Mama Muhammad Faqih Lemburawi: (1) Alim dan Rendah Hati
Alim dan kerendahan hati dua kata yang berbeda tapi dalam realitas sehari hari tidak bisa dipisahkan. Itu yang saya saksikan di pondok selama ini.
Beberapa cerita, baik dulu maupun sekarang, para kiai bahkan santri, memiliki "keunikan" yang banyak dibicarakan, tapi masih sedikit yang dituliskan.
"Keunikan" yang pernah saya dengar, karena jarak waktu yang cukup lama, yaitu tentang Mama Muhammad Faqih (wafat 1964). Mama adalah pendiri Pondok Pesantren Lemburawi (1922), yang sekarang menjadi Baitul-Arqom al-Islami.
Keseharian Mama dihabiskan di masjid, madrasah, dan rumah. Itu pun sesekali melihat tanah atau sawah di sekitar kampung. Sering kali setiap selesai Shalat Subuh beliau tidak dulu keluar mesjid sebelum masuk waktu dhuha.
Selesai Shalat Dhuha, kiai yang sangat dekat dengan Kiai Ahmad Dimyati dari Pesantren Sukamiskin ini, baru ke rumah untuk sarapan bersama keluarga. Itu pun mencari siapa saja yang lewat supaya bisa makan berjamaah. Itu salah satu "keunikan" yang saya dengar.
"Keunikan" lainnya, Mama menurut penuturan para saksi hidup, beliau tidak pernah marah, berjalan pun selalu melihat ke bawah. Nada suara yang tenang. Tutur kata yang jelas dan lembut. Murah senyum. Tidak pernah mengaku sebagai kiai dan selalu mendarmakan harta bendanya untuk masyarakat. Pantas kalau setiap ada serangan para penjajah semua masyarakat di kampung selalu berkumpul (bersembunyi) di pesantren. Penenang batinnya di kala itu ke Mama.
Bagi masyarakat, Mama tidak hanya sebagai kiai (guru ngaji), tapi beliau seperti orang tua tempat berlabuh seluruh hajat masyarakat, dan penjaga dari para penjajah. (Bersambung)
Penulis: Ahmad Fuad Ruhiyat
Editor: Abdullah Alawi