Imlek dan Peran Etnis Tionghoa dalam Kemerdekaan Indonesia
Rabu, 29 Januari 2025 | 11:36 WIB
Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
29 Januari 2025 seluruh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia merayakan hari raya kebudayaannya, budaya Imlek. Imlek dimaksudkan untuk menyongsong sekaligus memperingati datangnya tahun baru dalam penanggalan kalender masyarakat Tionghoa.
Seperti perayaan tahun baru yang lainnya, dalam peringatan Imlek juga selalu tersirat harapan akan optimisme hidup di masa yang akan datang. Frasenya sama, ihwal negatif ditinggalkan, ihwal positif ditingkatkan.
Imlek bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak hanya sekedar perayaan memperingati tahun baru saja, tetapi lebih dari itu Imlek dimaknai sebagai eksistensi budaya Tionghoa di Indonesia. Mengapa demikian? Karena peringatan Imlek di Indonesia hingga seperti sekarang ini tidak dapat terjadi dengan begitu saja.
Dalam perkembangannya, perayaan Imlek di Indonesia mengalami beberapa pasang surut. Sempat diakui pada masa Orde Lama, dipersempit pada masa Orde Baru, hingga akhirnya dijamin kebebasannya di masa Orde Reformasi. Itu artinya bahwa eksistensi Imlek di Indonesia dipengaruhi oleh keberadaan pemerintahan Indonesianya.
Baca Juga
Gus Dur, Imlek dan Kita yang Gagap
Peringatan Imlek di Indonesia tahun ini sangat istimewa, bukan karena perayaannya yang meriah dirayakan masyarakat Tionghoa, melainkan karena cara bersikap pemerintah Indonesia terhadap eksistensi Imlek. Untuk merekatkan tali persaudaraan dan memepertegas pengakuannya akan eksistensi agama Konghucu, pemerintah menerbitkan surat instruksi melalui Sekretaris Jenderal Kemenag RI melalui Surat No. B-270/SJ/BIX/KP.02/01/2025 tentang anjuran memasang hiasan Imlek, terutama di satuan kerja di bawah Kemenag. Hal ini mengisyaratkan bahwa Kemenag terbuka bagi seluruh agama dan menegaskan bahwa ia juga sebagai pelayan semua umat beragama di Indonesia, termasuk di dalamnya umat agama Konghucu.
Peran Etnis Tionghoa dalam Kemerdekaan Indonesia
Bagi orang yang tidak paham sejarah, sulit membayangkan etnis Tionghoa berperan penting dalam upaya merealisasikan kemerdekaan negara Indonesia, juga soal penyebaran Islam di Nusantara (khususnya di Jawa). Padahal jika ditelusuri, banyak etnis masyarakat Tionghoa berperan penting dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Buku 'Arus Cina-Islam-Jawa' karya Sumanto al Qurtuby (2003) misalnya, mengupas bahwa peran orang-orang Tionghoa dalam Islamisasi Jawa sangat signifikan terutama dalam abad-abad ke-15 dan ke-16. Buku tersebut memberi argumen yang kuat atas peran orang-orang Tionghoa atas Islamisasi tanah Jawa. Disusun dengan pengkajian sumber sejarah dan artefak, penulisnya mengemukakan teori akan adanya budaya Cina-Islam-Jawa yang begitu penting dalam penyebaran agama Islam.
Ada lagi buku karya Andjarwati Noordjanah (2004) yang berjudul 'Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946)' yang mengungkap peran etnis Tionghoa dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Dalam buku itu, disebutkan bahwa para etnis Tionghoa melakukan perlawanan terhadap sekutu pada 1946 melalui pemogokan ekonomi. Akibatnya pemogokan, ekonomi di Surabaya lumpuh. Baru setelah panglima tertinggi tentara sekutu mengajukan permohonan maaf dan memenuhi permintaan komunitas Tionghoa, maka perdagangan dan perekonomian kembali normal.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia termasuk etnis minoritas yang keberadaannya banyak dikesampingkan penguasa, terutama pada masa Orde Baru. Sadar akan hal itu, Teguh Saputra (2004) dalam 'Tarian Multikultural Sang Naga' mengingatkan etnis Tionghoa untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan, termasuk yang terburuk, yang mustahil akan terulang di masa yang akan datang. Untuk itu maka etnis Tionghoa disarankan untuk tidak bergerak secara ekslusif dan hanya mementingkan kepentingkan kelompoknya saja dengan mengabaikan kepentingan nasional. Peran serta dan partisipasi masyarakat Tionghoa dalam menjaga integritas nasional senyatanya akan menjadi counter akan kemungkinan-kemungkinan buruk itu.
Salah satu sumbangsih masyarakat Tionghoa dalam menjaga dan merawat kemerdekaan Indonesia adalah keterlibatannya dalam menyumbangkan pikiran-pikiran politiknya. Puluhan tulisan (artikel, ceramah, pidato, surat, dan kutipan) yang dikemas dalam buku 'Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002' (2005) menjadi bukti kuatnya kepedulian etnis Tionghoa akan stabilitas negara Indonesia.
