• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Mbah Muqoyyim Buntet Pesantren, Kiai Kelana Sakti Mandraguna

Mbah Muqoyyim Buntet Pesantren, Kiai Kelana Sakti Mandraguna
Situs makam Mbah Muqoyyim
Situs makam Mbah Muqoyyim

Kiai Muqoyyim bin Abdul Hadi adalah pendiri Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat. Ia dikenal sebagai kiai sakti nan mandraguna serta kealiman yang menjadikannya seorang Mufti Keraton Kanoman Cirebon menggantikan ayahnya yakni Kiai Abdul Hadi. Namun, pada akhirnya ia meninggalkan keraton atas dasar kekecewaan terhadap Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan keraton.

Alasan itulah yang kemudian Kiai Muqoyyim mendirikan Pondok Buntet Pesantren pertama kali di daerah Cimarati, Dawuhan Sela, Desa Buntet. Tak perlu butuh waktu lama, banyak orang berdatangan, mengaji hingga belajar bela diri. Saat itu pihak belanda mengetahui pesantren tersebut, hingga akhirnya belanda menyerbu. Namun, Belanda dikagetkan dengan kondisi kampung yang tak berpenghuni, mereka memborbardir hingga rata dengan tanah, bahkan di perkampungan yang tidak jauh dari pondok tersebut terdapat bocah seusia santri ditembaki secara brutal. Di tempat inilah yang kemudian dikenal Makam Santri.

“Sebelum pihak belanda datang, Kiai Muqoyyim beserta santrinya sudah mengetahui penyerangan yang akan terjadi, yakni dari sahabatnya Kiai Ardi Sela. Sehingga Kiai Muqoyyim dengan cepat berpindah tempat.”

Kemudian ia menetap di Pasawahan, Sindang Laut. Kiai Muqoyyim membangun dan membenahi pondok pesantren seperti masjid, dan bilik-bilik santri. Kedigdayaan Kiai Muqoyyim teruji ketika ingin membangun sebuah masjid dan memerintahkan santri untuk menebang jati satu pohon saja. Ternyata hanya dengan sebatang pohon jati, seluruh kebutuhan kayu untuk masjid terpenuhi, tidak lebih dan tidak kurang. Seketika itu masyarakat terheran-heran akan kesaktiannya. 

Dikisahkan di satu malam, Kiai Muqoyyim diserang oleh serdadu Belanda di daerah tersebut. Suasana begitu mencekam. Dengan cepat Kiai Muqoyyim melemparkan kendi ke balong, hingga akhirnya suasana begitu gelap disepanjang pertempuran dan dari balong itu meluapkan air hingga banjir yang mengakibatkan sebagian tentara Belanda mati namun ada juga yang melarikan diri.

Ancaman demi ancaman yang dilakukan Belanda membuat Kiai Muqoyyim merasa tidak aman, sehingga ia pergi lalu bermukim di Kampung Tuk. Kemudian Belanda kembali mengetahui keberadaanya. Atas saran kiai Ardi Sela agar Kiai Muqoyyim berpindah tempat dan menjadi rakyat biasa. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju Pemalang tepatnya di kampung Beji, Jawa Tengah. Disana ia bertemu dengan Kiai Abdussalam (kerabat dekat Pangeran Diponegoro). Kiai Muqoyyim tahu bahwa dia hanya menetap sementara dirumahnya, sehingga ia sama sekali tidak menampakkan kealiman dan kesaktiaanya. Dikisahkan ketika Kiai Muqoyyim sering keluar masuk hutan Pedurungan yang terkenal angker. “Konon barang siapa yang memasuki hutan tersebut maka tidak akan kembali”. Tidak bagi Kiai Muqoyyim, ia kembali dalam keadaan sehat dan selamat. Sebagian orang bertanya-tanya, tidak terkecuali Kiai Abdussalam.

Pertanyaan itu semakin menjadi-jadi ketika salah seorang penduduk melihat sinar cahaya pada diri salah satu orang yang tidur di serambi rumah Kiai Abdussalam. Dikarenakan serambi itu dipenuhi orang, maka seorang penduduk itu merobek kain sarung tersebut kemudian dilaporkan ke Kiai Abdussalam. Setelah diperiksa keesokan harinya, ternyata robekan kain sarung tersebut milik Kiai Muqoyyim. Setelah kejadian tersebut para penduduk kampung semakin yakin bahwa Kiai Muqoyyim bukanlah orang sembarangan.

Setelah menetap di Kampung Beji. Perjalanan Kiai Muqoyyim dilanjutkan. Ia berangkat ke Aceh atas permintaan Kiai Abdusslam dan penduduk kampung. Sebab mereka menyakini bahwa Kiai Muqoyyim memiliki kesaktian. Ia lalu pergi dalam rangka melawan penjajah dan tergabung dalam barisan perang Diponegoro.

Dikisahkan ketika Cirebon sedang dilanda wabah to'un. Seluruh masyarakat panik, baik dari pihak Belanda, pejabat kesultanan maupun rakyat jelata. Konon, wabah yang melanda di Cirebon mengakibatkan tingkat kematian yang semakin tinggi. "pagi sakit, sore mati, malam sakit, pagi mati". Meski pihak Belanda memiliki fasilitas kesehatan yang cukup memadai hingga memanggil para tabib dan orang sakti. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, muncul pendapat dari kalangan pemerintahan Cirebon untuk meminta bantuan kepada Kiai Muqoyyim dan disetujui langsung dari kalangan pejabat kesultanan dan para tokoh Islam di Cirebon.

Atas inisiatif tersebut, bertemulah dengan Kiai Muqoyyim di Kampung Beji. Dengan sangat arif nan bijaksana ia mengatakan kesanggupannya bahwa atas izin Allah SWT, saya akan berusaha mengatasi musibah tersebut, tetapi dengan beberapa syarat. Pertama, pihak Belanda harus membebaskan Pangeran Santri (Pangeran Muhammad, putra Sultan Chaeruddin Awwal/Sultan Kanoman), dan mengembalikannya ke Cirebon dari Ambon. Kedua, disetiap desa di wilayah Cirebon harus didirikan Masjid.

Perjanjian itupun disetujui lalu Kiai Muqoyyim berangkat ke Cirebon. Atas izin Allah Wabah to'un segera hilang, dan Belanda pun menepati janjinya. Setelah wilayah Cirebon aman terkendali atas musibah yang terjadi. Karisma Kiai Muqoyyim semakin tinggi hingga dikagumi masyarakat. Dan pada akhirnya ia pulang menata kembali pondok Buntet Pesantren di daerah yang berbeda yakni bertempat di Blok Manis, Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura. Selama di pondok Buntet Kiai Muqoyyim hidup dengan sederhana serta sering mengamalkan riyadlah yakni “tiga tahun berpuasa untuk keberkahan tanahnya, keselamatan seluruh warga Buntet Pesantren dan sekitarnya. Tiga tahun untuk keselamatan anak cucunya dan tiga tahun untuk keselamatan dirinya”. Inilah yang kemudian sampai saat ini riyadhah tersebut dikenal luas khususnya bagi seluruh keluarga, santri, dan warga Buntet Pesantren Cirebon. Hingga akhirnya ia wafat dan dimakamkan di Kampung Tuk, Sindang Laut berdekatan dengan sahabat seperjuanganya yakni Kiai Ardi Sela.

Demikianlah sekilas kisah seorang kiai khasrismatik dengan kealiman yang dimiliki serta dikenal sosok kiai sakti madraguna asal Buntet Cirebon. Santun dan digdaya merupakan watak asli kiai satu ini. Semasa hidupnya ia sangat dihormati dari berbagai kalangan, meski bagi penjajah Belanda, Kiai Muqoyyim merupakan ancaman karena mempunyai peran dan pengaruh yang sangat besar sehingga dapat mempengaruhi rakyat untuk melawan dan menentang Belanda. Sikap dan perilakunya yang selalu non-cooperation (tidak ingin diajak kerjasama) diteruskan oleh generasi selanjutnya seperti KH Raden Muta’ad, KH Abdul Jamil, dan KH. Muhammad Abbas yang mempunyai peran signifikan dalam perjuangan membela agama, bangsa dan negara.


Penulis: Ahmad Faiz Rofii
Editor: Abdullah Alawi 

Referensi:

Hadi, Munib Rowandi Amsal, Kisah-kisah dari Buntet Pesantren Cirebon (Cirebon: Kalam, 2012).
Zaini Hasan, Ahmad, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara (Yogyakarta: Lkis, 2014).

Penulis adalah Alumni Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Kini aktif sebagai Admin Media Sosial PAC GP Ansor Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon


Tokoh Terbaru