• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Syariah

KOLOM KH IMAM NAKHA'I

Perubahan Hukum Akibat Perubahan Psikologis

Perubahan Hukum Akibat Perubahan Psikologis
Perubahan Hukum Akibat Perubahan Psikologis
Perubahan Hukum Akibat Perubahan Psikologis

Fiqih memiliki banyak kaidah yang menjadikannya terus menerus hidup, dinamis dan solutif menyertai peradaban manusia. Salah satu kaidah itu adalah:


الفتاوى تتغير بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والأعراف


"Fatwa hukum itu bisa berubah disebabkan perubahan zaman, situasi-kondisi, suasana hati (psikologis) dan tradisi,".


Menarik mencermati kaidah ini, yang menyatakan bahwa kondisi psikologis seseorang, dan psikologi massa bisa mempengaruhi keharusan merubah fatwa. Hal ini dicontohkan dalam salah satu hadist Nabi Saw:


"Suatu hari datang seorang pemuda mengahadap Nabi, dan bertanya bolehkan aku mencium istriku ketika berpuasa? Nabi menjawab, tidak boleh. Sejenak setelah itu datang seorang tua, bertanya kepada nabi hal sama, Nabi menjawab, boleh. Pemuda dan orang tua itu kemudian saling memandang bengung. Rasul bersabda, saya tahu kenapa engkau saling pandang, sesungguhnya kakek ini lebih bisa menguasai dirinya".


Apa yang membedakan dua kasus ini tidak lain adalah kemampuan orang tua untuk menguasai dirinya dibandingkan anak muda. Orang tua sekalipun diberi kesempatan mencium istri belum tentu ia mencium istrinya, kalau mencium istrinya sangat mungkin hanya sebatas merajut kasih sayang. Anak muda sekalipun dilarang, ada kemungkinan ia melanggarnya, jika pun dibolehkan bukan hanya mencium yang ia lakukan, melainkan aktifitas lain selain mencium.


Nabi juga kerap mencontohkan bagiamana menjawab pertayaan yang sama dengan jawaban yang berbeda, akibat perbedaan psikologis ummatnya. Nabi pernah dimintai nasehat/wasiyat oleh beberapa ummatnya, pada salah seorang diantaranya nabi menjawab "jangan marah", pada yang lain nabi menjawab "katakan aku beriman kepada Allah dan kemudian istiqamah lah", kepada yang lain lagi nabi menjawab "tahan lidahmu jangan banyak bicara".


Mengapa nabi menjawab berbeda atas pertayaan yang sama? Pasti Nabi tidak plin-plan, melainkan beliau menjawab sejalan dengan situasi kejiwaan penanya. 


Apa yang dilakukan Nabi Itulah berfiqih yang benar. Bukan pokoknya. Orang yang berpendapat pokoknya, biasanya karena ia hanya memiliki itulah satu satunya, Ndak ada lagi. Maka syarat ulama harus memiliki banyak jalan/madzhab, banyak pendapat, agar ia bisa memberikan mana yang sesuai dengan kemaslahatan dan kebutuhan penanya. 


KH Imam Nakha'i, salah seorang Wakil Ketua LBM PBNU


Syariah Terbaru