• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Hikmah

Tentang Wafatnya Ulama dan Kenapa Menjadi Perhatian

Tentang Wafatnya Ulama dan Kenapa Menjadi Perhatian
Makam almagfurlah KH Adang Badruddin, pengasuh pesantren Cipulus Purwakarta. Foto: dok. Ade Bagus.
Makam almagfurlah KH Adang Badruddin, pengasuh pesantren Cipulus Purwakarta. Foto: dok. Ade Bagus.

Oleh Muhyiddin 

Kenapa berita kematian, terutama kematian ulama, selalu menjadi perhatian hingga banyak diberitakan dan banyak dibaca orang? Bagaimana kemudian orang selalu mengingat kematian ulama dan tokoh dengan menziarahi dan mengadakan peringatan?

Kematian bagi sebagian orang adalah peristiwa biasa. Kejadian sehari-hari yang biasa terjadi pada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Kematian dinilai sebagai sesuatu yang lumrah dan akan datang pada siapapun yang hidup. Sejauh ada pesan, itu hanya sebatas sebagai ingatan bahwa setiap mahluk hidup akan mati. Hanya soal kapan dan bagaimana mahluk hidup akan mati. Sikap seperti ini membawa pada perilaku cuek atau hanya berupaya memperpanjang usia sesuai dengan anjuran-anjuran kesehatan. Martin Heidegger, filosof Jerman, menyebutnya sebagai sikap in-otentik manusia dalam menyikapi kabar kematian.

Sedangkan bagi sebagian yang lain, kematian bukan peristiwa biasa, bukan sekedar peristiwa sehari-hari yang bisa dilupakan dan dilewatkan begitu saja. Mereka menyikapinya dengan mengingat, mengenang, dan berupaua mengambil inspirasi. Oleh Martin Heidegger, sikap seperti ini disebut sikap otentik dalam menghadapi kematian.

Ada dua hadits yang sering dikutip ketika mendapat kabar kematian. Pertama hadits mautul ‘alim mautul ‘alam, kematian orang ‘alim adalah kematian alam. Kedua hadits wakafa bil mauti wa’idzo, cukuplah kematian sebagai pengingat. Kategori pertama di atas, hanya akan menafsirkan wa’idzo secara tekstual, sekedar sebagai pengingat semua mahluk hidup akan mati. Sedangkan mautul ‘alim mautul ‘alam akan disikapi dengan kesedihan karena perginya ilmu.

Sedangkan mereka yang otentik akan menyikapinya secara berbeda. Kematian bukan peristiwa sehari-hari karena setiap yang wafat adalah insan yang berbeda, unik. Ada hal-hal yang tidak bisa digantikan, disalin, atau diteruskan begitu saja oleh yang masih hidup.

Hal sehari-hari bisa dengan mudah digantikan. Mengajar, misalnya, bisa digantikan orang lain. Tetapi yang harus diingat, yang bisa digantikan hanyalah aktivitas mengajarnya dan bukan hal-hal spesifik yang melekat pada pengajar sebelumnya. Komunikasi mengandaikan suatu sikap membayangkan seolah-olah kita berada di tempat orang lain. Tetapi itu hanya sekedar bayangan. Kematian adalah momen yang paling otentik dan eksistensial bagi manusia. Itulah mengapa manusia tidak sekedar berduka ketika ulama meninggal. Ada upaya mengingat (memorizing) dan meneladani prilakunya. Proses mengingat dan meneladani ini kemudian tidak pernah mudah sehingga perlu melakukannya secara terus menerus dengan menziarahi.

Mengingat kematian adalah mengingat apa yang telah diciptakan dan dilakukan. Ziarah yang tidak sebatas fisik, tetapi ziarah pemikiran, prilaku, dan ilmu, agar bisa sedekat mungkin dengan perilaku dan ilmu ulama yang meninggal. Pada titik inilah wa’idzo, pengingat atau pelajaran mendapat konteksnya: bahwa kematian ulama bukanlah peristiwa biasa, peristiwa sehari-hari. Kematian ulama adalah tentang bagaimana kita berusaha sedekat mungkin meneladani perilaku ulama dan belajar ilmu-ilmu yang pernah diajarkan.

Penulis adalah redaktur jabar.nu.or.id.


Editor:

Hikmah Terbaru