• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Taushiyah

KOLOM KH ZAKKY MUBARAK

Al-Quran dan Perubahan Sosial 

Al-Quran dan Perubahan Sosial 
Al-Quran dan Perubahan Sosial  (Ilustrasi: NUO).
Al-Quran dan Perubahan Sosial  (Ilustrasi: NUO).

Salah satu manfaat difungsikannya al-Quran adalah untuk mengarahkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.


الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ 


“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Ibrahim, 14: 1).


Mengarahkan manusia berarti melakukan suatu perubahan sosial, dari keadaan yang buruk kepada yang baik atau dari keadaan yang baik kepada yang lebih baik lagi. Sebagai petunjuk, al-Quran saja tentunya tidak mungkin bisa melakukan hal itu, tetapi harus dilakukan oleh manusia yang menjadikannya sebagai pedoman hidup, terutama kalangan yang terpelajar. Kehidupan sosial senantiasa bersifat dinamis, karena itu selalu berubah dan berganti. Agar perubahan dan pergantian itu sesuai dengan tuntunan al-Quran, maka setiap diri orang muslim harus berusaha mengarahkannya pada perubahan yang terpuji.


Dalam hal mengarahkan perubahan sosial pada kehidupan yang terpuji, al-Quran tidak menjadikan dirinya sebagai pelaku perubahan itu, tetapi berfungsi sebagai petunjuk dan pemandu bagi manusia, agar berperan secara aktif dalam bidang-bidang kehidupan. Dari petunjuk Kitab Suci al-Qur’an dapat dipahami, bahwa perubahan sosial ke arah yang dicita-citakan, baru dapat terlaksana, apabila memenuhi dua persyaratan pokok, yaitu: (1) adanya nilai atau ide dan (2) adanya pelaku-pelaku yang bisa menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut dan dapat mensugesti orang lain agar bisa mengikutinya.


Bagi manusia muslim, syarat pertamanya yaitu nilai-nilai kebenaran, sudah tentu terletak pada al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun sifatnya masih umum. Kita tinggal merincinya dengan baik. Sebagai pelakunya adalah setiap diri manusia, yang menyatu dalam kehidupan sosial, yang hidup dalam suatu tempat dan masa tertentu. Kehidupan sosial pada hakikatnya terikat dengan hukum-hukum sosial atau masyarakat yang telah ditetapkan sebagai sunatullah. Hukum-hukum sosial itu bersifat pasti juga, seperti halnya hukum alam.


سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗا 


“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”.(Q.S. Al-Ahzab, 33: 62).


ٱسۡتِكۡبَارٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَكۡرَ ٱلسَّيِّيِٕۚ وَلَا يَحِيقُ ٱلۡمَكۡرُ ٱلسَّيِّئُ إِلَّا بِأَهۡلِهِۦۚ فَهَلۡ يَنظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ ٱلۡأَوَّلِينَۚ فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗاۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ ٱللَّهِ تَحۡوِيلًا 


“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (Q.S. Fatir, 35: 43).


Salah satu ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum perubahan sosial, di antaranya disebutkan:


إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ 


“...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu bangsa sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu bangsa, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S. Al-Ra’du, 13:11).


Ayat ini menjelaskan tentang perubahan sosial atau masyarakat yang berdasarkan pada sunatullah, yaitu perubahan yang berdasarkan hukum kemasyarakatan dan perubahan yang dilakukan oleh manusia. Perubahan yang berdasarkan hukum kemasyarakatan akan terjadi secara pasti, karena hal itu merupakan bagian dari sunatullah. Perubahan yang dilakukan manusia tentunya terletak pada keadaan manusia itu sendiri.


Bila anggota masyarakat melakukan perubahan dengan usaha-usaha yang baik dan terpuji, maka akan terciptalah suatu masyarakat yang baik dan terpuji, yang setiap anggotanya merasakan ketentraman  dan kebahagiaan. Dengan usaha-usaha yang baik dari seluruh anggota masyarakat itu, maka akan mengubah keadaan mereka pada kemajuan-kemajuan yang luar biasa. Sebaliknya bila anggota masyarakat tidak mengadakan perubahan yang lebih baik, maka keadaannya menjadi statis, tidak dijumpai perubahan yang berarti.


Bahkan bila anggota masyarakatnya mengarahkan perubahan ke arah yang buruk, maka masyarakat itu akan menjumpai masa kehancurannya.


Sunnatullah dalam hukum-hukum masyarakat bersikap tetap, hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Mengenai hal ini, disebutkan:


سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗا 


“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”. (Q.S. Al-Ahzab, 33: 62).


Hukum masyarakat sebagai sunnatullah, seperti yang terjadi pada hukum alam, misalnya bahwa apabila suatu masyarakat membiarkan terjadinya perkara mungkar, pasti akan terjadi kekacauan. Kehidupan suatu umat ditetapkan dalam hukum masyarakat, mesti melalui empat periode: (1) generasi pembentukan, (2)generasi yang berjuang keras, (3) generasi yang menikmati, (4) generasi kehancuran.


Setiap umat pasti mengalami masa kehancurannya sebagaimana disebutkan al-Qur’an:


وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ 


“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya”. (Q.S. Al-A’raf, 7: 34).


Dalam ayat lain disebutkan bahwa apabila suatu masyarakat telah berbuat kedzaliman, nilai kebaikan dan keburukan menjadi kacau dan terjadi pelanggaran hukum dalam berbagai hal, maka masyarakat itu akan tercampakkan dalam kehancuran.


وَتِلۡكَ ٱلۡقُرَىٰٓ أَهۡلَكۡنَٰهُمۡ لَمَّا ظَلَمُواْ وَجَعَلۡنَا لِمَهۡلِكِهِم مَّوۡعِدٗا 


“Dan (penduduk) negeri telah kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka”. (Q.S. Al-Kahfi, 18: 59).


Al-Quran membimbing umat manusia agar mengusahakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan terpuji, sehingga dapat melahirkan suatu masyarakat yang adil dan makmur disertai dengan ridha Ilahi.


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, salah seorang Mustasyar PBNU


Taushiyah Terbaru