Sejarah

Para Ulama dan Mursyid Tarekat di Lingkungan Istana Cirebon Akhir Abad 19: Abdul Aziz bin Arjaen, Muhammad Thahir Imam Prabu, dan Nurullah Habibuddin Adikusuma

Jumat, 28 Februari 2025 | 06:00 WIB

Para Ulama dan Mursyid Tarekat di Lingkungan Istana Cirebon Akhir Abad 19: Abdul Aziz bin Arjaen, Muhammad Thahir Imam Prabu, dan Nurullah Habibuddin Adikusuma

arsip catatan perjalanan C. Snouck Hurgronje ke Cirebon pada akhir abad ke-19 silam. (Foto: FB Ahmad Ginanjar Sya'ban).

Ketika menunggu jadwal penerbangan Jakarta - Manama (Bahrain) yang mengalami keterlambatan selama lebih dari lima jam, saya berupaya menghabiskan waktu dengan melamun, bengong, ngopi, dan sesekali membuka arsip catatan perjalanan C. Snouck Hurgronje ke Cirebon pada akhir abad ke-19 silam. 


Snouck berada di Cirebon selama beberapa hari dari minggu ketiga bulan Agustus hingga minggu pertama September tahun 1889. Selama di Cirebon, Snouck tercatat mengunjungi berbagai pesantren dan menjumpai sejumlah ulama besar dan mursyid tarekat berpengaruh di wilayah Kesultanan Cirebon. 


Di antara ulama pengasuh pesantren di Cirebon yang direkam oleh Snouck dalam catatannya tersebut antara lain: Kiyai Muhammad Said Gedongan, Kiyai Hasan Sukunsari, Kiyai Abdul Jamil Buntet, Kiyai Soleh Bendakerep, Kiyai Anwar Tegalgubug, Kiyai Thalhah Kalisapu.


Ulama Cirebon lainnya yang dicatat oleh Snouck adalah Kiyai Syarqawi Pejambon, Kiyai Ahsan Cempaka, Kiyai Munjul Sindanglaut, Kiyai Ishaq Sindanglaut, Kiyai Imam Musa Panguragan, Kiyai Hidayat Serang Palimanan, Kiyai Roja’in Kedondong, Kiyai Nawawi Babakan,   


Snouck mencatat nama-nama ulama di atas dengan jaringan keilmuan mereka, utamanya guru-guru mereka baik di Jawa ataupun di Makkah, termasuk halnya kitab-kitab yang mereka baca dan ajarkan di pesantren-pesantren mereka. 


Terdapat informasi penting lainnya yang direkam oleh Snouck dalam catatan perjalannya tersebut, yaitu informasi sejumlah nama ulama cum penghulu-mufti dan mursyid tarekat yang aktif di lingkungan istana Cirebon.


Di antara mereka adalah Kiyai Abdul Aziz bin Arjaen, Syaikh Muhammad Thahir Imam Prabu, dan Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma. Ketiga nama di atas terhubung dengan jabatan kemuftian, kepenghuluan dan aristokrasi di Cirebon. 


Kiyai Abdul Aziz bin Arjaen adalah penghulu besar (hoofdpenghoeloe) Cirebon yang tinggal di Pekalipan. Ayahnya, yaitu Kiyai Arjaen, tercatat pernah menjabat sebagai mufti di istana Kanoman. Sosok Kiyai Arjaen sendiri terbilang sebagai guru dari Kiyai Hasan Maulani Kuningan (dikenal pula dengan Kiyai Ageng Lengkong). Kiyai Arjaen juga merupakan anak dari Kiyai Sholeh (Kertabasuki, Majalengka), anak dari Kiyai Pangeran Bunyamin Suramanggala (Kawunggirang, Majalengka), anak dari Sultan Muhammad Arif Zainul Asyiqin Banten (memerintah 1753-1773). 


Snouck mendapatkan sejumlah naskah dari Kiyai Abdul Aziz bin Arjaen, di antaranya adalah naskah kitab "Nukhbah al-Mas’alah syarah al-Tuhfah al-Mursalah" karya Abdul Ghani al-Nablusi, kitab "al-Hikam" karya Ibn Atha’illah al-Sakandari beserta syarahnya yang berjudul "al-Hidayah li al-Insan ila al-Karim al-Mannan" karya al-Bayyumi, kitab "Fath al-Rahman syarah Risalah Wali Ruslan" karya Zakariyya al-Anshari, kitab "al-Daqa’iq", kitab "Sirr al-Mannan", juga silsilah tarekat Syathariyah jalur Kiyai Arjaen dari Kiyai Asy’ari Kaliwungu (Kendal) yang sampai kepada Syaikh Ahmad al-Qusyasyi.  
Sementara itu Syaikh Muhammad Thahir Imam Prabu pernah menjabat sebagai imam di lingkungan istana Kasepuhan (imam van Kasepoehan). Ia juga tercatat mengampu pesantren yang terletak di Graksan (Curug). Dalam catatannya, Snouck menyebut jika dirinya menjumpai Imam Prabu pada tanggal 26 Agustus 1889. Snouck menginformasikan jika Imam Prabu membaca sejumlah kitab ketika bulan Ramadhan (ngaji pasanan). Imam Prabu membaca antara lain kitab Safinah al-Naja, Sullam al-Taufiq, Taqrib, Minhaj al-Qawwim dan Kifayah al-Awam


Imam Prabu juga diinformasikan oleh Snouck pernah belajar di Wanantara (Surabaya), Madura, Gembong (Pasuruan), juga Makkah. Di Makkah Imam Prabu belajar antara lain kepada Syaikh Zed atau Zahid Solo (ayah Kiyai Idris Jamsaren), Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Abdul Syakur Surabaya (ipar Sayyid Bakri Syatho pengarang I'anah). 


Selain itu, Snouck juga mendapatkan kenang-kenangan sejumlah naskah kitab yang disalin oleh Imam Prabu, antara lain adalah naskah kitab "Kifayah al-Awam", kitab "Syarah al-Hudhudi" (‘ala Umm al-Barahin), kitab "al-Simth al-Majid" karya al-Qusyasyi, dan kitab "Tanbih al-Masyi" karya Abdul Rauf Aceh.


Adapun Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma terhitung sebagai pangeran di lingkungan istana Kaprabonan. Dalam catatannya, Snouck menyebut jika dirinya menjumpai Syaikh Nurullah Habibuddin Adikusuma pada tanggal 02 September 1889. Dari Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma, Snouck mendapatkan sejumlah naskah, antara lain naskah kitab "Tanbih al-Masyi" karya Abdul Rauf Aceh, dan kitab "Syarah Fath al-Rahman ‘ala Risalah Wali Ruslan" karya Zakariya al-Anshari.


Ketiga ulama keraton Cirebon di atas terhubung dengan jaringan tarekat Syathariah, meski melalui jalur yang berbeda-beda.


Kiyai Abdul Aziz bin Arjaen, misalnya, memiliki silsilah tarekat Syathariah dari jalur ayahnya (Kiyai Arjaen), dari Kiyai Sholeh Kertabasuki (Majalengka), dari Kiyai Hasanuddin Karang Safarwadi (Pamijahan, Tasikmalaya), dari Kiyai Abdullah Karang Safarwadi (Pamijahan, Tasikmalaya), dari Syaikh Abdul Muhyi Karang Safarwadi (Pamijahan, Tasikmalaya), dari Syaikh Abdul Rauf bin Ali Singkil (Aceh), dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (Madinah), dan seterusnya.


Selain dari jalur Kiyai Sholeh Kertabasuki yang menyambung kepada Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, Snouck juga mencatat jika Kiyai Arjaen memiliki sisilah tarekat Syathariah dari jalur Kiyai Asy’ari Kaliwungu (Kendal). Dari Kiyai Kaliwungu, silsilah tersebut tersambung kepada Muhammad Sa'id al-Madani (Madinah), dari Muhammad Thahir (Madinah), dari Ibrahim (Madinah), dari Muhammad Abu Thahir (Madinah), dari Ibrahim al-Kurani (Madinah), dari Ahmad al-Qusyasyi (Madinah), dan seterusnya.


Sementara itu, Syaikh Imam Prabu, sebagaimana diinformasikan Snouck, memiliki silsilah tarekat Syathariah yang juga tersambung kepada Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sayangnya, Snouck tidak menyebutkan secara rinci silsilah tarekat tersebut. Snouck hanya menyebut jika Imam Prabu mengambil silsilah tarekat Syathariah dari Kiyai Mukallim (Kalidjaga).
Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma, sebagaimana ditulis Snouck, memiliki silsilah tarekat Syathariah dari jalur Raden Muhammad Arifuddin, dari Raden Muhammad Syafiuddin, dari Imam Qadhi Hidayat bin Yahya (penghulu Kanoman), dari Tuan Haji Muhammad Mu’tashim, dari Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten, dari Syaikh Muhammad Thabari Makkah, dari Syaikh Abdul Wahhab, dari ‘Alim Rabbani [kemungkinan sosok ini adalah Ahmad al-Qusyasyi, w. 1661], dari Ahmad al-Syinnawi (w. 1619), dan seterusnya.


Silsilah Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma yang menyambung kepada Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten ini menarik untuk dibandingkan dengan silsilah lain yang diriwayatkan oleh Raden Muhammad Thahir Bogor (w. 1849), yang juga tersambung dengan sosok Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten, namun berbeda jalur ke atasnya. Silsilah Raden Muhammad Thahir Bogor tersebut menyebut nama gurunya, yaitu Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten, dari Syaikh Ibrahim bin Muhammad Abu Thahir (Madinah), dari Syaikh Muhammad Abu Thahir (Madinah), dari Syaikh Ibrahim al-Kurani (Madinah), dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (Madinah), dari Syaikh Ahmad al-Syinnawi, dan seterusnya.


Beberapa silsilah tarekat Syathariah di atas telah dikaji oleh Prof Dr Martin van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul "Shari`a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Sultanate of Banten” (Archipel 50 (1995), 165-200), juga oleh Dr. Mahrus el-Mawa dalam disertasinya yang berjudul “Syattariyah wa Muhammadiyah: Suntingan Teks, Terjemahan dan Analisis Karakteristik Syatariyah di Keraton Kaprabonan Cirebon Pada Akhir Abad ke-19” (FIB Universitas Indonesia, 2015); dan oleh Prof Dr Oman Fathurahman dalam bukunya yang berjudul “Shaṭṭārīyah Silsilah in Aceh, Java, and the Lanao area of Mindanao” (Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, University of Foreign Studies, 2016).


Wallahu A’lam


A Ginanjar Sya’ban, Filolog Islam Nusantara sekaligus Penulis Buku Dokumen Perjalanan Komite Hijaz dan Mahakarya Islam Nusantara