• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Sejarah

NU Bandung dan Dua Dai Cilik di Tahun 1935

NU Bandung dan Dua Dai Cilik di Tahun 1935
NU Bandung 1935
NU Bandung 1935

NU di Bandung telah bergeliat sejak tahun 1930-an. Bahkan setelah 7 tahun NU berdiri di Surabaya, Kota Bandung jadi tuan rumah hajatan NU di tingkat nasional, yaitu muktamar ketujuh tahun 1932. Namun Rais Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari berhalangan hadir. 

Meski demikian, kiai-kiai besar lain seperti Kiai Wahab dan pendiri NU yang lain tetap hadir, termasuk para habib dari Jakarta dan Bogor. Menurut data di Perpustakaan PBNU, tercatat di antara panitia muktamar waktu itu adalah KH Abdullah Cicukang dan KH Husin serta kiai-kiai lain. 

Sebelumnya, dari kota kembang ini, pada muktamar NU keempat di Semarang, 1929, mengirimkan utusannya, yaitu KH Ahmad Dimyati dari Pesantren Sukamiskin. Tentang hal ini, bisa dibaca di buku KH Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Kemudian, sejak itu, hingga muktamar-muktamar selanjutnya hingga hari ini selalu ada perwakilan dari Bandung. 

Muktamar NU ketujuh itu menjadi momentum menanamkan NU lebih kuat di daerah-daerah. Itulah tujuan NU mengadakan muktamar secara berurutan dari timur (Surabaya) ke barat yaitu Semarang, Pekalongan, Cirebon, Bandung, Jakarta. 

Setelah itu, NU Cabang Bandung kemudian mendirikan kring-kring (ranting). Pada tahun 1935, tercatat telah berdiri Ranting NU Nyengseret. Bukti keberadaan ranting itu didokumentasikan majalah Al-Mawaidz milik Cabang NU Tasikmalaya edisi 1935. 

Majalah yang menggunakan bahasa Sunda tersebut, setelah diterjemahkan, melaporkan demikian: 

Kring NU Nyengseret Cabang NU Bandung mengadakan tabligh di sekolah agama Chaeriyah Gang Afandi Bandung. Hadirin yang terdiri dari kaum bapak dan ibu berdesakan di luar dan di dalam rumah. Pukul 9 malam acara dibuka oleh Marzuki. 

Ada yang lain dari pertemuan kali ini. Dua dai cilik dari madrasah Chaeriyah turut berbicara, yang pertama bernama Sulaiman kira-kira 8 tahun. Meskipun kanak-kanak, apa yang dibicarakannya jelas dan penting. Selanjutnya anak bernama Tarsun. Ia juga anak yang jelas dan berbicara, maklum ia muridnya Ajengan Toha Afandi. 

Kemudian berbicara KH Abdullah Cicukang tentang pentingnya sebuah perkumpulan Islam. Mualim Mukhtar menerangkan kewajiban shalat serta siksaan bagi yang mengabaikannya apalagi yang meninggalkannya. Ajengan Ambri menjelaskan kewajiban mencari ilmu. 

Penulis: Abdullah Alawi


Sejarah Terbaru