• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Tokoh

KH A. Hafidz Utsman, Diberhentikan sebagai PNS karena Membela NU

KH A. Hafidz Utsman, Diberhentikan sebagai PNS karena Membela NU
KH Hafidz Utsman (Foto: dok. keluarga)
KH Hafidz Utsman (Foto: dok. keluarga)

Pada saat berkuasa, pemerintah Orde Baru mewajibkan seluruh pegawai negeri mengikuti salah satu partai politik yang diberi nama Golkar. Seorang kiai, yang saat itu merupakan PNS di IAIN Bandung, berani menolak dan tetep keukeuh pada pendiriannya membela NU, yang saat itu masih berfusi di PPP. Baginya, NU lebih bisa dipercaya daripada yang lain. NU adalah organisasi yang dipandu oleh dawuh para ulama. Langkah organisasinya mengikuti nasihat para ulama.

Hasilnya bisa ditebak, ia pun dipensiunkan dini oleh Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratuperwiranegara. Parahnya, haknya sebagai pensiunan pegawai negeri juga tidak jelas hingga kini. Kiai yang jika berbicara selalu tanpa tedeng aling-aling ini adalah almaghfurlah KH A. Hafidz Utsman, yang sampai akhir hayatnya sebagai tokoh NU dan Ketua MUI Jawa Barat.

Lahir pada tahun 1940 di tempat diselenggarakannya Muktamar NU ke-13 dua tahun sebelumnya, Abdul Hafidz Utsman adalah putra kedua dari enam bersaudara pasangan Kiai Utsman dan Hj. Hamsah.

Masa kecilnya dihabiskan dengan mengaji kepada beberapa ulama di daerahnya, di antaranya, KH Abdul Lathif, pengasuh Pesantren Nanggorak Banten yang juga rais syuriah Pandeglang dan dikenal sebagai ahli hadits. Ia juga sempat mendalami fikih kepada KH Ihya di Tegal, Menes. Lalu kepada KH Hayani, Manuntuk, Banten, yang ahli hikmah. Kepada gurunya ini, Kiai Hafidz, selain mendalami ilmu bahasa dan hadits, juga sempat mengkhatamkan kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Setamat dari sekolah formal di kampungnya, Kiai Hafidz mendapat beasiswa untuk mengikuti Takhasus Diniyyah Aliyah, pendidikan khusus agama tingkat tinggi, di Amuntai, Kalimantan Selatan, dari KH Idham Chalid. Karena naluri santri yang dimilikinya, ketika di Amuntai ia juga menyempatkan diri mengaji kepada KH Abdul Wahab Sya’roni.

Dari Amuntai ia hijrah ke Solo dan kuliah di di Kuliyyatul Qadla’, Fakultas Syariah, Universitas Nahdlatul Ulama, Solo (UNU), yang diselesaikannya pada 1966. Di Solo, ia juga mengaji dan mendapatkan ijazah manakib Syekh Abdulkadir Jailani dari Kiai Mudzakir, di samping mengaji secara pribadi kepada beberapa ulama besar lain saat itu.

Selesai kuliah, tahun 1967 Kiai Hafidz hijrah ke Bandung. Ia termasuk salah seorang yang ikut membidani kelahiran Universitas Islam Pasundan, yang setahun kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Tahun 1968, ia diminta bergabung dengan Majelis Alim Ulama Jawa Barat, cikal bakal MUI Jawa Barat. Di lembaga milik pemerintah itu, bapak empat putra dan empat putri ini sempat menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat pada tahun 1990 sebelum akhirnya sejak tahun 2000 menjadi ketua MUI Jabar.

Mengenai lembaga yang dipimpinnya, ia berpendapat, “MUI adalah forum komunikasi cendekiawan muslim yang dibentuk oleh negara. Idealnya, seorang ulama berperan membawa kemaslahatan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebersamaan.”

“Masyarakat dan negara seyogianya tidak diposisikan berhadapan, melainkan berdampingan,” katanya. “Misalnya,” kata Kiai Hafidz, “Ulama menghukumi bahwa judi itu haram. Maka, pemerintah seharusnya segera menindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret.”

Kariernya di bidang politik, sebagaimana para pendahulunya di daerah Menes, selalu berada di gerbong Nahdlatul Ulama. Tahun 1971, misalnya, ia terpilih menjadi anggota DPRD Jabar mewakili Partai NU, dan tahun 1977 ia pun menjadi anggota DPR RI mewakili PPP. Ketika NU memisahkan diri dari PPP, Kiai Hafidz pun dengan setia tetap berada di organisasi yang didirikan oleh Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari ini.

Tahun 1989-1999 ia diminta mendampingi KH Abdurrahman Wahid sebagai wakil ketua Tanfidziyah PBNU, dan lima tahun berikutnya ia pun menjadi salah satu rais syuriah PBNU. Ketika Gus Dur sakit keras, ia ditunjuk oleh PBNU untuk menjadi pejabat ketua umum.

Keluarga Demokratis
Dalam mendidik putra-putrinya, kiai yang satu ini cukup demokratis. Meskipun kepada putra-putrinya Kiai Hafidz selalu menyempatkan diri untuk menanamkan dasar-dasar pengetahuan dan pengamalan agama, dalam urusan hidup berbangsa dan bernegara ia menyerahkan sepenuhnya pada anak-anaknya. Mereka punya hak asasi untuk bersikap.

Terhadap sikap bijak orangtuanya ini, anak-anak Kiai Hafidz juga tahu diri. Saat ini hampir seluruh putra-putri kiai yang pemberani ini telah menyelesaikan bangku kuliah. Termasuk putra keenamnya, Muhammad Al Banna, yang kuliahnya di University of Baghdad sempat terhenti gara-gara invasi Amerika ke Negeri 1001 Malam itu.

Di akhir hayatnya, ia bersama saudaranya Kiai Hafidz mendirikan Perguruan Anwarul Hidayah, yang pengelolaannya dipercayakan kepada adiknya, H. M. Zuhri Usman, santri Kiai Dimyathi Pandeglang. Ia pun masih menyempatkan diri mengajar di beberapa majelis taklim di sekitar lingkungannya di Margasari Bandung, tempat tinggalnya. Bahkan setiap malam Minggu pekan kedua tiap bulan, ia masih mengajar di Masjid Raya Jawa Barat, dengan membacakan kitab Umdatul Ahkam.

Mengenai agama dan masyarakat ini, Kiai Hafidz berkomentar, “Seharusnya agama sebagai keyakinan dan cita-cita itu bisa menjadi pengawas perilaku umatnya. Namun, sepertinya belakangan ini masyarakat tidak lagi mempunyai kekuatan dan rasa mantap dalam memikirkan kemasalahatan umum.”

Salah satu penyakit di masyarakat yang cukup menggelisahkannya adalah kebohongan. Baik yang dilakukan perorangan maupun oleh sistem, seperti misalnya kebohongan unsur-unsur pengadilan.

“Dalam Islam kan yang termasuk dosa besar adalah berbohong di pengadilan.” Ketika ditanyakan solusinya, dengan menggeleng kepala Kiai Hafidz berkata, “Solusi dalam menghadapi berbagai persoalan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa dan negara saat ini, kalau menurut konsep Suni, sudah tinggal mendoakan saja.”

Dan, menurutnya, “Ulama berkewajiban membimbing masyarakat berdoa dengan cara yang benar, misalnya dengan mengawali ‘doa’ tersebut dengan tobat dari segala kesalahan. Juga menyempurnakan tobat dengan mengembalikan hak-hak orang lain, baik hak materiil maupun hak sosial.”

Banyak orang yang menguasai dalil-dalil agama, tetapi tidak banyak yang berani teguh memperjuangkannya di segala situasi. Dari yang tidak banyak itu, barangkali, Kiai Hafidz Utsman, kiai yang wafat pada 20 Oktober 2014 ini, adalah salah satunya. 

Penulis: Ahmad Iftah Shiddiq
Editor: Abdullah Alawi 

 


Tokoh Terbaru