Bukti lain yang mengindikasikan bahwa etnis Tionghoa berjiwa nasionalis adalah keinginannya untuk menjadi warga pribumi. Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998, merupakan catatan penting akan entis Tionghoa yang rela menjadi warga pribumi. Meski pernah diasingkan sebagai bagian dari rekayasa politik, etnis Tionghoa di Surakarta menganggap bahwa dua hal yakni, Tionghoa dan Jawa merupakan sebuah identitas yang tidak bisa dibedakan dan dipisahkan.
Keturunan Tionghoa yang bangga akan jati dirinya sebagai pribumi seperti yang dilakukan oleh Panembahan Go Tik Swan Hardjonagoro. Ia merupakan salah satu pakar batik dan tosan aji yang pernah dimiliki Indonesia. Semasa hidupnya, ia tidak pernah menanggalkan jati diri Tionghoanya, dan pada saat yang sama ia juga hidup dengan jati diri sebagai Jawa yang utuh ditambah dengan identitas lainnya sebagai manusia Indonesia yang muslim. Buku Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008) yang ditulis Rastopo kiranya menjadi rujukan untuk memahami sepak terjang Go Tik Swan Hardjonagoro dalam perannya sebagai seseorang yang nasionalis.
Ertnis Tionghoa juga berperan penting dalam mengisi pembangunan terhadap tempat yang didiaminya di Indonesia. Catatan dalam buku 'Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad ke-18 hingga ke-20 (1992) yang ditulis Mary Somers Heidhues menjadi bukti peranan hostoris etnis Tionghoa dalam pembanguan daerah. Dengan etos kerja dan kemampuan berteknologinya etnis Tionghoa di Bangka dalam mengelola timah dan merica. Ini menjadi cacatatan penting yang kiranya semua orang perlu mengetahuinya.
Tidak hanya itu, etnis Tionghoa juga berperan penting dalam pembangunan angkatan laut Indonesia. Laksama Muda John Lie misalnya. Ia menjadi salah satu nama yang melegenda dalam etnis Tionghoa yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menjadi penyumbang utama terwujudnya angkatan laut Indonesia. Ketika RI lahir dalam kekurangan, John Lie dengan sadar berpihak pada ibu pertiwi dan mengenyampingkan fasilitas yang ada dari Belanda, seandainya ia berpihak. Namun ia malah memilih Indonesia dan mencurahkan banyak sahamnya untuk pembangunan angkatan laut Indonesia di masa revolusi kemerdakaan dan sesudahnya. Atas dasar itulah, pada 2009 kemudian John Lie dianugerahi sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.
Dalam dunia pers juga, etnis Tionghoa terwakili oleh Ang Yan Goan yakni tokoh yang berperan penting dalam pembangunan Indonesia. Ia adalah etnis Tionghoa yang lahir di Bandung pada 1894.
Beberapa buku berikut: 1) Aku Orang China? Narasi Pemikiran Politik Plus dari Seorang Tionghoa Muda, Deni Bevly, 2008; 2) Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki menjadi Bagian Bangsa, Dewi Anggraeni, 2010; 3) Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa, Claudia Salmon, 2010; 4)Edi Lembong Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati, Bonnie Triyana, 2011; 5) Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik, dan Media, Hoon Chang-yau, 2008; 6) Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia, Iwan Santosa, 2014; dan 7) Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa, Eddie Lembong, 2015, menjadi bukti catatan bahwa peran etnis Tionghoa dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia tidak main-main.
Alhasil peringatan Imlek sebagai bagian perayaan umat agama di Indonesia perlu mendapatkan apresiasi. Jika saja kita mempersempit dan membatasi ruang perayaannya, itu artinya kita menafikan peran etnis Tionghoa selama ini. Dengan demikian, apapun etnisnya, apabila ia menjunjung tinggi harkat martabat bangsa, maka ia berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak atas eksistensinya.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut
Terpopuler
1
Pelunasan Haji Khusus 2025 Memasuki Hari Keempat, Kuota Terisi Hampir 50%, Masih Dibuka hingga 7 Februari
2
LAZISNU Depok Resmi Jadi Percontohan dalam Program Koin Digital NU
3
3 Peristiwa Penting di Bulan Syaban, Bulan Pengampunan dan Rekapitulasi Amal
4
IPNU-IPPNU Kabupaten Tasikmalaya Gelar Diklat Aswaja, Perkuat Pemahaman Keaswajaan Pelajar NU
5
Hasil Bahtsul Masail Kubro Putri se-Jabar di Pesantren Sunanulhuda 2025 terkait Hukum Sungkem dan Mushofahah kepada Guru, Download di Sini
6
Menjaga Warisan Gus Dur: Alisa Wahid dan Tantangan Toleransi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua