum (sekuler). Mereka meyakini bahwa beragam jenis ilmu pengetahuan adalah ilmu Allah yang mahakaya.
Bahkan pergulatan intelektual mereka dilakukan dengan mengadopsi secara selektif produk-produk ilmu pengetahuan Helenistik dan Persia terutama dalam bidang logika, filsafat, fisika, dan metafisika.
Pada tataran pengetahuan keagamaan, bidang paling hidup dan produktif adalah bidang hukum. Ini memang wajar karena terkait dengan persoalan kehidupan sehari-hari dan dinamika interaktif antar manusia dalam masyarakat. Tingkah laku manusia senantiasa bergerak dalam ruang dan waktu yang semakin meluas dan cepat disamping ini paling mudah dipahami banyak orang. Maka sampai abad ke IV H, peradaban Islam telah menghasilkan ratusan para ahli hukum Islam terkemuka (mujtahidin) selain empat Imam Mujtahid; Abu Hanifah (699-767 M), Malik bin Anas (719-795 M), Muhammad bin Idris al-Syafi'i (767-820 M), dan Ahmad bin Hanbal (780-855 M).
Mereka bekerja keras untuk mengeksploitasi dan mengembangkan hukum Islam bagi keperluan masyarakat yang senantiasa berkembang. Masing-masing dengan metodenya dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Produk-produk hukum mereka yang kemudian hari dikenal dengan sebutan "fiqh", senantiasa memiliki relevansi dengan konteks-konteks Sosio-kulturalnya masing-masing.
Jika kita harus memetakan pola fiqh keempat madzhab paling terkenal di atas, maka dapat kita kemukakan: madzhab Hanafi adalah adalah madzhab Ahl al-Ra'y (rasionalis), madzhab Maliki: madhzab "Muhafizin" (menjaga tradisi), Sya'fi madzhab al-Tawassuth, (moderat) dan Hanbali; madzhab "Mutasyaddidin" (garis keras). Pembagian pola atau kategorisasi ini tentu saja tidak bersifat absolut, melainkan sebagai kecenderungan utama atau umum.
Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka dan para pengikutnya yang awal senantiasa saling menghargai pendapat lainnya. Satu pernyataan yang sering dikemukakan mereka adalah:
رأينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب
"Pendapat kami benar tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat selain kami keliru tetapi mungkin saja benar".
Ini adalah pernyataan bijak para ulama besar. Imam Ibn Qayyim (1292-1350 M), ulama terkemuka, menginformasikan kepada kita tentang pandangan sejenis tetapi dengan redaksi yang lain:
إجتهدنا برأينا فمن شآء قبله ومن شآء لم يقبله، ولم يلزموا به الامة.
"Kami telah bekerja keras (secara intelektual untuk menghasilkan hukum ini). Siapa yang mau menerimanya silahkan, siapa yang tidak mau menerimanya silahkan. Mereka, masing-masing tidak mengharuskan umat (mengikuti pendapatnya)".
Sementara Imam Abu Hanifah mengatakan:
هذا رأي فمن جاءنى بخير منه قبلناه.
"Inilah hasil ijtihadku (hasil pemikiranku). Bila ada orang yang berpendapat lebih baik dari ini, aku akan menerimanya".
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU
Terpopuler
1
H Dudu Rohman, Ketua PCNU Kota Tasikmalaya Resmi Dilantik Jadi Kakanwil Kemenag Jawa Barat
2
Khutbah Jumat Singkat: Sedekah, Bukti Keimanan Kepada Tuhan dengan Menjadi Seorang Dermawan
3
Refleksi Hari Kemerdekaan Indonesia
4
Pesantren Al-Hamidiyah Gelar AHAFEST 2025, Hadirkan Perlombaan Futsal Hingga Hadrah dengan Total Hadiah Rp30 Juta
5
GP Ansor Kertasemaya Gelar Renungan Suci dan Tahlil untuk Pahlawan di HUT ke-80 RI
6
MTs NU Putri Buntet Bangga, Karya Gurunya Tampil di Pameran Sastra Nasional
Terkini
Lihat Semua